Calon Pemimpin Inhil Minim Ide, Minim Gagasan dan Minim Inovasi

Ahad, 12 Februari 2023

Khairul. S.Sos (Alumni Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Islam Riau)

BUAL⁠⁠⁠⁠⁠⁠⁠BUA⁠⁠⁠⁠⁠⁠⁠L.com ⁠⁠⁠ Memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024, di Indragiri Hilir Provinsi Riau sudah nampak figur-figur politisi telah turun menyapa masyarakat.

Para figur tersebut merupakan elit politik yang menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi bahkan nasional. Mereka terlihat turun 'ke bawah' di tengah-tengah masyarakat.

Banyak masyarakat mengetahui hal seperti ini di sebut dengan politik pencitraan. Gaya sistem politik pencitraan mempunyai target utama ialah mendulang citra yang positif, serta bisa menghasilkan opini publik, sehingga dapat meraup suara.

Setelah masuknya tahun politik, masyarakat Inhil khususnya mulai mempertontonkan aksi-aksi para elite politik (Politik Pencitraan) mulai dari kegiatan turnamen di kampung-kampung, pertemuan politik di warung kopi  melakukan kegiatan sosial, kegiatan keagaaman di daerah dan banyak lagi bentuk gaya pencitraan lainya.

Hal yang dilakukan para elite politik seperti ini dengan mudah dapat ditebak, Semua dilakukan seperti itu hanya satu tujuan yaitu ingin mengidentitaskan sebagainya sebagai wong cilik (orang kecil), sudah pasti dengan tujuan untuk mendulang dukungan kalangan petani.

Belum lagi untuk mendekatkan diri dengan kalangan muda, kelompok yang berjumlah signifikan pada pemilu 2024 mendatang, biasanya para elit politik selalu mensuport kegiatan-kegiatan yang di ingin kelompok tertentu.

RESIKO POLITIK PENCITRAAN

Dengan tinggi tingkat sumber daya manusia di daerah serta pemahaman politik masyarakat yang kuat. Kegiatan Politik Pencitraan selalu mendapatkan hambatan, itu semua banyak masyarakat yang mengetahui secara langsung maksud dan tujuan dari para elit politik melakukan hal seperti itu, dan tidak sedikit pula tindakan politik pencitraan berujung dari sebuah kata ejekan.

Ketidakcocokan gaya politik pencitraan di suatu daerah akan meimbulkan dampak yang negatif bagi para elite politik itu sendiri. Apa yang mereka lakukan hanya sekedar skenario saja.

Mengutif dari Walter Lippman bahwa kata citra merupakan sebuah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang (pictures in our heads) dan itu tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.

POLITIK PENCITRAAN SUATU HAL YANG LUMRAH

Dengan telah lamanya sistem pemerintahan Indonesia memilih pemimpin secara langsung, Kata Politik Pencitraan yang di lakukan oleh para politisi di negeri ini, Menjadikan suatu kelumrahan bagi di tengah - tengah masyarakat.

Berbekal hal yang positif dan mendapatkan simpati serta empati massa menjadikan tolak ukur keberhasilan para elite politik, baik itu mempertahankan dan/atau mendapatkan kekuasaan yang lebih besar

Nobertus Ribut Santoso tentang Politik Pencitraan yang Cerdas Mengatakan proses politik pencitraan bukan sekedar memoles wajah seseorang supaya karakternya semakin menguat, tetapi harus dibarengi dengan meningkatkan kualitas tokoh tersebut.

Tokoh politik juga harus memiliki kepribadian yang hangat dan bisa mendekatkan dirinya dengan publik, tidak hanya dekat ketika menjelang pemilu, hendaknya kedekatan ini dibangun sejak dini sehingga tercipta kedekatan emosional.

Contoh suksesnya politik pencitraan yaitu presiden Joko Widodo, yang di sampaikan oleh Jacko Ryan dalam artikel 'Melampaui Politik Pencitraan' Joko Widodo menjadi contoh sukses bagaimana  dapat dikelola dengan baik. Identitas sederhana melekat dari gaya berpakaian hingga tindakan politik seperti blusukan. Hal seperti ini yang menimbulkan rasa persamaan antara rakyat dengan elite. Pun Joko Widodo yang lebih mudah menjangkau masyarakat dan mendengarkan aspirasi melalui blusukan.

Bahkan fenomena demikian dinilai sebagai gejala munculnya populisme baru (new populism), fenomena sangat berbeda dengan populisme lama yang berciri khas pertentangan negara vis-a-vis masyarakat, orang miskin dengan orang kaya, dan pribumi lawan pengaruh asing. Berbicara tentang Jokowi, Marcus Mietzner (2014) bertutur bahwa dengan blusukan dan gaya hidup sederhana, ia mampu menggerakkan masyarakat tanpa pertentangan, dan menjadikannya sebagai populis baru yang berhasil memenangkan hati rakyat.

