Ekonom Minta Jokowi Rombak Total Menteri Ekonomi

Ahad, 20 Oktober 2019

BUALBUAL.com - Presiden Joko Widodo menyatakan akan mengumumkan kabinet barunya pada Senin (21/10/2019) pagi. Sejumlah masukan diberikan kepada Jokowi agar anggota kabinet nanti berkinerja baik. Salah satunya, berkaitan dengan menteri ekonomi. Sejumlah ekonom berpendapat mayoritas menteri di bidang ekonomi harus diganti. Menurut mereka pergantian perlu dilakukan karena kinerjanya mereka selama pemerintahan Jokowi jilid I kurang berhasil. Ekonom Centre of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan beberapa menteri yang harus diganti, antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Perindustrian Amran Sulaiman. Untuk Sri Mulyani, Piter mengatakan terlalu aman dalam mengeluarkan kebijakan terutama saat ekonomi global melambat seperti sekarang ini. Padahal, pemerintah seharusnya menerbitkan kebijakan yang lebih ekspansif agar ekonomi dalam negeri bisa terdorong. "Sri Mulyani terlalu main aman. Kalau ekonomi lagi tumbuh tinggi tidak apa-apa main aman, kendaraan melaju kencang tetap hati-hati. Tapi ini kan pertumbuhan ekonomi sedang melambat, nah ini seharusnya pemerintah tekan gas lagi," ungkap Piter, Ahad (20/10/2019). Piter mengatakan contoh nyata kebijakan 'cari aman' Sri Mulyani bisa dilihat dari kebijakannya dalam menetapkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 turun dari 1,84 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi hanya 1,76 persen terhadap PDB. Jika defisit semakin turun, artinya pemerintah perlu menargetkan pendapatan negara, terutama pajak meningkat. Sebagai gambaran, pendapatan negara tahun ini ditargetkan sebesar Rp2.165,1 triliun, sedangkan pendapatan APBN 2020 naik menjadi Rp2.233,2 triliun. Kenaikan pendapatan agar agaknya tak terlalu timpang dengan target belanja negara yang ditetapkan pemerintah. Dalam APBN 2019, pemerintah menetapkan belanja negara sebesar Rp2.461,1 triliun. Kemudian, tahun depan naik menjadi Rp2.540,4 triliun. "Kalau defisit turun artinya kan pemerintah harus memacu penerimaan pajak agar menutup kebutuhan untuk belanja. Pajak kalau targetnya naik dampaknya buruk ke investasi dan konsumsi," kata Piter. Jika investasi dan konsumsi melemah, maka ekonomi dalam negeri bisa dibilang tak berkembang. Ini artinya, pemerintah akan semakin sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. "Kalau ekonomi sedang melambat yang harus didorong ya konsumsi dan investasi. Kalau pajak ditingkatkan kan orang jadi dikejar-kejar pajak, investasi dan konsumsi jadi berkurang," jelasnya. Untuk Enggartiasto, kegagalan kerja ia sampaikan terkait kesepakatan perdagangan bebas Indonesia dengan sejumlah negara. Menurutnya, perdagangan bebas yang diharapkan bisa memperbaiki kinerja neraca perdagangan Indonesia belum berhasil. Di eranya, Indonesia justru semakin dibanjiri barang impor yang membuat neraca perdagangan kian defisit. "Menteri Perdagangan itu asal buka-buka perjanjian perdagangan internasional saja, tanpa tujuan. Impor justru meningkat luar biasa karena kebijakan itu. Seharusnya kan kalau kondisi seperti ini menahan laju impor," ujar Piter. Sepanjang 2016-2019, Kementerian Perdagangan telah menyelesaikan 14 perjanjian dagang hingga pengkajian ulang perjanjian dagang. Beberapa perjanjian yang dimaksud, antara lain Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-European Free Trade Association (EFTA) CEPA, Asean-Hong Kong Free Trade Agrement and Investment, Indonesia-Mozambik Preferential Trade Agreement (PTA), dan ASEAN-Jepang Invesment, Service and