Beringin Riau Jatuh, tapi Tumbuh Kembali

Minggu, 09 November 2025

BUALBUAL.com - Kekalahan Syamsuar dalam Pilkada Riau 2024 menjadi penanda penting dalam sejarah politik daerah. Untuk pertama kalinya sejak reformasi 1998, Partai Golkar kehilangan kekuasaan yang selama ini begitu kuat melekat di Bumi Lancang Kuning. Namun, dari kekalahan itu tersimpan pelajaran berharga: bahkan pohon beringin yang besar pun harus belajar rendah hati—belajar mendengar, berbenah, dan menyesuaikan diri dengan arah zaman.

Runtuhnya Hegemoni Lama

Sejak awal reformasi, Partai Golkar identik dengan kekuasaan di Riau. Dari Saleh Djasit, Rusli Zainal, Anas Maamun, hingga Syamsuar—semuanya lahir dari akar yang sama: beringin yang kokoh. Namun, sejarah selalu menunjukkan bahwa kekuasaan panjang tanpa pembaruan akan berakhir dengan kejenuhan publik.

Pilkada Riau 2024 menjadi babak dramatis ketika kekuatan lama itu akhirnya runtuh. Golkar kehilangan suara di sebelas kabupaten/kota, termasuk di basis kuatnya seperti Pekanbaru, Dumai, Bengkalis, dan Rokan Hilir. Hanya Kabupaten Siak yang masih bertahan, itupun dengan penurunan signifikan. Kekalahan Syamsuar bukan sekadar kekalahan kandidat, tetapi juga runtuhnya pola patronase yang selama ini menopang kejayaan partai.

Fenomena ini sejalan dengan konsep incumbency curse—“kutukan petahana”—yang menyebut bahwa kekuasaan panjang tanpa inovasi justru menjadi beban elektoral. Pemilih kini menilai berdasarkan kinerja, bukan loyalitas. Politik berubah dari orientasi patronase menuju rasionalitas.

Transformasi Perilaku Pemilih

Masyarakat Riau kini bukan lagi pemilih yang tunduk pada simbol lama. Mereka adalah generasi muda yang berpendidikan, melek digital, dan kritis terhadap politik transaksional. Jaringan patron-klien yang dahulu menjadi mesin suara kini melemah karena masyarakat semakin mandiri, baik secara ekonomi maupun informasi.

Kekalahan Golkar adalah konsekuensi logis dari perubahan perilaku politik ini. Pemilih muda tidak lagi memandang partai sebagai satu-satunya saluran aspirasi, melainkan menilai sejauh mana komitmen partai terhadap transparansi dan akuntabilitas. Mereka menolak feodalisme politik yang masih bersembunyi di balik struktur partai tua.

Sebagaimana dicatat oleh banyak studi global, melemahnya patronase dan meningkatnya pendidikan selalu memperkuat rasionalitas pemilih. Itulah yang kini terjadi di Riau: demokrasi lokal naik kelas, dan Golkar menjadi salah satu “korban” kematangan politik warganya sendiri.

Aklamasi Yulisman: Awal dari Refleksi

Pasca kekalahan itu, Golkar Riau mencoba bangkit. Musda XI Partai Golkar Riau yang digelar awal November 2025 menjadi momentum konsolidasi besar. Melalui aklamasi, Yulisman terpilih sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Riau periode 2025–2030.

Media lokal mencatat, Golkar kini menatap babak baru dengan semangat kebersamaan. Dalam pidatonya, Yulisman menyampaikan pesan yang kemudian viral di kalangan kader:

"Tidak boleh ada yang mengatakan Golkar Riau milik si A, si B, atau si C. Kita semua adalah pemilik Golkar.”

Pernyataan itu bukan sekadar formalitas, tetapi deklarasi moral untuk mengakhiri faksionalisme yang selama ini melemahkan partai. Dua dekade terakhir, Golkar Riau terlalu sering tersandera konflik internal dan tarik-menarik kepentingan. Kini, semangat kebersamaan menjadi awal bagi proses penyembuhan.

Kebersamaan Bukan Sekadar Slogan

Kebersamaan yang digaungkan Yulisman harus dimaknai lebih dari sekadar jargon musda. Ia mesti menjadi fondasi politik baru—politik yang inklusif, partisipatif, dan berbasis meritokrasi. Golkar tidak boleh lagi menjadi partai yang “dimiliki” segelintir elite, melainkan rumah besar bagi kader yang berprestasi dan berpikir maju.

Slogan “tegak lurus” yang diusung Yulisman bisa dimaknai sebagai komitmen ganda: tegak terhadap garis partai nasional, dan lurus terhadap etika politik lokal. Loyalitas tidak boleh menyingkirkan integritas. Konsolidasi bukan keseragaman mutlak, tetapi kesepakatan untuk menegakkan nilai.

Jika Golkar ingin kembali dipercaya, semangat kebersamaan harus diwujudkan dalam transparansi, regenerasi kader, dan keberanian melakukan otokritik. Politik baru menuntut partai yang mau belajar dari kesalahan—bukan menutupinya dengan seremoni.

Ujian Kebangkitan

Tiga tantangan besar menanti Yulisman dan Golkar Riau:

  1. Regenerasi dan inklusi kader muda. Golkar harus membuka ruang nyata bagi generasi baru politik Riau—bukan sekadar simbolik.
  2. Modernisasi organisasi. Di era digital, partai harus memperkuat komunikasi politik, transparansi keuangan, dan citra berbasis gagasan.
  3. Etika dan integritas. Kepercayaan publik hanya akan pulih jika partai menunjukkan wajah bersih dan berdisiplin moral.

Tanpa keseriusan menghadapi tantangan ini, semangat kebersamaan hanya akan menjadi retorika musiman. Namun jika dijalankan dengan konsisten, Golkar Riau bisa menjadi laboratorium pembaruan politik di Indonesia bagian barat.

Ketika Beringin Belajar Rendah Hati

Sejarah politik selalu memberi pelajaran bagi mereka yang merasa terlalu besar untuk berubah. Golkar Riau kini berada di titik kontemplatif—antara nostalgia kejayaan dan panggilan zaman untuk berbenah.

Pohon beringin yang dulu tegak tinggi kini harus belajar rendah hati: mendengar suara angin perubahan, menunduk agar tidak patah diterpa badai demokrasi. Dalam kerendahan hati itulah kekuatan baru bisa tumbuh—kekuatan moral, solidaritas kader, dan kedekatan dengan rakyat.

Jika kebersamaan dijadikan landasan, bukan sekadar alat konsolidasi kekuasaan, kebangkitan bukanlah mimpi. Golkar bisa kembali menjadi partai rakyat, bukan hanya partai penguasa.

Dan jika pesan Yulisman—“Golkar milik kita semua”—benar-benar dijalankan, maka pohon beringin itu akan kembali rindang: bukan karena tinggi batangnya, tetapi karena luas naungannya.

Penulis: Muammar Alkadafi adalah pemerhati sosial politik dan analis kebijakan publik di Riau. Ia mengajar di Program Studi Administrasi Negara, UIN Sultan Syarif Kasim Riau.