Praktik politik pencitraan juga tidak bisa dilepaskan dari pemilu dan sistem kepartaian. Hubungan keduanya dinilai berbanding lurus. Penyelenggaraan pemilu yang semakin bebas dan berlakunya sistem multipartai pasca Orde Baru, juga sistem pemilu proporsional terbuka mendorong maraknya politik pencitraan di kalangan kandidat. Bahkan politik pencitraan menjadi lahan bisnis yang disiapkan para konsultan politik sedemikian rupa, yang keberadaannya terus berkembang hingga saat ini.

KURANGNYA IDE DAN GAGASAN CALON PEMIMPIN DAERAH

Dampak dari gaya politik pencitraan banyak calon pemimpin daerah tak lagi memikirkan ide dan gagasan yang di tawarkan kepada masyarakat. Merekan tidak berbicara bagaimana daerah bisa maju jika di pimpin mereka kedepan.

Politik pencitraan bisa membuat salah dampak buruk bagi kemajuan daerah. Ideologi, visi-misi, dan program yang harusnya menjadi panduan rakyat memilih calon pemimpin, kini sepertinya telah bergeser hanya personal saja, jika terpilihpun akan melahirkan pemimpin yang hanya berdasar preferensi emosional rakyat sesaat, namun tidak mampu menuntaskan persoalan utama Daerah.

Maraknya politik pencitraan membawa kekhawatiran tersendiri bagi Jon Simons. Dalam bukunya The Power of Political Images (2006), Simons menganggap bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, di mana persoalan penampilan lebih dari substansi, dan kepribadian lebih penting daripada kebijakan.

SARAN

Kepada Calon Pemimpin daerah, harus mengurangi politik pencitraan agar tidak berdampak buruk bagi daerah dan masyarakat yang akan anda pimpin kedepan.

Harus disadari bahwa politik pitcitraan bukan sekedar ajang mendapatkan dan/atau mempertahankan kuasa dalam pemilu saja. Ia harus berani melampaui politik pencitraan yang tidak hanya sekedar personalisasi belaka, namun juga mampu berbicara lantang soal gagasan, ide dan IInovasi

Mari tawarkan ide dan gagasan serta inovasi untuk masyarakat, aagar tahu permasalahan paling besar di daerah yang akan di pimpin nantinya.

Apa ide anda, apa gagasan anda, apa inovasi anda, supaya permasalahan yang bertahun-tahun tidak pernah tuntas bisa di selesaikan oleh anda wahai calon pemimpin.

Mari sajikan ide dan gagasan serta inovasi kepada masyarat, sehingga masyarakat mampu mecerna calon mana yang baik untuk mereka pilih

Jika ini di terapkan, Semakin banyak calon pimpinan daerah kedepan, semakin kaya ide dan gagasan serta inovasi kepada masyarakat, hal ini juga membuat dampak yang positif baik bagi daerah serta membuat ruang berpikir masyarakat menjadi cerdas untuk memilih calon pemimpin mereka kedepan

PESAN KEPADA MASYARAKAT

Agar tidak terjebak kepada calon pemimpin yang mengunakan politik pencitraan, Masyarakat harus mampu berpikir dan menilai sosok pemimpin yang benar-benar cerdas dan bisa menyelesaikan masalah anda kedepan.

Sangat mudah mengenal dan membuka topeng calon pemimpin mengunakan politik pencitraan, kita kasih contoh hal paling sederhana, menjelang 1 tahun pemilihan pemimpin, mereka tiba-tiba baik, sering datang di waktu momen keramian, sering melaksanakan kegiatan sosial. Ini satu petanda calon pemimpin pencitraan.

Stop kita memilih pemimpin dengan gaya seperti ini, Kita harus mampu mengevaluasi diri sendiri, cari calon pemimpin mempunyai pengalaman serta mampu membaca track record apa saja yang telah mereka buat untuk daerah.

Dari penjelasan saya diatas, saya berharap bisa menjadikan acuan serta jalan bagi masyarakat untuk menentukan calon yang akan dipilih dalam kontestasi Pemilu 2024.

Untuk kita ketahui bersama, Daerah kita minim anggaran untuk meningkat pendapatan daerah kita butuh pemimpin yang memiliki ide dan gagasan serta inovasi, Kita tidak butuh pemimpin yang lahir dari rahim politik pencitraan. Selamat mempertimbangkan dan akhirnya memilih yang terbaik.

Opini: Khairul. S.Sos (Alumni Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Islam Riau)