'BUALBUAL RAKYAT' H. Chaidir, MM Menyingkap Lelang Jabatan

Senin, 05 Agustus 2019

KASUS OTT jual-beli jabatan di Kementerian Agama Jawa Timur dan di Pemda Kabupaten Kudus Jawa Tengah belum lama ini menjadi pelajaran berharga bagi daerah lain untuk tidak menyalahgunakan kewenangan yang diamanahkan. Ingat pepatah orang tua-tua kita “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Artinya, sekali saja mengkhianati kepercayaan yang diberikan, seumur hidup orang tak akan percaya. Dalam dalil kuno Lord Acton, kewenangan itu cenderung disalahgunakan (Power tends to corrupt). Kewenangan itu madu, diminum overdosis menjadi racun. Maka, Gubernur Riau Syamsuar baru saja berniat hendak melakukan rekrutmen personel Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk pengisian jabatan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam struktur Pemerintahan Daerah yang dipimpinnya, langsung diberi nasihat bertalu-talu. Kawan dekat kawan jauh, kiri-kanan, muka-belakang, bertubi-tubi memberi petuah, terakhir KPK pun ikut wanti-wanti: jangan jual-beli jabatan. Alamak. Padahal, Ranperda tentang perubahan struktur OPD yang diajukan gubernur masih dalam tahap pembahasan di DPRD Provinsi Riau. Ranperda tersebut merupakan Perubahan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Riau. Pembahasannya belum final. Logika awamnya, bentuk dulu struktur OPD-nya baru kemudian diisi personelnya. Tapi akibat ulah “wabah” OTT jual-beli jabatan itu, semua heboh latah berkomentar ibarat ayam gadis bertelur, heboh sekampung. Kita mafhum, masyarakat kita agaknya sedang mengidap paranoid stadium awal, dilanda kekhawatiran yang berlebihan. Masyarakat Riau khususnya, barangkali masih dihinggapi trauma akibat kejadian-kejadian kelam masa lalu daerah ini. Janganlah sampai Riau terjangkit wabah itu. Janganlah lagi arang tercoreng di kening. Apa boleh Gubernur Syamsuar terpaksa bertebal telinga dinyinyiri petuah kiri-kanan. Anggap saja itu rasa memiliki masyarakat terhadap pemimpinnya. Pengertian Lelang Jabatan Frasa “Lelang Jabatan” ini memang bikin senewen, membuat masyarakat awam berpandangan miring. Kenapa pengisian jabatan itu mesti dilelang? Dalam logika awam, pemenang lelang tentulah siapa yang paling tinggi mengajukan penawaran. Sederhana sekali. Calon yang berani menawar paling tinggi, dialah yang dapat jabatan tersebut. Tak dilelang saja, praktik semacam itu sudah menjadi rahasia umum. Sebetulnya istilah lelang jabatan ini tidak dikenal dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN. Istilah lelang jabatan hanya dikenal dalam praktik pengisian jabatan pemerintahan atau birokrasi yang dilakukan untuk memenuhi prinsip meritokrasi. Meritokrasi atau sistem merit sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN tersebut merupakan kebijakan dalam sistem manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur atau kondisi kecacatan. Dalam merit sistem, semua yang telah memenuhi persyaratan kepangkatan, pengalaman, pendidikan, dan kompetensi diuji secara terbuka dan objektif oleh Pansel yang terjamin kredibilitasnya. Dan bagi yang memperoleh hasil terbaik diberi kesempatan. Jadi lelang jabatan sama sekali beda dengan lelang barang atau lelang mobil bekas. Skema lelang jabatan ini sesungguhnya bukan hal yang baru, proses ini dipopulerkan Presiden Jokowi kala menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Skema lelang jabatan ini sebenarnya sederhana, yakni seleksi terbuka. Kemudian diinisiasi oleh Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu I Sri Mulyani, seleksi terbuka mulai diperkenalkan tahun 2008 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 Tahun 2008 tentang Pengangkatan dalam Jabatan Struktural melalui Pencalonan Terbuka di Lingkungan Kementerian Keuangan. Untuk Tata Kelola Yang Baik Di tengah perubahan yang terjadi demikian cepat di era disrupsi sekarang ini, dalam arti perubahan cepat yang ditandai dengan kekacauan akibat musuh-musuh virtual yang tak terlihat, menyebabkan organisasi harus