Inilah fakta bergantungnya ekonomi Indonesia pada Freeport

Ahad, 07 Mei 2017

bualbual.com, Keberadaan PT Freeport Indonesia di Tanah Papua menimbulkan pro dan kontra. Ada pihak yang mendukung keberadaan perusahaan AS tersebut, namun tak sedikit pula yang menolaknya. Pro dan kontra keberadaan Freeport kembali mencuat saat perusahaan tak mau mengikuti aturan pemerintah Jokowi. Salah satunya aturan pemerintah mengenai perubahan kontrak dari kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus dengan tujuan agar perusahaan bisa melakukan ekspor konsentrat mentah. Ada tiga opsi yang tidak boleh ditawar lagi oleh raksasa tambang Amerika Serikat ini. Yaitu, perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham hingga 51 persen. Pemerintah pun berunding dengan Freeport dalam implementasi aturan tersebut. "Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan di negosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya," ujar Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M Djuraid. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan baru saja bertemu dengan CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C. Adkerson, Kamis (4/5). Pertemuan tersebut merupakan yang pertama antara tim perundingan dari pemerintah dan PT Freeport Indonesia. "Hari ini kick of meeting yang langsung mendapatkan pengarahan dari Pak Menteri sebagai bekal perundingan pemerintah dengan PT Freeport," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Teguh Pamudji, Kamis (4/5). Sesuai kesepakatan bersama antara pemerintah dan PT Freeport, Tim Perundingan diberi waktu secara keseluruhan untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan negosiasi sampai 10 Oktober. "Kita masih ada waktu lima bulan. Tapi harapannya pak Menteri, bila bisa diselesaikan dalam 1 atau 2 bulan lebih cepat beri apresiasi pada tim perundingan," katanya. Setidaknya, ada empat hal yang dibahas dalam pertemuan tersebut yaitu stabilitas investasi, aturan fiskal dan divestasi, kelangsungan operasi setelah 2021 dan pembangunan smelter. "Keempat substansi pembahasan ini harus dilaksanakan satu paket, ini yang menjadi bekal kami berdasarkan arahan dari pak Menteri," ungkapnya. Dalam kondisi ini, beberapa pihak meminta agar pemerintah mengusir Freeport dari Papua, Sekelompok masa berjumlah 50-an orang yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Independen menggelar demonstrasi di Bundaran Timika Indah, jalan Budi Utomo, Timika, Papua, Senin (20/3) lalu. Mereka menuntut agar PT Freeport Indonesia segera ditutup. Juru bicara demonstran, Vinsen Oniyoma mengatakan, kekisruhan antara pemerintah dan PT Freeport telah berdampak luas pada dunia, Indonesia, Papua dan Kabupaten Mimika. "Hal tersebut membuat munculnya banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit nasional Indonesia sampai ke Papua di mana mereka tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat akar rumput yang mengalami dampak langsung dari keberadaan PT Freeport," katanya seperti ditulis Antara. Dia mengatakan, sejak masuknya Freeport di Timika yang mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967 di Indonesia, tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat dua suku besar Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayat. Ketika kesadaran masyarakat adat muncul dengan aksi masyarakat pada tahun 1996 di Timika yang mengorbankan nyawa manusia dan materi barulah dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebut dana satu persen itu diturunkan untuk menutupi pelanggaran yang di lakukan PT Freeport kepada masyarakat sekian tahun lamanya. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran kerusakan lingkungan akibat limbah, pelanggaran HAM, konflik sosial dan rusaknya tatanan hidup masyarakat yang sampai saat ini masih dirasakan meninggalkan goresan luka di hati masyarakat adat. "CSR atau dana satu persen yang diberikan pun tidak membuahkan kesejahteraan melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dikarenakan para elit manfaatkan untuk kepentingannya sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CRS itu sendiri hingga saat ini," tuturnya. Untuk itu, atas nama Masyarakat Adat Independen mereka mengambil sikap dengan tegas dan menuntut agar Freeport segera ditutup, kekayaan Freeport harus diaudit oleh badan independen. Selain itu mereka juga menuntut agar Freeport wajib membayar upah dan pesangon pekerja yang telah dirumahkan dan yang telah di-PHK sesuai ketentuan yang berlaku. Mereka juga meminta agar Freeport dan Pemerintah lndonesia bertanggung jawab mengembalikan kerugian alam yang sudah dirusak dan membiarkan masyarakat yang menentukan masa depan pertambangan di Timika. Namun demikian, keberadaan Freeport di Papua cukup memberi pengaruh ke ekonomi Indonesia. Berbagai bukti terungkap bahwa ekonomi Indonesia bergantung pada Freeport.(mdk)