Antara Debat dan Mendebat

Senin, 30 April 2018

APA boleh buat, kawan saya Abdul Wahab, tak dapat menonton debat publik pasangan calon (paslon) gubernur maupun wakil gubernur Riau yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, Jumat lalu, mulai dari awal. “Usahlah aku sebutkan alasannya,” tulis Wahab dalam pesan pendeknya melalui telepon genggam. Selanjutnya ia mengaku, meskipun demikian, tak kurang satu setengah jam ia dapat menyaksikan kegiatan tersebut yang konon menjadi wajah segar dalam demokrasi. Suatu rentang waktu yang tak sedikit tanya, juga tak sedikit kecewa. Suatu rentang waktu yang bersulang antara keraguan dengan keyakinan. Terlepas dari terminologinya, bagi Wahab, kegiatan itu penting. Ia dapat mendengar dan melihat bagaimana paslon gubernur dan wagub berhujah alias beragumentasi. Selari dengan maksud perdebatan untuk menghasilkan suatu pemikiran, debat yang dilihatnya itu diakuinya sebagai wadah untuk mempertimbangkan pilihan terhadap paslon. Cuma kesan yang ditangkap Wahab, apa yang dinamakan debat tersebut, terasa hambar. Di antara penyebabnya adalah, paslon yang bertanya kepada paslon lain tidak diberi kesempatan untuk menanggapi balik terhadap jawaban atas pertanyaan. Jawaban dari suatu pertanyaan, seolah-olah lepas begitu saja, tidak ditanggapi balik. Selah-olah, paslon yang bertanya sudah cukup dengan jawaban paslon lainnya. Dengan demikian, jadilah perdebatan itu sebagai arena menerangkan sesuatu dari suatu perkara—bukan mencari jalan terbaik untuk kemaslahan bersama. Dari kegiatan itu tidak terjadi apa yang disebut adu argumentasi terhadap suatu masalah. Meskipun demikian patut diakui bahwa akibat berbagai keterbatasan, debat tersebut sulit diharapkan untuk menghasilkan suatu pemikiran yang cemerlang bagi Riau ke depan. Terlepas dari hal itu, Arsyadjuliandi Rahman dapat menggunakan kesempatan menerangkan Riau di bawah kepemimpinannya. Ia misalnya menerangkan soal panjang jalan, indeks pembangunan manusia, dan pengurangan angka kemiskinan. Malahan, pembicaraan mengenai beberapa ihwal, misalnya pariwisata dari paslon lain, justeru memperkuat apa yang telah dibuat oleh Andi dalam dua tahun terakhir—menjadikannya sebagai primadona pembangunan Riau setelah migas tak bisa diharapkan benar. Hal tersebut dikemukakan Andi tanpa dapat dikoreksi paslon lain. Padahal, sebagai petahana, tentu saja banyak perkara yang bisa diajukan kepadanya, misalnya berkaiitan dengan indikator kemiskinan. Belum lagi soal perlambatan pertumbuhan ekonomi, bahkan sisa anggafaran pembangunan yang besar dalam beberapa tahun terakhir. Begitu pula sebaliknya, Andi tidak dapat menjelaskan ketika bagaimana pembangunan listrik sebenarnya menjadi urusan pemerintah pusat melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN)-nya. Begitu juga menyangkut bagaimana usaha pemerintah melalui BUMN tersebut memiliki azam membebaskan desa di Riau dari kegelapan tahun depan yang justeru telah dicanangkan tahun lalu. Selanjutnya, Wahab merasa terganggu oleh iklan yang diputar berkali-kali dengan cogan yang serupa dengan seruan pemilik salah satu paslon. Ini semakin lengkap karena meskipun lebih dahulu, hal tersebut juga serupa dengan seruan resmi KPU agar orang menggunakan hak pilihnya. Begitu pula penyebutan tanjak dalam pantun pembawa acara terkesan lain karena kebetulan sekali, satu dari empat paslon, memakai tanjak. Kental berwarna lokal, mulai dari lagu, jingle, dan slogan, ternyata hanya satu paslon yang melengkapi semuanya itu dengan menggunakan pakaian Melayu. Ini memang simbol, tetapi melaluinya pula sesuatu dapat diungkapkan secara umum. Di situ bertemu antara hasrat dengan tindakan, bersambung antara ide dengan kenyataan. Barangkali, ihwal berkaitan dengan pakaian tersebut sebagai bentuk suatu wujud distorsi. Dalam penciptaan kreatif, distorsi menciptakan disharmornis yang justeru menghasilkan harmonisasi ketika antardiharmonis dibenturkan dengan tetap mengacu pada simbol awal. Ini jugalah mungkin agaknya yang hendak ditampilkan ketika salah seorang komisionir terlihat memakai jaket, berbeda dengan komisionir lain dengan baju setengah resmi. “Ini kan bukan pemindahan tempat kampanye, yang malahan lengkap,” tulis Wahab. Kelengkapan itu, sambungnya, memperlihatkan bahwa debat tersebut bisa ditinjau dari seni pertunjukan, sama juga halnya dengan berpidato atau disebut orang seni berpidato. Unsur-unsur sekitar, harus menjadi perhitungan. Disebutkan Wahab, bagaimana pemilihan warna baju misalnya, tak bisa dipandang enteng saat memandang debat tidak semata sebagai ajang diskusi, tetapi juga tontonan. Untuk menampilkan keglamoran, menarik perhatian, di bawah cahaya lampu sekian watt, warna pakaian jangan menimbulkan pucat, apalagi kekusaman. Kebetulan warna kucing akan melempar cahaya pada malam, apalagi ditimpa cahaya, sehingga akan terlihat menonjol. Belum lagi berkaitan dengan gerak tubuh paslon, bahkan bagaimana mereka mengisi ruang atau sadar tempat. Bagaimana podium di depan mereka dapat terbagi, sehingga tak ada terlihat bagaimana sosok lain seperti terketepikan. Bisik-bisik paslon, dapat menimbulkan kesan negatif kepada penonton. Lain lagi dengan teriakan-teriakan penonton yang besar kemungkinan adalah pendukung masing-masing calon, menjadikan publik itu bukan sebagai ajang intelektual, malahan sebagai pertandingan suatu cabang olahraga tertentu. Apalagi saat penutup, ketika di antara pendukung itu, ada yang sampai naik kursi sebagaimana ditangkap kamera secara nyata. Banyak lagi yang dikatakan Wahab, termasuk pembilang (MC) Chacha Annisa, yang terkesan tegang. Begitu pula pantun dari Ketua KPU Riau, Dr Nurhamin dalam setiap pergantian segmen yang hanya mengandalkan bunyi, bukan tubuh utuh suatu pantun. “Tapi sudahlah. Lagi pula tanpa debat ini pun, pilkada tetap bisa dijalankan kan? Makin banyak aku katakan, nanti kesannya mendebat debat. Iya kan?” ungkap Wahab. Saya masih memikirkan pesan-pesan pendeknya mengenai debat itu. Anda sendiri?*** Penulis: Taufik Ikram Jamil riaupos.co