Bisa Rusakan Hutan Mangrove, Fokus Ornop dan JIKALAHARI Pinta Pemerintah Evaluasi Izin Industri Dapur Arang di Inhil

Sabtu, 10 Juni 2023

Pantai Solop Desa Pulau Cawan Kecamatan Mandah

BUALBUAL.com - Aktivitas dapur arang yang menggunakan kayu bakau (mangrove) sebagai bahan baku di Desa Pulau Cawan, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, dinilai mengancam ekosistem laut di pesisir Indragiri. Dapur arang yang beroperasi tersebut berpotensi menghabiskan sejumlah besar kayu bakau setiap harinya.

Jika aktivitas dapur arang ini terus berlanjut, upaya mitigasi perubahan iklim yang menjadi perhatian pemerintah akan gagal total. Hal ini disebabkan oleh ancaman perambahan hutan mangrove di bibir pesisir Indragiri yang dapat menyebabkan bencana alam seperti abrasi, intrusi air laut, dan bahkan banjir rob.

"Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (Fokus Ornop), Indra Gunawan, mengatakan bahwa aktivitas dapur arang akan mengancam ekosistem pesisir Indragiri dan mengundang bencana alam," demikian dikatakan pada Sabtu (10/6/2023).

Oleh karena itu, Indra Gunawan meminta pemerintah untuk meninjau kembali izin dapur arang di Pulau Cawan. Dikhawatirkan dapur arang yang beroperasi tersebut tidak memperhatikan dampak lingkungan dan mengancam terjadinya abrasi yang akan memperluas kerusakan perkebunan petani kelapa serta perambahan hutan mangrove.

Tidak hanya mengancam ekowisata Pantai Solop, aktivitas dapur arang juga mengancam habitat laut dan sungai seperti habitat ketam, siput, dan udang yang terancam hilang akibat aktivitas penebangan hutan mangrove untuk mendapatkan kayu bakau sebagai bahan baku dapur arang.

"Perambahan mangrove akan berakibat fatal bagi lingkungan sekitar dan merusak ekosistem laut serta sungai di pesisir," tegasnya.

Indra Gunawan mengatakan bahwa aktivitas dapur arang di Pulau Cawan harus diperhatikan terkait bahan baku kayu bakau yang digunakan untuk membuat arang bakar dan diekspor ke luar negeri. Namun, apakah penggunaan kayu bakau tersebut sudah legal atau ilegal? Sampai saat ini, pemerintah pusat belum melegalkan eksploitasi mangrove di pesisir.

"Jika dapur arang tersebut berizin, yang perlu diperhatikan adalah legalitas bahan bakunya. Sampai saat ini, belum ada legalitas eksploitasi mangrove yang kami ketahui," tegasnya.

Dalam konteks yang sama dengan Fokus Ornop, Zainal Arifin Hussein, seorang anggota Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (JIKALAHARI), juga menyerukan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan serius dalam mengatasi perubahan iklim. Zainal meminta kepada pemerintah pusat melalui DPR RI untuk melakukan evaluasi terhadap izin industri dapur arang/kayu bakar bakau.

Menurut Zainal, saat ini perizinan industri dapur arang dikategorikan sebagai risiko sedang jika diperiksa melalui Online Single Submission (OSS), dan perusahaan dapat dengan mudah mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) serta izin operasionalnya. Oleh karena itu, Zainal meminta agar DPR RI meninjau kembali persyaratan perizinan industri dapur arang agar kategori risikonya ditingkatkan menjadi tinggi. Hal ini bertujuan untuk mencegah pendirian lebih banyak lagi industri dapur arang di masa depan.

"Kami khawatir bahwa dengan mudahnya mendapatkan izin tersebut, akan ada banyak lagi industri dapur arang yang didirikan," tegasnya.

Zainal dengan tegas menyatakan bahwa industri dapur arang akan memperburuk kondisi, di mana ribuan hektar kebun kelapa rakyat telah mati akibat abrasi, intrusi air laut, dan banjir rob yang semakin tinggi setiap tahunnya. Hal ini akan berdampak secara sosial dan memperburuk perekonomian masyarakat secara keseluruhan akibat penebangan mangrove yang tidak terkontrol.

"Industri dapur arang dianggap merusak, dan konservasi hutan mangrove menjadi tidak terkendali. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah untuk mengevaluasi izin industri ini," pintanya.

Zainal dengan tegas menyatakan bahwa mangrove merupakan sumber daya penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir pantai Indragiri. Mangrove berfungsi sebagai tempat berkembangbiaknya sumber daya ikan, udang, dan kepiting, serta sebagai green belt atau "sabuk hijau" saat terjadi bencana, sebagai pencegah abrasi pantai.