terus-menerus menyesuaikan diri. Perilaku organisasi pemerintahan atau birokrasi (sebetulnya organisasi modern apapun, dimana pun) harus mengakomodasi tatangan eksternal dan internal sekaligus bila masih mau eksis. Tantangan eksternal organisasi tak kenal kompromi. Pertama, tantangan perubahan lingkungan strategis yang berlangsung supercepat dan menggila, berkejar-kejaran dengan waktu dan pesaing. Ibaratnya, inovasi yang kita ciptakan hari ini esok hari segera menjadi basi. Beberapa tahun lalu misalnya, tak pernah terbayangkan jabatan rektor perguruan tinggi kita boleh diisi ahli dari luar negeri. Kedua, tuntutan peningkatan pelayanan publik yang tak bisa ditawar-tawar. Tantangan internal yang paling berat adalah mengalahkan diri sendiri (melakukan transformasi), mengubah budaya organisasi, mengubah pola pikir. Persis seperti disebut pakar manajemen Peter Drucker, “The enemy is not out there.” Musuh tidak berada di luar sana, tapi berada dalam organisasi itu sendiri. Dengan kata lain, tantangan internal seringkali menyulitkan sebuah organisasi untuk maju. Dalam ungkapan lain Drucker menyebut bahwa sebuah organisasi itu gagal merebut peluang disebabkan oleh faktor salah urus (undermanaged). PNS enggan beranjak dari zona nyaman (comfort zone), padahal mereka harus move-on, harus rela berkeringat masuk ke arena competitive zone. Maka tak terhindarkan, seperti disebut pakar kebijakan publik Eko Prasojo bahwa, skema lelang jabatan akan menciptakan kompetisi yang fair dan obyektif, sehingga dapat diperoleh calon pemimpin terbaik. Dalam Pasal 72 UU No 5 Tahun 2014 Tentang ASN secara lugas disebutkan bahwa “setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi”. Hal ini berarti, sistem promosi PNS harus terbuka dan kompetitif. PNS zaman now beda, mereka bisa memperkarakan pimpinannya yang diskriminatif. Dengan demikian seorang kepala daerah di era sekarang tak bisa lagi mengangkut orang-orangnya (orang sekampung atau timses) untuk menduduki suatu jabatan. Skema lelang jabatan pasti lebih transparan dari sistem sebelumnya. Dalam sistem lama, sudah bukan rahasia lagi jika ada tiga kandidat yang namanya diusulkan dalam sidang promosi jabatan, misalnya, dua orang lainnya hanyalah pelengkap. Hal ini tidak terjadi dalam skema lelang jabatan. Skema lelang jabatan merupakan terobosan pemerintah untuk memudahkan publik memantau dan memberikan masukan terhadap jalannya proses pemerintahan. Maka terciptalah good governance di dalam pemerintahan. Sistem ini akan menjadi salah satu pengungkit keberhasilan reformasi birokrasi, dan mencegah terjadinya politisasi birokrasi. Membangun Super Team Menghadapi era skema lelang jabatan yang tak terhindarkan, PNS harus mempersiapkan diri untuk berkompetisi secara terbuka dan fair. Era orang sekampung atau era katebelece sudah hanyut ditelan waktu. PNS dan ASN pada umumnya dituntut untuk sekaligus memiliki hard skill dan soft skill (kepribadian, komunikasi, kepemimpinan) yang hebat bila hendak memenangkan kompetisi terbuka dan fair. Kompetensi (competency) saja tidak lagi cukup melainkan harus good competency. Character saja tak lagi memadai melainkan harus best character (berakhlak mulia, berwatak baik, integritas teruji). Komitmen yang merupakan faktor penting dalam mempengaruhi kinerja, tak lagi cukup melainkan harus great commitment (komitmen yang dahsyat). Kita pasti memiliki banyak PNS atau ASN yang mempunyai kualifikasi demikian. Dan bila mereka mengikuti lelang jabatan, pemenangnya adalah orang-orang yang handal dan terpuji, terbaik dari yang terbaik. Maka ibarat klub sepakbola liga profesional Barcelona, Real Madrid, Juventus, Liverpool, Manchester United, atau Bayern Munchen yang diisi oleh para bintang, organisasi birokrasi pemerintahan pun akan diisi oleh para bintang. Maka akan mudah bagi Gubernur untuk membentuk sebuah superteam, tinggal seni meracik, memadukan dan mengarahkan para bintang itu. Tak perlu jual-beli jabatan. Ciyus.
Sumber: Cakaplah
Penulis : Dr. drh. H. Chaidir, MM