BUALBUAL RAKYAT: Menakar Panggung Politik Riau

Jumat, 06 September 2019

IBARAT panggung sandiwara, layar panggung politik Provinsi Riau babak baru mulai tersibak dengan dilantiknya 65 orang anggota DPRD Provinsi Riau periode 2019-2024. Pemain-pemain baru tentu ingin unjuk kebolehan, menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya kepada konstituennya, bahwa mereka pantas duduk sebagai wakil rakyat. Pemain-pemain lama pula, tentu mempertaruhkan jam terbangnya.   Ungkapan artis Tina Toon yang merasa seperti mimpi ketika dilantik menjadi anggota DPRD DKI Jakarta, agaknya mewakili perasaan anggota-anggota dewan kita yang baru. Ada yang merasa percaya diri, tak sedikit yang merasa kurang nyaman, ada pula yang merasa belum menguasai tugas pokok dan fungsi anggota DPRD, semua perasaan berbancuh. Dalam sudut pandang perilaku organisasi (organizational behavior), hal itu biasa. Masing-masing tentu berusaha akomodatif menyesuaikan diri terhadap iklim baru.   Komposisi DPRD Riau   Sesungguhnya, dari aspek kepartaian, tidak ada perubahan di panggung politik DPRD. Semua partai lama kembali manggung. Perubahan hanya terjadi pada komposisi keanggotaan baru DPRD Provinsi Riau periode 2019-2024. Partai Golkar masih tetap menguasai dengan perolehan 11 kursi, turun tiga kursi dari periode sebelumnya. Posisi kedua PDIP memperoleh 10 kursi, naik satu kursi. Partai Demokrat menempati rangking ketiga tetap bertahan sembilan kursi. Partai Gerindra menempati rangking keempat, delapan kursi, naik satu kursi.   Dengan demikian komposisi Pimpinan DPRD Provinsi Riau periode 2019-2024 terdiri dari: Ketua dipegang Partai Golkar, Wakil Ketua berurutan diisi PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra. Partai Gerindra naik kelas sebagai Wakil Ketua menggeser posisi PAN yang dalam rangking perolehan suara bahkan tergeser ke posisi keenam.   PAN dan PKS sama-sama memperoleh tujuh kursi, namun PKS melakukan lompatan hebat pada Pemilu 2019. Mereka memperoleh suara lebih banyak.         Dalam periode 2014-2019, PKS hanya memperoleh tiga kursi. PKB bertahan enam kursi. PPP empat kursi, turun satu kursi. Partai Nasdem turun dari tiga menjadi dua kursi dan Partai Hanura turun dari dua menjadi satu kursi. Hubungan Eksekutif-Legislatif   DPRD Provinsi adalah lembaga perwakilan rakyat daerah, berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam Pasal 57 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara tegas diatur, bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Dalam pasal lain diatur, bahwa hubungan kerja antara DPRD dan kepala daerah didasarkan atas kemitraan yang sejajar. Kemitraan itu wujudnya antara lain persetujuan bersama dalam pembentukan Peraturan Daerah.   Persetujuan bersama inilah yang berpotensi jadi masalah. Kalau hubungan eksekutif-legislatif tak harmonis, alamatlah banyak kerja tak menjadi, susah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Provinsi Riau belum pernah berpengalaman dengan posisi hubungan eksekutif-legislatif yang asimetri seperti sekarang. Pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Riau sejak era reformasi belum pernah tidak berasal dari partai politik mayoritas di DPRD Riau. Sekarang hubungan itu tergambar asimetri, sebab Gubernur-Wakil Gubernur yang terpilih dan sedang menjabat (sekurang-kurangnya dalam proses pencalonan sebelumnya) bukan berasal dari parpol atau gabungan parpol mayoritas di DPRD Provinsi Riau.   