BualBual.com, Jakarta - Meski belum jelas siapa Mukidi sebenarnya, tapi kisah Mukidi sudah menyebar ke mana-mana. Katanya sih, Mukidi asalnya dari Cilacap dan mempunyai istri bernama Markonah. Anaknya dua orang, yaitu Mukirin yang sudah remaja dan Mukiran yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Humor soal Mukidi ini memang banyak macamnya. Dilansir dari Ceritamukidi, berikut kisah-kisah lucu Mukidi yang mungkin belum pernah Anda dengar sebelumnya. Mealstone Seorang pria sok akrab tiba-tiba mendekati Mukidi sambil mengulurkan tangan. “Loh, kamu kan… aduuuuh sudah berapa tahun gak ketemu ya?” “Mukidi.” Mukidi menjawab lalu menerima uluran tangan pria misterius tadi sambil berpikir keras. “Ya… ya Mukidi… aduuuh masa lupa sih? Sungib… Sungib teman SMP, masih ingat Tasripin, Kamid, Wartam….” Mukidi masih bingung tapi asal mengangguk gak apalah pikirnya, sambil mengingat-ingat nama-nama aneh itu. “Wah, sudah hampir Maghrib nih, kita buka bersama yuk?” ajak teman barunya itu. “Aku… eh sebetulnya mau buru-buru pulang..” Mukidi pura-pura menolak… “Ayolah sekalian bernostalgia.” Mukidi yang lagi bokek ikut aja ke warung Padang, lagi pula sejak kasus daging sapi impor dia sudah tidak pernah makan dendeng balado. Setelah adzan berkumandang, mereka menikmati takjil gratis lalu apa saja yang di dekatnya diembat, Mukidi tidak lupa pesan jus duren. Dia sudah lupa menanyakan jati diri temannya tadi. “Ayo Di, sikat saja…” Sungib juga tak kalah beringas mengambil lauk di hadapannya. Beberapa saat kemudian dia berhenti. "Eh, ngomong-ngomong aku ke musala dulu ya, nanti gantian. Kamu terusin makan aja, habiskan jusmu.” Mukidi mengangguk. Sungib yang rupanya ahli ibadah itu rupanya lama juga di musala. Sudah lebih 30 menit. Mukidi sudah khawatir kehabisan waktu Maghrib. “Uda,” dia memanggil pelayan, “musalanya di sebelah mana?” “Wah, gak ada mushola pak, adanya masjid 50m dari sini…” “Teman saya tadi mana?” “Teman yang mana pak?” Ain't No Kermit “Mas tadi waktu bukber pada cekikikan ngomongin kodok apaan sih?” tanya Markonah. “Dulu sekali, aku, Wakijan, Samingan sowan ke mbah Joyongablak nanyain masalah jodoh,” jawab Mukidi “Waktu kami pulang, mbah Joyo berpesan: ‘Ati-ati jangan sampai nginjek kodok.’ Celakanya walaupun sudah berhati-hati, Wakijan nginjek kodok. Gak lama, Samingan juga nginjek kodok. Cuma aku yang selamat sampai rumah tanpa nginjek kodok.” “Memang kalau nginjek kodok kenapa?” “Yah tadinya mereka berdua cemas, tapi lama-lama kata-kata mbah Joyo dianggap cuma takhayul. Eh, 5 tahun kemudian setelah mereka kawin bininya jelek-jelek, bawel. Rupanya gara-gara nginjek kodok, kata-kata simbah terbukti. Kamu percaya gak, Nah?” “Percaya sih, Mas. Aku dulu juga nginjek kodok….” No Mercy Mukidi melihat mbah Kartinem sedang kebingungan di kantor pos. “Bisa saya bantu, Nek?” “Tolong pasangin perangko sama tulis alamatnya, Nak.” “Ada lagi, Nek?” “Bisa bantuin tulis isi suratnya sekalian?” Mukidi mengangguk. Si mbah lalu mendiktekan surat sampai selesai. “Cukup, Nek?” “Satu lagi, Nak. Tolong di bawah ditulis: maaf tulisan nenek jelek.”