Asal Usul Pakaian Adat Melayu Provins Riau

Sabtu, 16 Desember 2017

Bualbual.com, Pakaian tradisional Melayu Riau terdiri dari berbagai macam jenis. Jenis pakaian ini tergantung pada situasi dan kondisi si pemakai dan kegiatan yang lakukan, misalnya untuk acara resmi atau untuk dikenakan dalam kegiatan sehari-hari. 1. Asal-usul Pakaian merupakan simbol budaya yang menandai perkembangan, akulturasi, dan kekhasan budaya tertentu. Pakaian dapat pula menjadi penanda bagi pemikiran masyarakat, termasuk pakaian tradisional masyarakat Melayu Riau. Pakaian tradisional Riau terdiri atas pakaian harian dan pakaian resmi/pakaian adat. Pakaian harian dipakai setiap hari, baik oleh anak-anak, dewasa, maupun orang tua. Pakaian sehari-hari dikenakan untuk berbagai kegiatan harian, misalnya saat bekerja di ladang, bermain, ke laut, di rumah, maupun kegiatan yang lain. Jenis pakaian untuk perempuan dikelompokkan menjadi pakaian perempuan anak-anak dan pakaian perempuan dewasa (O.K. Nizami Jamil, et al. 2005:15-16). Sedangkan pakaian resmi atau pakaian adat dikenakan pada acara-acara tertentu yang berkenaan dengan kegiatan resmi atau pada saat acara adat. Warna, bentuk, dan model pakaian adat ditentukan berdasarkan filosofi masyarakat Melayu Riau yang mengandung nilai-nilai tertentu. Masyarakat Melayu Riau masih memegang adat dengan teguh. Pengaruh adat terasa dalam sikap dan perilaku sebagian besar masyarakat, terutama di daerah pedesaan/perdalaman. Adat Melayu Riau adalah adat yang bersendikan syariat Islam (M.A. Effendi, 2004:9). Islam dan adat Melayu saling mempengaruhi yang kemudian membentuk satu budaya baru, yang salah satunya tercermin dalam pakaian yang dikenakan. Selain itu, pakaian dan perhiasan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan atau kegunaan estetika, namun juga mengandung semangat tertentu. Semangat tersebut melingkupi nilai budi dan kejujuran hidup (Siti Zainon Ismail, 2004: 33). 2. Jenis Pakaian Pakaian orang-orang Melayu daerah Riau dibedakan menjadi beberapa jenis menurut fungsinya. Beberapa jenis pakaian Melayu menurut O.K. Nizami Jamil, et at. (2005: 15-108), yaitu: a. Pakaian Harian Pakaian harian adalah pakaian yang dikenakan ketika melakukan kegiatan sehari-hari. Berdasarkan kelompok pemakai, pakaian harian dapat dibedakan menjadi pakaian anak-anak, pakaian dewasa, dan pakaian orang tua atau setengah baya. � Pakaian Anak-anak Pakaian anak laki-laki yang masih kecil disebut baju monyet. Setelah beranjak besar, anak laki-laki memakai Baju Teluk Belanga atau Baju Cekak Musang. Terkadang juga memakai celana setengah atau bawah lutut, kopiah, dan tutup kepala dari kain segi empat. Anak laki-laki juga memakai sarung ketika pada saat mengaji dan beribadah. Sedangkan untuk anak perempuan yang belum dewasa memakai baju kurung yang selaras dengan kain bermotif bunga atau satu warna dengan kain tersebut. � Pakaian Dewasa Pakaian anak laki-laki yang telah dewasa disebut Baju Kurung Cekak Musang yang dilengkapi dengan kain samping berupa sarung perekat dan kopiah atau ikat kepala. Sedangkan untuk perempuan memakai Baju Kurung Laboh, Baju Kebaya Pendek, dan Baju Kurung Tulang Belut. Baju ini dipadukan dengan kain sarung batik dan penutup kepala berupa selendang atau tudung lingkup. Perempuan yang melakukan kegiatan di ladang atau sawah biasanya memakai tutup kepala berupa selendang atau kain belacu yang dinamakan tengkuluk. � Pakaian Orangtua Pakaian