Hebat! Di Australia, Profesor Asal Indonesia Raih Bintang Penghargaan

Selasa, 12 Juni 2018

bualbual.com, Seorang profesor asal Indonesia yang sekarang bekerja di Universitas New South Wales, Prof Rose Amal mendapat bintang penghargaan dari pemerintah Australia bernama Companion of the Order of Australia (AC). Penghargaan ini diberikan sebagai bagian dari tradisi memperingati ulang tahun Ratu Elizabeth yang masih secara resmi menjadi kepala negara Australia yang diumumkan hari Senin (11/6/2018). Setiap tahun di bulan Juni, untuk memperingati ulang tahun tersebut, pemerintah Australia mengeluarkan daftar mereka yang dianggap berjasa di bidang masing-masing untuk mendapatkan bintang kehormatan. Companion of the Order Australia adalah penghargaan yang tertinggi yang bisa diberikan kepada warga Australia dan setiap tahunnya hanya diberikan kepada 35 orang. Sebelumya penghargaan tertinggi adalah Knight dan Dame of the Order of Australia, di mana mereka yang mendapatkannya boleh menyandang gelar Sir or Dame, namun penghargaan itu sekarang dihentikan, sehingga AC menjadi penghargaan tertinggi. Prof Rose Amal yang lahir di Medan dan pindah ke Sydney 35 tahun lalu mendapatkan penghargaan AC itu karena jasanya di bidang teknik kimia khususnya di bidang teknologi partikel. Selain itu, ibu dari dua anak ini juga diberi penghargaan atas perannya sebagai role model dan mentor bagi perempuan di dunia sains. "Saya sangat sangat merasa bangga atas penghargaan ini." kata Amal. "Saya bisa mengatakan ketika saya pindah ke sini 35 tahun lalu sebagai mahasiswa, saya tidak pernah berpikir - tidak pernah bermimpi - bahwa saya akan mendapat penghargaan di Australia." "Saya kira ini adalah tanah yang memberi kesempatan kepada banyak di antara kita." "Ini adalah penghargaan tidak saja bagi saya, namun bagi semua insinyur teknik kimia, penghargaan bahwa kami membuat perbedaan, kami membuat dunia yang lebih baik untuk kita tinggali." ABC berbicara dengan Profesor Amal di tahun 2014 ketika dia menjadi insinyur perempuan pertama yang diterima di badan ilmu pengetahuan bergengsi Australian Academy of Science. Amal juga masuk dalam salah seorang dari 100 insinyur paling berpengaruh di Australia. Mendorong anak muda menekuni sains Bidang yang digeluti Prof Rose Amal adalah photocatalysis dan nanoteknologi dalam usahanya menggunakan energi terbarukan seperti matahari untuk memproduksi hidrogen. "Sederhananya menggunakan matahari untuk memecah air untuk membuat hidgrogen." Dalam wawancara dengan ABC di tahun 2014 tersebut Profesor Amal menjelaskan apa yang dilakukannya adalah melakukan pemurnian dan pembersihan dua unsur yang penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia: air dan udara. "Photocatalysis katalis mengubah energi matahari menjadi energi kimia," jelas Rose, "Saat saya memulai kerja saya dalam bidang photocatalysis, saya meneliti tentang bagaimana kita bisa menggunakan cahaya matahari untuk menguraikan polutan di air atau bahan organik di udara." Contoh-contoh polutan atau organik di udara, misalnya parfum dan bahan pembersih yang bisa terhirup. "Reaksi kimia sudah banyak digunakan di industri, untuk membersihkan air. Biasanya bahan kimia digunakan untuk menghancurkan polutan di air, jadi pada dasarnya penelitian saya mencari tahu apakah kita bisa memanfaatkan matahari untuk proses ini, karena di Australia banyak sinar matahari," jelas Rose. Dalam proses pembersihan air, Rose sedang meneliti cara untuk menjadikan titanium dioksida memiliki sifat seperti magnet, agar bisa dipisahkan dengan mudah dari air dengan menggunakan medan magnet. Namun, menurutnya, proses pemurnian air dengan photocatalysis mungkin terlalu mahal untuk diterapkan dalam skala besar dan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain melakukan penelitian, Prof Amal juga membimbing para mahasiswa termasuk mereka yang berasal dari Indonesia. "Sekarang ini di fakultas 24 persen mahasiswa adalah perempuan, jadi saya berharap dalam lima sampai 10 tahun mendatang jumlah mahasiswa perempuan dan laki-laki akan berimbang." katanya lagi. Selain itu, Rose Amal juga berusaha mendorong para siswa sekolah menengah di Australia untuk menekuni bidang STEM (sains, teknologi, teknik dan matematika). "Kadang ketika berbicara dengan anak-anak muda, mereka merasa STEM itu susah, dan mereka lebih baik memilih subjek pelajaran yang lebih mudah untuk mendapatkan nilai yang lebih bagus." katanya dalam wawancara dengan harian Australia The Sydney Morniing Herald. "Kita memerlukan ilmuwan yang bagus, insinyur yang kreatif, dan pakar teknologi yang kreatif. Bila tidak, saya tidak yakin dengan masa depan kita semua." "Kita perlu mematangkan, memberikan inspirasi dan mendukung generasi muda kita." katanya lagi. "Bila anak-anak kita tertarik dengan sepakbola, kita akan mencarikan pelatih yang baik. Kita juga harus melakukan hal yang sama dengan STEM." kata Prof Rose Amal lagi. Sejak SMA sudah tertarik dengan ilmu kimia Setelah menamatkan pendidikan di SMA Santo Thomas di Medan, Rose Amal pindah ke Australia di bulan Oktober 1983 untuk melanjutkan pendidikan S1 di jurusan teknik kimia University of New South Wales di Sydney. Menurutnya, dia sejak SMA sudah tertarik dengan ilmu kimia, fisika dan matematika walau orang tuanya sempat menyarankannya menjadi dokter, namun ia tak terlalu menyukai biologi. Ia memilih Australia sebagai tempat melanjutkan pendidikannya. Rose sempat juga mempertimbangkan Amerika Serikat dan Kanada, namun ia merasa Australia lebih cocok karena dekat dengan Indonesia. Setelah merampungkan gelar S1, Rose ditawari beasiswa untuk meraih gelar PhD (Doktor). Meski saat itu ia ditawari pekerjaan di Singapura, namun Rose memilih melanjutkan pendidikannya. Kemudian, ia bekerja di badan Australian Nuclear Science Technology Organization (ANSTO) selama sekitar 18 bulan, sebelum akhirnya melamar untuk posisi akademik di fakultas teknik kimia UNSW pada tahun 1992, dan diterima. Meskipun sudah puluhan tahun di Australia dan sudah menjadi warga negara Australia, Rose merasa di dalam dirinya ada hal-hal yang khas Indonesia, atau Asia, seperti kebiasaan menghormati yang lebih tua. Sesekali ia pulang ke Medan untuk mengunjungi saudara-saudaranya atau berkumpul dengan orang tuanya yang kini tinggal di Singapura. "Saya dekat dengan keluarga saya sendiri, anak sendiri, namun saya merasakan kurangnya kedekatan pada keluarga besar. Ini saya rasakan saat pulang [ke Indonesia]," ucapnya di tahun 2014. "Bahkan anak-anak saya pun merasakan itu." kata ibu dari anak perempuan berusia 22 tahun dan laki-laki berusia 14 tahun tersebut.***     Sumber : kompas.com