BUAL Rakyat Riau, Gelar Adat LAMR untuk Presiden Jokowi?

Jumat, 14 Desember 2018

BUALBUAL.com, TAK ada aral melintang hari Sabtu tanggal 15 Desember 2018 akan diberi gelar adat kepada Presiden Jokowi. Hal yang sama pernah juga diberikan kepada Presiden SBY oleh LAMR (Lembaga Adat Melayu Riau). Pemberian gelar adat ini baru kali pertama -kalau tak salah- dalam sejarah LAMR menuai sikap pro dan kontra. Sebelumnya aman dan lancar tanpa halangan sedikitpun. Pemberian gelar adat ini terpaut pula di tahun politik. Tak heran, menuai kritik dan respon yang beragam ditengah masyarakat Riau. Bapak Letjen (purn) H. Syarwan Hamid salah satu tokoh masyarakat Riau yang kurang "sreg" dan setengah "naik pitam" atas pemberian gelar adat kepada Presiden Jokowi. Protes yang dilontarkan Bapak H. Syarwan Hamid bisa dimaklumi, karena belum adanya prestasi Presiden Jokowi terhadap rakyat Riau. Ada yang mengelu-elukan pembangunan jalan tol Pekanbaru-Dumai tapi belum bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. H. Syarwan Hamid sempat membeberkan beberapa alasan, pertama, apa kontribusi Presiden Jokowi buat Provinsi Riau ? Dimata H. Syarwan Hamid pemberian gelar adat itu dinilai mengada-ada. Kedua, Jokowi saat ini sedang dalam proses pencalonan Presiden RI untuk periode kedua. Momennya kurang tepat, mengapa tidak tahun sebelumnya. Bahkan mantan Jenderal bintang tiga ini mengancam Pengurus LAMR akan melepaskan/mengembalikan gelar adat Datuk Lela Seri Negara yang pernah disematkan pada dirinya di tahun 2000 oleh lembaga adat Melayu Riau saat beliau menjabat sebagai Mendagri era pemerintahan BJ. Habibie, jika gelar adat untuk Presiden Jokowi tetap dilakukan. Tidak berhenti di Presiden Jokowi, LAMR pun oleh Syarwan Hamid "dituding" sebagai lembaga yang tidak netral, kehilangan independensinya. Bahkan lebih mengedepankan kepentingan pribadi, keputusan dibuat secara personal ketimbang mendengarkan suara orang banyak. Bahkan dimata jenderal bintang tiga ini, LAMR telah kehilangan esensi peran keadatan dan bergeser ke "urusan" politik. Sekalipun ketua umum Pengurus Harian LAMR Syahril Abu Bakar menegaskan dalam setiap kesempatan bahwa ini murni pemberian gelar adat, tidak ada muatan politik. Terlepas itu semua, ada sikap menolak, namun sikap pro LAMR juga tak bisa diabaikan. Karena LAMR tetaplah LAMR sebagai institusi pengawal kepemimpinan kecuali kalau LAMR (baca: elitnya) punya misi politik "terselubung" sebelum dan pasca pilpres. LAMR "Pengawal" Keadatan Beberapa bulan yang lalu, setahu penulis LAMR pernah menggelar acara tepuk tepung tawar buat Sandiaga Uno -yang akrab dipanggil bang Sandi-, sebagai cawapresnya Letjen (purn) Prabowo Subianto, dengan alasan Sandi lahir di rumbai Pekanbaru dan lebih afdhol lagi diacara tersebut tuan guru UAS tampak hadir diundang duduk disamping Sandi. Acara berlangsung penuh kekeluargaan dan persahabatan. Memang agak sedikit kurang lazim, saat Sandi menginjak kaki di tanah Melayu ini ---balek kampung---disambut meriah dengan acara tepuk tepung tawar. Sedangkan Sandi baru setakat calon wapres yg dipasangkan dengan Prabowo sebagai capres. Tidak ada protes dan tidak ada penolakan. Sekalipun tak bisa dielakkan bahwa LAMR. Pertanyaannya, mengapa ketika Presiden Jokowi dianugerahi gelar adat ada tokoh masyarakat yang menolak? Kok Sandi tidak? Apakah faktor Sandi yang kebetulan lahir di tanah Melayu (Riau)? Atau ada faktor politik lain, terkait Riau (2014) saat Pilpres digelar -daerah ini- menjadi basis pendukung kuat Prabowo-Hatta. Sedangkan Jokowi-JK kalah. Atau ada faktor lain (potensi resistensi) yang cukup kuat di sebagian besar rakyat di bumi Melayu ini menuntut ganti