untuk perempuan tua setengah baya ada berbagai macam, seperti Baju Kurung Teluk Belanga (Baju Kurung Tulang Belut), Kebaya Laboh, dan Baju Kebaya Pendek yang biasa dipakai untuk pergi ke ladang. Kerudung untuk menutupi kepala berupa selendang segi empat yang dibentuk segitiga sehingga menyerupai jilbab. Sedangkan untuk laki-laki orang tua dan setengah baya memakai Baju Kurung Teluk Belanga atau Baju Kurung Cekak Musang. Bahan pakaian ini adalah kain katun atau kain lejo. Baju ini agak longgar sehingga nyaman dipakai. Baju Kurung Leher Cekak Musang untuk laki-laki tua, muda, dan anak-anak Sumber: O.K. Nizami Jamil et al. 2005. Pakaian Tradisional Melayu Riau. Pekanbaru: LPNU Press dan Lembaga Adat Melayu Riau, p. 201. b. Pakaian Resmi Pada zaman dahulu, pakaian resmi dipakai ketika menghadiri pertemuan resmi yang diadakan oleh kerajaan. Sedangkan di masa sekarang, pakaian resmi dikenakan dalam berbagai acara pemerintahan. Pakaian resmi untuk laki-laki adalah Baju Kurung Cekak Musang lengkap dengan kopiah, kain samping yang terbuat dari kain tenun Siak, Indragiri, Daik, dan daerah-daerah di Riau lainnya. Bahan Baju Kurung Cekak Musang berupa kain sutra, kain satin, atau kain berkualitas tinggi lainnya. Sebagai perlengkapannya antara lain kopiah dan kain samping. Bahan untuk kain samping adalah bahan yang terpilih, seperti kain songket dan kain tenun lainnya. Sistem memakai kain samping ini ada dua macam, yaitu ikat dagang dalam dan ikat dagang luar. Pakaian resmi untuk perempuan dewasa adalah Baju Melayu Kebaya Laboh dan Baju Kurung Cekak Musang. Bahan untuk membuat kedua baju ini adalah kain songket atau kain terpilih lainnya seperti Tenun Siak, Tenun Indragiri, Tenun Trengganu, dan lain-lain. Bentuk Baju Kurung atau Kebaya Laboh ini mengikuti bentuk tubuh si pemakai, namun tidak terlalu longgar dan tidak terlalu sempit. Panjang baju perempuan yang masih gadis adalah tiga jari di atas lutut, sedangkan untuk orang tua panjang bajunya tiga jari di bawah lutut. c. Pakaian Upacara Adat Upacara yang pada zaman dulu diadakan oleh pihak kerajaan yang ada di Riau, kini dilanjutkan oleh Lembaga Adat Melayu Riau atau oleh pemerintah daerah. Beberapa upacara tersebut seperti upacara penobatan raja, upacara pelantikan, upacara penyambutan tamu, upacara penerimaan anugerah, dan lain sebagainya. Pakaian tradisional yang dipakai pada saat upacara adat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pakaian untuk perempuan dan pakaian untuk laki-laki. Pakaian upacara untuk perempuan yang masih gadis berbeda dengan pakaian untuk perempuan yang sudah menikah. Jenis pakaian yang dipakai untuk perempuan tua adalah Baju Kurung Tulang Belut. Sedangkan untuk perempuan setengah baya dan gadis adalah Baju Kebaya Laboh Cekak Musang berwarna hitam yang terbuat dari bahan sutra. Warna hitam pada pakaian ini hanya dipakai pada waktu upacara adat penobatan raja, menteri, atau datuk. Sedangkan untuk upacara adat yang lain, semisal upacara penerimaan tamu agung atau pun upacara penerimaan anugerah, para perempuan memakai baju berwarna kuning. Selain memakai baju kurung dan kebaya, perempuan Melayu yang menghadiri upacara adat juga memakai sanggul. Sanggul tersebut berbentuk sanggul joget, sanggul lipat pandan yang berhiaskan bunga goyang di atasnya. Di sebelah kanan sanggul dihiasi jurai panjang dan di sebelah kiri dihiasi jurai pendek. Baju Kebaya Laboh dan Baju Kebaya Pendek Sumber: O.K. Nizami