MNP. "Seharusnya setiap perundingan pertimbangkan juga kondisi industri dalam negeri. Ini kan kebanyakan industri mengeluh," kata Piter. Untuk Airlangga pergantian perlu dilakukan karena selama menjadi menteri ia terlalu fokus pada industri 4.0 atau yang sudah modern. Padahal kata Piter, saat ini industri di Indonesia banyak yang masih konvensional atau tradisional. "Industri manufaktur terus menurun, Menteri Perindustrian ini seperti tidak memiliki konsep. Kebanyakan membicarakan 4.0," ucap Piter. Mengutip data BPS, pertumbuhan industri kuartal II 2019 hanya 3,54 persen. Realisasi itu berada di bawah pertumbuhan ekonomi yang menyentuh 5 persen dan turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 3,88 persen. Sementara itu untuk Darmin dan Amran, Piter menilai kedua menteri tersebut tak memiliki konsep yang jelas selama memimpin. Ia bilang Darmin kurang berhasil mengkoordinasikan kementerian yang berada di bawah naungannya. "Darmin konsep mau ke mana tidak ada. Butuh orang baru, orang yang punya arah. Kemarin menteri jalan sendiri-sendiri semua," ucapnya. Begitu juga dengan Amran, Piter menyebut seharusnya Amran memiliki terobosan untuk meningkatkan sektor pertanian di Indonesia. Sebab, masalah kemiskinan di dalam negeri sulit diselesaikan jika pertanian di Indonesia belum membaik. "Pendataan komoditas tidak jelas, masalah banyak di pertanian. Ada masalah produksi juga, tidak ada prestasi. Padahal harapan itu ada di pertanian, potensi besar," jelas Piter. Penggabungan Lembaga Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan rencana Jokowi untuk menggabungkan bagian Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) adalah hal yang tepat. Menurutnya, hal tersebut bisa membuat kinerja ekspor lebih baik. "Itu inisiatif bagus. Ini kan sekarang agak bingung. Yang penting bagaimana dorong perdagangan," ucapnya. Saat ini, Kemenlu hanya mengurusi negosiasi terkait politik Indonesia dengan negara lain. Sementara, perdagangan luar negeri masih berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan. Selain itu, ia juga sepakat dengan Piter terkait Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Ia menilai Darmin sudah begitu senior jika dipilih lagi untuk menempati posisi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. "Kalau melihat Pak Darmin sudah cukup senior, perlu penyegaran," tutur Josua. Josua menganggap perlu ada orang baru yang bisa mengawal 16 paket kebijakan ekonomi yang sebelumnya diterbitkan. Sebab, implementasinya selama ini dinilai kurang optimal. "Dari 16 paket kebijakan ekonomi belum berjalan dengan baik di lapangan, jadi mungkin perlu ada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang baru yang bisa mendorong atau bisa mengkonsolidasikan dengan tim ekonomi lain," jelas dia. Adapun, Josua berpendapat posisi Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dan Basuki Hadimuljono sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tak perlu diganti. Kinerja keduanya dianggap sudah cukup positif. "Kementerian Keuangan secara kinerja sudah baik, defisit dijaga di bawah 2 persen. Fiskal juga cukup baik, tantangan ke depan lebih berat. Menteri yang sudah bagus lebih baik tidak diganti," ujar Josua. Ia menambahkan pembangunan proyek infrastruktur digenjot selama di bawah arahan Basuki. Beberapa proyek, seperti jalan tol, bendungan, dan sejumlah gedung. "Tinggal bagaimana pembiayaan infrastruktur saja, karena kan ini bukan hanya bangun tapi bagaimana itu proyek itu bisa efektif. Ini butuh sektor swasta juga," pungkas Josua.     Sumber: cnnindonesia.com