Gugatan UU Pemilu Membludak MK Pecah Jadi 4 Cluster

Kamis, 05 Oktober 2017

Gugatan UU Pemilu Membludak MK Pecah Jadi 4 Cluster   Bualbual.com,- Gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum membludak dengan banyak materi yang dipersoalkan. Alhasil, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memecahnya menjadi empat cluster gugatan. "Jumlah perkara yang masuk terkait dengan UU Pemilu ini ada 13 sehingga perlu dilakukan sistem cluster. Jadi paling tidak ada tiga atau empat cluster. Supaya pemohon lain juga tidak lelah dan membuang waktu," kata ketua majelis, hakim konstitusi Anwar Usman di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat Kamis (5/10/2017) Dalam sidang itu, hadir 7 pihak penggugat, antara lain Effendi Gazali, kuasa hukum Partai Idaman serta kuasa hukum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Agenda pertama itu diawali dengan pembacaan jawaban atas gugatan dari pihak DPR yang diwakili anggot Komisi III Asrul Sani dan Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy. Dalam paparannya Lukman menyatakan bahwa perkara yang dilaporkan pihak pemohon tidak memiliki legal standing. Karena itu ia turut menyatakan jika permohonan pengujian UU dari pemohon untuk tidak diterima. Penjelasan Lukman mendapatkan tentangan dari pihak pemohon. "Adanya permohonan di sini, bahkan tidak hanya satu, itu membuktikan bahwa UU yang ada atau sudah ditetapkan tidak sesuai dengan keinginan orang banyak. Yang direpresentasikan dengan banyaknya pemohon. Memang sulit untuk mengukurnya tetapi setidaknya itu bisa dilakukan sebagai salah satu tolak ukur," ujar salah satu Ahli Pemohon Andy Wiyanto dengan perkara Nomor 44/PUU-XV/2017. Sempat terjadi perdebatan ketika pihak DPR dan salah satu pengacara pemohon sama - sama menghendakan diri untuk berbicara. Hakim Ketua langsung turun tangan untuk melerai kedua pihak. " "Yang sana dulu, nanti gantian! Perkara nomor berapa," ujar Anwar. Menjelang akhir persidangan, salah satu pemohon Effendi Gazali mempertanyakan DPR tentang keberadaan negara demokratis dengan sistem pemilu serentak tapi menggunakan presidential threshold selain Indonesia. "Catalunya atau tahun 1963 digunakan buat presiden seumur hidup lho. Tahun 1963, kita pernah ada, enggak usah pakai pemilu lagi, kita presiden seumur hidup saja," kata Effendi. Sidang berjalan cukup panjang, dua jam lebih dan baru ditutup pukul 13.19 WIB. (Dc/bbc)