Jamil et al. 2005. Pakaian Tradisional Melayu Riau. Pekanbaru: LPNU Press dan Lembaga Adat Melayu Riau, p.199. d. Pakaian Upacara Perkawinan Baju pengantin laki-laki Melayu adalah Baju Kurung Cekak Musang atau Baju Kurung Teluk Belanga. Untuk daerah Limo Koto Kampar baju pengantin laki-laki berbentuk jubah yang terbuat dari kain beludru. Baju Kurung Teluk Belanga terbuat dari bahan tenunan Siak, Indragiri, Daek, maupun Trengganu dengan warna merah, biru, kuning, dan hitam. Selain Baju Kurung Cekak Musang, pakaian pengantin laki-laki adalah kain samping motif yang serupa dengan celana dan baju, distar berbentuk mahkota dipakai di kepala, sebai warna kuning di bahu kiri, rantai panjang berbelit dua dikalungkan di leher, canggai yang dipakai di kelingking, sepatu runcing di bagian depan, dan keris hulu burung serindit pendek yang diselipkan di sebelah kiri. Busana yang dikenakan pengantin perempuan berbeda-beda, tergantung jenis upacara adatnya. Pengantin perempuan pada upacara Malam Berinai memakai Baju Kurung Teluk Belanga. Sedangkan saat Upacara Barandam, pengantin perempuan memakai Baju Kurung Kebaya Laboh atau Kebaya Pendek. Kepala hanya memakai sanggul yang dihiasi dengan bunga-bunga. Pakaian pengantin perempuan pada Upacara Akad Nikah adalah Baju Kebaya Laboh atau Baju Kurung Teluk. Kemudian untuk pakaian pada waktu upacara Bersanding adalah Kebaya Laboh atau Baju Kurung Teluk Belanga 2. Bahan dan Cara Pembuatan Secara umum, pengrajin pakaian dan perlengkapan tradisional tidak mempunyai persyaratan khusus. Mereka hanya membutuhkan ketekunan, kemauan, dan ketelitian dalam mengerjakan pakaian tersebut. Membuat pakaian tradisional hanya menjadi pekerjaan sampingan karena tidak setiap hari ada pesanan. Pakaian tradisional hanya dipesan pada waktu-waktu tertentu (M.A Effendi, et al. 2004: 60). Berikut ini adalah proses pembuatan pakaian tradisional Melayu di Riau: a. Bahan Ada beberapa jenis kain pembuat pakaian tradisional Riau dengan fungsi masing-masing. Beberapa jenis bahan untuk membuat pakaian tradisional Melayu daerah Riau adalah: � Kain songket untuk laki-laki dan perempuan. Kain jenis ini digunakan untuk menghadiri acara keagamaan dan adat. � Kain satin untuk pakaian laki-laki dan perempuan. Kegunaan kain ini sama dengan kain songket. � Kain sutra. Dipakai oleh laki-laki dan perempuan. Gunanya sama dengan kedua jenis kain di atas serta untuk pakaian penari. � Kain poplin. Dipakai oleh laki-laki dan perempuan anak-anak maupun dewasa untuk pakaian sehari-hari dan pakaian upacara. � Kain drill kaki. Kain jenis ini khusus untuk pakaian laki-laki khususnya untuk baju kancing tujuh. � Kain belacu. Untuk bahan pakaian yang dipakai laki-laki dan perempuan. Juga merupakan bahan pembuat pakaian basahan yang dipakai para petani atau nelayan untuk bekerja di luar rumah (M.A Effendi, et.al., 2004: 64-68). Jenis kain-kain di atas dibuat dari benang yang berbeda, misalnya benang katun, benang emas, benang perak yang ditenun menjadi kain yang disebut kain songket. Motif yang terdapat dalam pakaian tradisional itu adalah motif khas Riau. Nama-nama tenun songket didasarkan pada nama daerah asalnya. Beberapa nama kain songket dari daerah Riau adalah Songket Bukitbatu, Songket Indragiri, Songket Tambelan, Songket Siak Sri Inderapura, dan lain sebagainya. b. Proses Pembuatan Cara membuat dan memilih bahan untuk membuat pakaian tradisional adalah sebagai berikut: � Menentukan