Presiden Orang Laut PRJ, Haryono Maha Seribijawangsa
BUALBUAL,com - Perdebatan akademik mengenai asal-usul penyebutan Duanu/Duano kembali memicu diskusi hangat di ruang publik. Artikel bertajul “Banyak yang Belum Tahu! Inilah Asal-Usul Kata Duanu dan Pergulatan Identitas Orang Laut di Indragiri Hilir” yang menyinggung kemungkinan keterkaitan antara kata Duanu dengan istilah asing douane (bahasa Prancis: bea cukai), menimbulkan pro dan kontra.
Salah satu yang angkat bicara adalah Presiden Orang Laut PRJ, Haryono Maha Seribijawangsa. Ia menilai bahwa tulisan tersebut berpotensi menimbulkan salah tafsir dan kerancuan sejarah. Menurutnya, nama “Duanu” tidak ada kaitannya dengan istilah douane dari Eropa, dan mengaitkannya justru melemahkan akar identitas komunitas.
Namun berbeda dengan pandangan sebagian tokoh lain, Haryono justru menegaskan bahwa dirinya lebih mendukung penggunaan istilah “Orang Laut” sebagai payung identitas besar yang sudah dikenal luas, dibandingkan mengangkat “Duanu” sebagai satu-satunya sebutan.
“Sejak lama kami lebih akrab dengan istilah Orang Laut. Itu bukan stigma, tapi kenyataan sejarah yang mencerminkan pola hidup nenek moyang kami. Duanu memang ada sebagai penyebutan lokal, tetapi mengaitkannya dengan kata asing douane jelas keliru. Kami lebih nyaman dengan identitas Orang Laut yang mengikat banyak komunitas serumpun,” tegas Haryono.
Dalam komentarnya di laman resmi Facebook bualbual.com, Haryono menilai ada tiga kekeliruan mendasar dalam artikel Zainal Arifin:
1. Jalur Serapan Bahasa
Artikel itu menuliskan bahwa kata douane diserap dari Belanda dan Italia sekaligus. Menurut Haryono, ini tidak tepat. Jalur historisnya adalah: Arab (dīwān) → Italia (dogana) → Prancis (douane) → Belanda (douane). Tanpa penjelasan runtutan yang benar, publik bisa salah mengartikan.
2. Referensi Cohen (1994)
Cohen dalam bukunya Les Arabismes dans les langues romanes memang mengulas pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Roman (Italia, Spanyol, Prancis). Tetapi, menurut Haryono, karya itu tidak ada kaitan langsung dengan bahasa Belanda. Jika ingin menarik hubungan dengan Belanda, harus ada rujukan akademik tambahan.
3. Kemiripan Fonetik “Duanu – Douane”
Kesamaan bunyi itu, kata Haryono, hanyalah kebetulan fonetik. Tidak bisa dijadikan dasar etimologis. Tanpa klarifikasi, masyarakat bisa salah kaprah seolah identitas Duanu lahir dari istilah kolonial.
Haryono menekankan, yang harus diletakkan ke depan adalah bahwa Orang Laut adalah identitas utama yang menyatukan berbagai sub-komunitas, termasuk Duanu. Identitas itu tidak lahir dari stigma, melainkan fakta sejarah dan kebudayaan.
"Orang Laut adalah payung besar yang melingkupi kami semua, baik Duanu, Sekak, maupun sub-kelompok lain. Jangan sampai perdebatan akademik membuat kita terpecah. Nama Duanu tetap ada, tetapi jangan diputuskan seolah-olah berasal dari kata asing. Itu merusak makna sejarah,” jelasnya.
Menurut Haryono, persoalan utama bukan sekadar nama, tetapi bagaimana identitas tersebut dihormati dan tidak direduksi oleh tafsir linguistik yang keliru.
Di akhir keterangannya, Haryono mengajak akademisi agar lebih berhati-hati dalam menulis tentang komunitas adat. Ia menekankan perlunya riset lapangan, wawancara dengan komunitas, dan sensitivitas budaya, bukan sekadar mengandalkan literatur sekunder.
“Kami tidak anti kajian. Tapi jangan sekali-kali membuat analisis asal-usul nama tanpa dasar kuat. Orang Laut bukanlah istilah ciptaan baru, itu identitas sejarah yang hidup hingga kini. Mari sama-sama menjaga agar kajian akademik tidak menjauhkan kami dari akar identitas yang sebenarnya,” pungkasnya.