Azan Menjemput Rezeki Dari Upah "Tual Sagu"

Ahad, 05 Maret 2017

bualbual.com, Makin tahun, pengelolaan sagu di Lingga boleh dikatakan menurun. Harga yang terus jatuh dipasaran membuat kebun-kebun sagu terbengkalai tanpa pengelolaan berarti. Namun begitu, Azan warga desa Panggak Laut kecamatan Lingga tetap meneruskan pekerjaan yang telah digelutinya belasan tahun untuk melanjutkan hidup. Azan hanya salah satu dari pekerja kebun sagu Lingga yang masih aktif. Mengambil upah dari menebang pohon sagu adalah pekerjaannya. Mulai dari proses menebang hingga mengantarkan tual-tual sagu yang telah dipotong menggunakan cara tradisional yang disebut warga menggolek. Dari setiap batang sagu yang ditebang, Azan mendapat upah Rp 80 ribu. “Untuk menebang kita sudah pakai senso. Cuma untuk mengeluarkannya dari hutan masih cara tradisional,” ungkapnya yang tengah sibuk menggolek (mendorong red) tual sagu. Setiap harinya kata Azan, jasa menebang pohon sagu tak pernah putus. Banyaknya pesanan dari warga yang juga mengelola produksi rumah tangga membuat Azan selalu disibukkan dengan perofesinya. “Alhamdulilah tak pernah putus. Perbatang tergantung ukuran, ada yang dibayar Rp 50 ribu ada yang Rp 80 ribu,” sambung lelaki paruh baya ini yang telah terbiasa masuk keluar hutan sagu yang berawa tersebut.

azan

Azan, warga desa Panggak Laut kecamatan Lingga sedang membawa batang sagu dengan cara menggolek (mendorong) untuk diolah. (foto: hasbi)

Meski tanpa perawatan, kebun-kebun sagu yang telah dirancang sejak 2 abad lalu sebagai ketahanan pangan kesultanan Melayu di Lingga, tumbuh subur menjadi hutan. Selain alasan pemanfaatan dan nilai guna, sagu menjadi alasan politis dan budaya. Bukti kesultanan Lingga begitu kuat dan mampu menjaga kebutuhan pangannya sendiri. Selain itu beragam makanan olahan tradisional melayu yang berbahan dasar sagu menjadi ciri khas dan kekayaan budaya Indonesia. Sementara Azan dan warga Lingga hari ini hanya tinggal memetik hasil. Memanen batang sagu yang telah cukup usia dari kebun yang menjadi belantara sagu. Pasaran harga sagu yang tidak stabil, tidak adanya pengolaan hingga pengolahan di daerah membuat sagu Lingga kian terpuruk. Dari tangan petani tradisional, sagu kotor hanya dihargai Rp 1.300 perkilogramnya.
IMG_0313

Salah seorang pekerja sedang mengupas tual sagu di Panggak Laut. (foto: hasbi)

Menuju Sentra Pangan Organik, Sagu Lingga Harus Jadi Prodak Unggulan

Pemkab Lingga tengah gencar menggarap sektor ketahanan pangan. Mulai dari alokasi ribuan hektar lahan sawah hingga dari Kementerian Pertanian dan TNI AD, Lingga juga punya mimpi lain memanfaatkan lahan kosong untuk digarap sentra buah-buahan organik. Tepatnya tanpan pupuk kimia. Sayangnya ditengah bersemangat menyediakan pangan padi dari areal sawah organik, sektor pertanian pangan nusantara yakni sagu kurang mendapat perhatian serius. Jika dibandingkan alokasi lahan sawah yang dikerjakan saat ini, kebun sagu yang telah jadi jauh lebih besar hingga 10 kali lipat. Sagu dikatakan tanaman yang memiliki usia  panjang. Menurut pakar sagu dari Institur Pertanian Bogor (IPB), Hasyim Bintaro luas areal sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta hektare dari total 6,5 juta jektare area sagu di dunia. Selain itu, sagu juga merupakan tanaman penghasil karbohindrat dan potensial yang memiliki nilai gizi tidak kalah dengan sumber pangan lainnya. “Tingkat produksi sagu lebih tinggi dibanding sumber pangan lainya, seharusnya sagu menjadi prioritas utama pemerintah untuk memenuhi komitmennya akan ketahanan pangan nasional. Jangan hanya fokus pada beras, jagung, kedelai dan singkong,” ungkap Hasyim seperti dirilis jpnn.com.
FullSizeRender

Bertahan meski dengan pola tradisional. (foto: hasbi)

Disampaikan Hasyim, sagu yang banyak tumbuh secara alami di hutan yang tersebar dari pesisir timur hingga barat Indonesia dalam pengasuhannya pun sangat ekonomis. Karena tidak ada peremajaan dan hanya membutuhkan minim proses pemeliharaannya. Karena tanpa dipeliharapun sagu kata Hasyim tetap mampu menghasilkan pati sagu yang tinggi. “Sebuah studi yang dilakukan sekelompok mahasiswa IPB di Jepang membuktikan bahwa dengan ataupun tanpa pupuk, sagu tetap menghasilkan pati sagu. Selain itu karena populasinya yang tinggi, serangan hama dan penyakit tanaman tidak akan merugikan tanaman sagu,” jelasnya. Selain memiliki gizi yang tidak kalah dibanding tanaman pangan lainnya, kadar serat dalam pati sagu kata Hasyim sangat tinggi. Sehingga bisa memberikan rasa kenyang yang lebih lama. Dari sesi medis dan kesehatan, karena tumbuh secara alami non kimia alias organik pati sagu baik untuk penderita diabetes. Selain itu sagu tidak mengandung glutein sehingga sangat berpotensi sebagai pengganti gandum. Sayangnya, modal daerah yang begitu besar di pulau Lingga ini sebagai wujud ketahanan pangan tidak menjadi fokus pemerintah. Kendala pupuk organik, tenaga ahli karena sawah dan padi merupakan hal baru kini jadi persoalan daerah yang mengancam program pemerintah pusat tersebut. Sementara sagu yang telah hidup dan tumbuh subur di belasan desa mulai dari kecamatan Lingga hingga kawasan Lingga Timur dan diperkirakan luasnya mencapai puluhan ribu hektare dengan ribuan warga yang telah terbiasa bekerja belum sama sekali belum mendapat campur tangan yang serius dari pemerintah terkait. Jika pemerintah membuka diri, pengelolaan dan terapan teknologi yang digunakan pertanian sagu Lingga yang kualitasnya diakui paling baik akan memberikan retribusi kepada daerah. Baik segi politis, budaya maupun ekonomi yang kuat bagi masyarakat pesisir. (hasbi)   BB.C/PL.C