jenis upacara karena setiap kegiatan menggunakan pakaian yang tidak sama. Mengetahui jenis upacara atau kegiatan yang akan dilakukan berguna untuk menentukan jenis pakaian apa yang dibutuhkan. � Setelah mengetahui jenis pakaian apa yang ingin dibuat, langkah selanjutnya adalah menentukan jenis bahan yang digunakan untuk membuat pakaian tersebut. � Kemudian menentukan warna pakaian sesuai dengan kebutuhan. Setiap warna yang digunakan untuk pakaian tradisional mengandung makna dan simbolisasi yang berbeda-beda. Warna merah, misalnya, melambangkan persaudaraan yang dikenal dengan tali darah atau tali persaudaraan. Warna hitam melambangkan keperkasaan dan keberanian. Warna hijau melambangkan kesuburan dan tunas baru. Warna putih bermakna kesucian atau hati yang seputih kapas. Warna kuning menjadi lambang kekuasaan kerajaan atau kaum bangsawan. � Setelah itu menentukan model pakaian yang ingin dibuat. Misalnya, pakaian yang ingin dibuat adalah baju kurung. Model baju kurung ini berbeda-beda, ada model baju kurung leher tulang belut, baju kurung leher cekak musang, dan sebagainya. � Selanjutnya memotong bahan kain itu dan menjahitnya. � Setelah menentukan aksesori pelengkap lainnya, semisal tanjak, kain sarung atau kain samping, dan lain sebagainya. � Langkah terakhir adalah menentukan perhiasan yang cocok dengan pakaian yang dibuat. Perhiasan ini juga mesti sesuai dengan jenis kegiatan atau upacara yang akan diikuti. Dengan demikian jelaslah bahwa pakaian tradisional dalam khazanah kebudayaan Melayu di Riau kerap dikaitkan dengan upacara adat. Upacara itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu upacara jenis kegiatan dan upacara adat-istiadat. Jenis pakaian yang dikenakan, perhiasan yang dipakai, dan warna pakaian juga ditentukan menurut jenis upacara. 3. Fungsi Bagi masyarakat Melayu di Riau, pakaian bukan hanya berfungsi untuk melindungi tubuh, namun juga mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan masyarakat. Beberapa fungsi pakaian adat bagi masyarakat Melayu daerah Riau adalah sebagai berikut: a. Fungsi Budaya Pakaian tradisional dapat menjadi ciri kebudayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara umum, fungsi pakaian untuk menutup tubuh. Namun, kemudian muncul berbagai aksesori dan ciri khas yang membedakan antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Di masyarakat Riau, pakaian menjadi simbol yang dipakai dalam pelaksanaan upacara atau dalam acara-acara tertentu. Setiap upacara mempunyai jenis pakaian yang berbeda yang tentu saja juga berbeda dengan pakaian yang dikenakan sehari-hari. b. Fungsi Estetik Estetika busana Melayu Riau muncul dalam berbagai bentuk hiasan yang terdapat dalam pakaian tersebut. Selain berbagai hiasan, warna-warna dalam pakaian tradisional Riau juga mengandung makna-makna tertentu. Misalnya, warna kuning mengandung arti kekuasaan. Pakaian dengan warna seperti ini biasanya diperuntukkan bagi sultan atau raja. Warna hitam mengandung makna keberanian. Pakaian dengan warna seperti ini biasanya dipakai oleh para hulubalang dan para petarung yang melambangkan ketangkasan mereka. c. Fungsi Religius Pakaian tradisional daerah Riau mengandung makna dan berfungsi keagamaan. Pengaruh Islam dalam tata cara berpakaian sedikit banyak berpengaruh pada pakaian daerah Riau, di mana fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Hal ini dapat kita lihat pakaian perempuan yang berbentuk baju kurung, kerudung, dan