#5 Faktor Penyebab "Patahana" Gagal Terpilih Kembali Sebagai Kepala Daerah

Rabu, 07 Februari 2018

Bualbual.com, Berkaca Pada Pilkada serentak 2017 yang sudah usai. salah satu pristiwa yang menarik untuk dikupas dipilkada tahun ini adalah banyaknya calon incumbent (petahana) yang gagal terpilih kembali. Menurut sumber dari Lingkar Publik Independen dan litbang kompas yang di dapat bualbual.com ada 84 daerah dari 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak yang diikuti calon dari incumbent. 65 calon Incumbent kepala daerah dan 20 Incumbent ataupun patahan wakil kepala daerah. Sebanyak 43,53 persen incumbent kalah atau tidak terpilih kembali, Sebut saja seperti di pilgub Babel, Pilgub Banten, Pilbub Tuba Lampung, dan yang terakhir pilgub DKI putaran kedua kemarin. Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua? sejatinya Incumbent sebagai pemegang kendali kekuasaan akan mudah memenangkan pertarungan dibandingkan dengan penantang calon baru. Petahana memiliki kekuatan menggerakan sumber daya yang dimiliki untuk mengarahkan dukungan kepadanya, Namun opini tersebut justru runtuh, kenyataannya tidak sedikit incumbent yang justru kalah pada saat pemilihan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan incumbent tumbang dalam pertarung kepala daerah tahun 2017 Kemaren antara lain : 1. Gagal Dalam menunaikan Janji Kampanye [caption id="attachment_21251" align="alignnone" width="763"] Gambar Ilutrasi Kampaye Calon Kepala Daerah[/caption] Incumbent selama menjabat tidak mampu mewujudkan janji-janji politik yang telah ia buat ketika masa kampanye sebelum terpilih. padahal janji-janji manis itulah yang dulunya mampu memikat para pemilih. Sementara pada masa menjabat selama satu periode, janji-janji tesebut sama sekali tidak ditunaikan. Tentu hal inilah yang menjadikan masyarakat tidak simpatik terhadap incumbent. 2. Gagal Dalam menyerap aspirasi publik [caption id="attachment_21252" align="alignnone" width="800"] Gambar Ilustrasi Kepala daerah saat mendengar Aspirasi Masyarakat[/caption] Faktor Kegagalan incumbent dalam pertarungan pilkada adalah tidak pahamnya persolan dan permasalahan yang ada dilapangan konstituen. Tidak bisa membedakan mana persoalan dan permasalahan yang urgen dan tidak urgen yang harus diselesaikan. Sebagai contoh, misalkan persoalan pengangguran dan kemiskinan menjadi persoalan mayoritas publik yang harus dibenahi, akan tetapi kebijakan incumbent malah lebih banyak terfokus terhadap persoalan pembangunan taman, keindahan kota, dan lingkungan. Tentu kebijakan tersebut bertentangan dengan ekspektasi mayoritas publik. sehingga berimbas pada tidak dipilihnya kembali incumbent sebagai kepala daerah. 3. Strategi kampanye yang konvensional [caption id="attachment_21253" align="alignnone" width="736"] Gambar Ilustrasi Strategi kampanye yang konvensional[/caption] Sampai hari ini belum ditemukan strategi jitu yang baku dalam pertarungan politik. Strategi yang jitu hari ini, belum tentu jitu dihari esok. Misalkan, Pembagian sembako, baju kaos, atau money politik bisa jadi hari ini sangat efektif akan tetapi belum tentu akan efektif lagi untuk hari esok. itu artinya strategi kampanye harus dinamis sesuai dengan konteks dan fakta dilapangan. Hal inilah yang sering luput dari perhatian incumbent. Kebanyakan para incumbent sudah merasa berdiri diatas angin dan merasa terlalu percaya diri apa yang sudah dilakukan sudah maksimal, padahal zaman terus berubah seiring dengan pola pikir masyarakat yang semakin hari semakin kritis dan cerdas. Oleh karena itu tuntutan inovasi-inovasi dalam membangun strategi pemenangan merupakan sebuah keharusan. Kebanyakan incumbent yang kalah, adalah mengulang strategi pemenangan tempo dulu. inilah kesalahan fatal bagi incumbent karena mudah dibaca kompetitor. 4. Terlalu fokus pada mesin pencitraan [caption id="attachment_21254" align="alignnone" width="700"] Gambar Ilustrasi, Terlalu fokus pada mesin pencitraan[/caption] Dalam pertarungan Pilkada, porsi mesin suara harus lebih dominan ketimbang porsi mesin pencitraan. Mesin pencitraan hanya berefek pada tingkat populeritas (hanya dikenal), sedangkan mesin suara berefek pada kekuatan mobilisasi suara (dipilih). Kekalahan Incumbent kebanyakan disebabkan terlalu fokus pada mesin pencitraan bukan pada mesin suara (jaringan). Apalagi seorang Incumbent, seharusnya tidak perlu lagi fokus pada kegiatan-kegiatan pencitraan semu seperti memajang stiker, spanduk, baliho, iklan dikoran, radio, menulis dimedsos, mengadakan kegiatan festival, turnament, jalan sehat dan lain sebagainya. Tetapi sudah berbicara bagaimana membangun mesin suara sebanyak-banyaknya. Misalkan membangun mesin suara parpol, mesin suara birokrat, mesin suara ormas, mesin suara keluarga, suara sahabat,suara buruh, suara pedagang, suara tukang sopir angkut/ojek, dan lain sebagainya. semakin banyak mesin suara yang dibangun dan dihimpun maka suara kemenangan semakin dapat dipastikan. Akan tetapi tetap disertai dengan program-program yang kongkrit. Kenapa tidak, seorang incumbent punya segalanya dan bisa berbuat segalanya dibandingkan dengan kompetitor kandidat baru. 5. Bertarung Head to Head (Dua kompetitor) [caption id="attachment_21255" align="alignnone" width="320"] Gambar Ilustrasi Bertarung Head to Head (Dua kompetitor)[/caption] Ada sebuah kalimat bijak mengatakan bahwa “mempertahan lebih sulit dibandingkan merebut”. Inilah salah satu kalimat yang tepat disematkan bagi sorang incumbent Kebanyakan incumbent yang gagal dalam melanjutnya kepemimpinan periode selanjutnya adalah kelemahan dalam membangun pemerintahan yang baik, seperti krisis prestasi, kinerja pemerintah yang buruk, korupsi, bermasalah dengan hukum, serta cenderung mengedepankan politik dinasti/ kekerabatan. Oleh karena itu, posisi yang aman bagi seorang incumbent adalah hindari Posisi head to head dalam kompetitor. Posisi tersebut sangat menyulitkan Incumbent karena masyarakat akan membandingkan kedua pasangan berdasar kinerja atau harapan dari pendatang baru. Selain itu juga secara psikomatis kecenderungan mayoritas masyarakat sangat menyukai hal-hal yang baru. Sumber: (Lingkar Publik Independen)