Seperti diketahui, pasangan Gubernur Syamsuar - Wagub Edy Natar Nasution dalam proses pencalonannya bukan berasal dari parpol atau gabungan parpol mayoritas di DPRD Riau periode 2014-2019. Dalam DPRD yang baru periode 2019-2024 hasil pemilu 2019, gabungan parpol pendukung pasangan tersebut hanya memperoleh 16 kursi (24,6%) dari 65 kursi, terdiri dari PAN tujuh kursi, PKS tujuh kursi dan Nasdem dua kursi. Lantas apakah dengan demikian hubungan eksekutif-legislatif dalam Pemerintahan Provinsi Riau akan macet? Kesulitankah dua lembaga ini membangun sinergi untuk membuat persetujuan bersama? Menarik untuk ditinjau.   Dalam pendekatan sistem politik Indonesia, pemeritahan daerah (eksekutif-legislatif di daerah) tidak sama dan sebangun dengan struktur hubungan eksekutif-legislatif di pusat. Eksekutif dan legislative di pusat merupakan cabang kekuasaan negara (eksekutif-legislatif-yudikatif). Di pusat, Presiden dan DPR kotak kekuasannya terpisah. Sedangkan di daerah, Pemerintah Daerah dan DPRD berada dalam kotak pemerintahan daerah. Bila ditarik garis ke atas, Pemerintah Daerah dan DPRD itu berada di bawah kotak Presiden (ekskutif). Tapi gubernurlah yang memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPR-RI tidak punya garis komando dengan DPRD.   Jadi, hubungan gubernur-DPRD atau bupati/walikota-DPRD beda dengan hubungan Presiden-DPR RI. Presiden memiliki hak prerogative dalam membentuk kabinet. Menteri kabinet adalah jabatan politik bisa diambil dari anggota DPR atau dari parpol. Kepala daerah tak punya hak prerogative dalam membentuk “kabinet”nya mengisi struktur organisasi di daerah. Kepala daerah tak mungkin mendudukkan kader parpol sebagai kepala dinas atau kepala badan. Posisi itu hanya dapat diisi oleh Pegawai Negeri Sipil.   Maka, dalam logika tersebut, sebenarnya tidak berpartai pun seorang gubernur/wakil gubernur tidaklah jadi masalah. Sebab DPRD itu lembaga pendukung pemerintahan daerah untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat di daerah. Setelah kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, ia berperan sebagai pucuk pimpinan, sebagai teraju, sebagai nakhoda, bagaikan pohon besar di tengah padang, rimbun daunnya tempat berlindung, kuat dahannya tempat bergantung, kokoh batangnya tempat bersandar, besar akarnya tempat bersila.   Namun bukan berarti tidak boleh ada perdebatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Panggung politik lokal hubungan eksekutif-legislatif di daerah justru harus cerdas dan dinamis. Adu konsep bahkan harus ada untuk mencari rumusan terbaik demi kepentingan umum masyarakat (bukan kepentingan pribadi, kelompok atau partai). Perlu saling koreksi dan saling mengingatkan, Check and balances harus terbangun.   Pakar perilaku organisasi kelas dunia, Stephen P. Robbin (2003) menyebut kunci manajerial kepemimpinan yang efektif, 44 persen ditentukan oleh komunikasi. Jadi eksekutif-legislatif harus bangun komunikasi terbuka yang dilandasi semangat kejujuran dan sikap sportif. Kritik harus konstruktif bukan destruktif yang menjurus ke pertikaian saling mengedepankan ego. Kita percaya. Gubernur-Wakil Gubernur Riau, yang relatif masih baru sebagai nakhoda kita dan DPRD kita yang baru dilantik tentu paham bagaimana membangun komunikasi agar tercipta hubungan eksekutif-legislatif yang bersinergi untuk Riau yang lebih maju dan bermartabat. Bersama melangkah, baca Basmallah.     Sumber: Cakaplah
Penulis : DR. drh Chaidir MM, Mantan Ketua DPRD Provinsi Riau