ICW Sebut: Publik Patut Wasapadai Praperadilan Setnov karena Hakim Tak Independen

Senin, 31 Juli 2017

bualbual.com, Publik diminta untuk mewaspadai wacana kubu Ketua DPR Setya Novanto yang akan mengajukan upaya hukum praperadilan pasca penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, saat ini mencuat indikasi hakim yang tidak lagi independen dalam mengadili kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang menyeret Novanto sebagai tersangka. ”Ini (hakim tidak independen) bisa jadi modal kuat (Setnov) untuk menang dalam praperadilan,” ujar peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, saat diskusi di Jakarta, Ahad kemarin (30/7/2017). Ketidakindependenan hakim itu setidaknya terlihat dari putusan Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi terdakwa kasus e-KTP. Menurut ICW, ada kejanggalan dalam putusan majelis hakim tindak pidana korupsi (tipikor) Jakarta yang menyidang perkara tersebut. Kata dia, yang paling mencolok ialah tidak disebutnya nama Novanto sebagai pihak yang bersama-sama melakukan korupsi e-KTP. Adapun hakim hanya menyebut nama ketua umum DPP Partai Golkar itu di poin pertimbangan, bukan di putusan. Tak cukup sampai di situ, nama-nama besar lain, seperti Ganjar Pranowo, Olly Dondokambey dan Yasonna Laoly juga tidak masuk sebagai pihak yang bersama-sama melakukan korupsi dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun tersebut. Dalam putusan hakim, nama politikus yang ditengarai menerima aliran dana hanya Miryam S. Haryani, Markus Nari dan Ade Komaruddin. Padahal, nama-nama itu disebutkan dalam dakwaan dan tuntukan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Khusus Novanto, jaksa dalam tuntutannya meyakini Ketum Partai Golkar tersebut masuk kategori pihak yang memenuhi unsur turut serta melakukan pidana sebagaimana dalam pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Atas hilangnya nama-nama pihak yang diduga kuat terlibat tersebut, dia berharap publik jeli melihat kejanggalan tersebut. Pasalnya, dalam koridor hukum, putusan hakim itu bisa menjadi alat Setya Novanto dan tersangka e-KTP lain untuk mengajukan praperadilan. ”Kapasitas kami hanya melaporkan bila ada kejanggalan,” sebutnya. Sementara itu, menurut pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, pengawasan terhadap para hakim memang harus diperketat oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Dia menilai, banyak faktor-faktor yang menyebabkan hakim tidak independen yang sulit dibuktikan. ”Sekarang KY punya kewenangan untuk menyadap hakim, mungkin langkah itu bisa dimaksimalkan,” ujarnya. (tyo) Sumber: JPG