menutupi hampir semua anggota tubuhnya. Selain dari bentuknya, fungsi religius pakaian tradisional Riau juga terlihat dari simbol yang digunakan sebagai hiasan yang berbentuk bulan dan bintang. Simbol tersebut mengandung makna ketakwaan terhadap Tuhan. Fungsi religius busana Melayu di daerah Riau juga muncul di berbagai media yang mereka gunakan untuk upacara, misalnya adanya kelengkapan tepung tawar. d. Fungsi Sosial Pakaian tradisional Riau mengandung makna dan berfungsi secara sosial. Pakaian tradisional Riau yang dipakai masyarakat, baik yang berasal dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa adalah sama, yaitu baju kurung. Perbedaannya hanya terletak pada bahan dan warna yang dipilih, dikarenakan dalam tradisi masyarakat Riau warna pakaian mempunyai lambang dan makna tertentu. e. Fungsi Simbolik Pakaian tradisional mempunyai makna simbolik tertentu yang dapat diterka lebih dahulu untuk mengetahui maknanya. Nilai-nilai simbolik yang terkait dengan pakaian tradisional, perhiasan, serta kelengkapannya terdapat pada kostum yang dipakai dalam upacara-upacara tradisional. Busana bukan hanya dimaknai sebagai pakaian yang dipakai, namun juga peralatan upacara yang digunakan. Beberapa makna yang terkandung dalam busana tradisional masyarakat Melayu Riau misalnya sirih (lambang persaudaraan dan kehormatan), bibit kelapa (simbol keturunan), payung (tempat bernaung). Pakaian yang dikenakan orang-orang Melayu Riau memperlihatkan bahwa hampir setiap apa yang mereka kenakan mengacu pada simbol-simbol tertentu (M.A Effendi, et.al., 2004: 113-132). 4. Nilai-nilai Nilai-nilai yang terkandung dalam pakaian tradisional Melayu Riau adalah sebagai berikut: a. Nilai Tradisi Busana yang dikenakan dalam suatu upacara adat telah menjadi tradisi selama bertahun-tahun. Hal ini menjadi ciri khas dan keunikan sebuah masyarakat. Dari busana adat yang dikenakan, maka dapat dipelajari mengenai tradisi masyarakat yang bersangkutan. b. Nilai Pelestarian Budaya Pakaian merupakan salah satu produk kebudayaan modern yang semakin hari semakin berkembang. Pakaian adat yang saat ini banyak dipakai masyarakat Melayu Riau merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan. Melestarikan busana tradisional tersebut sama artinya dengan melestarikan kekayaan budaya Melayu. c. Nilai Sosial Pakaian menjadi simbol tertentu yang menjadi penanda status seseorang. Selain itu, lewat nilai-nilai yang dikandungnya, pakaian Melayu juga bermakna sebagai media untuk menyatukan masyarakat. Nilai-nilai sosial itu muncul karena dalam pakaian tradisional tersebut tersemat makna-makna tertentu yang dinilai dan ditafsirkan oleh masyarakatnya. 5. Penutup Pakaian tradisional masyarakat Melayu Riau merupakan salah satu kekayaan nasional yang wajib dilestarikan. Masyarakat Riau sendiri sadar bahwa busana tradisional ini suatu ketika akan punah bila tidak dilestarikan. (Mujibur Rohman/bdy/17/12-2010) Sumber foto utama: http://eka-pohon.blogspot.com/ Referensi: M.A. Effendi, et al. 2004. Busana Melayu, Pakaian Adat Tradisional Daerah Riau. Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau. O.K. Nizami Jamil et al. 2005. Pakaian Tradisional Melayu Riau. Pekanbaru: LPNU Press dan Lembaga Adat Melayu Riau. Siti Zainon Ismail, 2004. �Busana Melayu Melaka� dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Mohd. Nefi Imran, 2004. Busana Melaka. Bukit Peringgit: Institut Seni Malaysia Melaka.***Moc)