presiden 2019? Apa yang dikatakan bapak H. Syarwan Hamid kelahiran Siak ini mempertegas bahwa Presiden Jokowi dalam satu periode belum membuktikan berkonstribusi buat rakyat Riau memang kurang dirasakan. Berbanding terbalik dengan program-program pembangunan yg lagi gencar digarap Presiden Jokowi di pulau Jawa dan wilayah Indonesia Timur. Kini, gelar adat yang diberikan kepada Presiden Jokowi oleh LAMR tinggal menunggu jam. Penulis memberi catatan bahwa Jokowi sebagai capres, telah didukung pula oleh bupati/walikota se-Riau, termasuk gubernur dan wakil gubernur terpilih punya andil politik mendukung Presiden Jokowi kembali. Sekalipun arus bawah (baca: pemilih) cukup kecewa terhadap Gubernur Riau terpilih (Syamsuar-Edi Natar) yang membuat monuver mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai capres dan cawapres. Luapan "marah" dan kecewa itu sebagian besar datang dari timses (PAN, PKS), relawan, pendukung loyalis dan warga yg memilih pasangan nomor urut 1 dalam pilkada gubernur Riau (2018). Terlepas sikap pro kontra, semuanya dapat diambil pelajaran berharga bahwa "tidak ada sekutu dalam dunia politik, yang ada hanya kepentingan belaka". Apa yg dilakukan LAMR dalam pemberian gelar adat untuk Presiden Jokowi atau siapa pun yang dianggap kompeten, hendaklah ditempatkan secara profesional dan proporsional. Bahwa LAMR adalah institusi keadatan tempat berteduh masyarakat secara sosial dan kultural tanpa menampikkan soal kepemimpinan. Kalaupun penganugerahan gelar adat tetap diberikan, menurut hemat penulis tidak memberikan perubahan peta politik suara menjelang pilpres 2019, dan tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, rakyat Riau sudah tahu siapa capres/cawapres yang harus dipilih secara cerdas. Tampaknya ada beberapa alasan kuat petinggi LAMR yang didukung oleh Pemerintah Daerah (baca: gubri) dan DPRD Riau (baca: ketua) mendatangi istana merdeka menemui Presiden Jokowi untuk diberi gelar adat. Pertama, karena kebijakan dan ketegasan Presiden Jokowi, Riau saat ini sudah bebas asap. Kedua, Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang TORA (Tanah Obyek Reformasi Agraria) membuka peluang masyarakat adat Melayu Riau untuk mengurus pengakuan berbentuk sertifikat milik bersama atas tanah adat. Ketiga, Inpres No. 8 tahun 2018 tentang perkebunan kelapa sawit memberi peluang pada masyarakat adat Melayu Riau untuk mengambil peran dalam pengembalian haknya atas hutan tanah adat yang telah diusahakan secara ilegal oleh pihak pihak tertentu. Keempat, Blok Rokan, ladang minyak di Provinsi Riau, yang hampir se-abad dikelola perusahaan asing, dibawah kepemimpinan Jokowi akan dikelola Pertamina setelah tahun 2021. Kelima, ada sejumlah proyek strategis nasional di Provinsi Riau terutama di bidang infrastruktur jalan tol dan pembangkit listrik yang dapat meningkatkan perekonomian di Riau. Keenam, Realisasi TORA dan perhutanan sosial (PS) untuk masyarakat Riau. Ketujuh, terwujudnya Embarkasi antara untuk Jamaah Calon Haji Riau di Pekanbaru. Akhirnya, jikalau LAMR bersekokoh memberi gelaradat buat Presiden Jokowi hendaknya kita lihat dari perspektif negara bahwa Jokowi adalah presiden yang dipilih secara konstitusional. Soal pilihan politik di pilpres mendatang punya jago masing masing, tinggal dibuktikan pada tanggal 19 April 2019. Dan LAMR seharusnya berada dalam sikap istiqomah untuk memposisikan diri berada/berpijak ditengah-tengah, agar tidak "dituduh" berada di salah satu blok -rezim oposisi atau rezim berkuasa- (terutama elitnya), sekaligus mampu menjaga independensi dan kemandirian dalam bersikap dan bertindak, bukan sebaliknya. Sekian. *   Sumber: cakaplah.com