Jafri: Mengapa Doa Tidak Diijabah Oleh Allah Swt

Jumat, 16 Februari 2018

Secara normatif, berdo’a merupakan perintah Tuhan baik melalui al-Qur’an maupun hadis. Agama mengajarkan kepada umatnya untuk berdo’a dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, susah maupun senang, siang dan malam, dari terbit fajar sampai matahari terbenam kembali. Oleh karena itu, bagi para penganut agama Islam dituntut untuk berdo’a dengan bahasa apapun. Karena Allah tidak memperdulikan bahasa yang digunakan, tapi muatan do’alah yang diperhitungkan Allah untuk mengabulkan atau tidak do’anya seseorang. Selain itu, secara fitrah manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Di saat-saat tertentu pasti membutuhkan pertolongan orang lain meskipun dia termasuk dalam kategori orang yang mampu atau bahkan orang yang kuat. Akan tetapi tidak semua orang mampu mengatasi masalahnya sendiri, dan tidak semua masalah juga mampu dibantu oleh orang lain, ada batas-batas maksimal dan minimal kemampuan seseorang untuk membantu orang lain. Begitu juga, permasalahan masalah hidup manusia secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama, masalah yang bisa diselesaikan oleh diri sendiri baik dengan bantuan orang lain maupun tidak. Kedua, masalah yang hanya bisa diselesaikan oleh Tuhan. Di saat seperti itulah, sifat bawaan seseorang timbul, yakni membutuhkan Allah untuk menyelesaikan permasalannya, karena Allah-lah yang mampu menyelesaikan segala permasalahan yang ada. Pada zaman modern saat ini, banyak kemajuan telah tercapai salah satunya adalah teknologi. Sehingga realitas yang terjadi seseorang dapat mendewakan teknologi, rasionalitas, dan potensi material sehingga dimensi sosial dan spiritual terabaikan. Bahkan bisa mengakibatkan dua kecenderungan spiritual yang kontradiktif, dan cenderung menjadi gejala anomali sosial. Dua dimensi tersebut sebenarnya media kumunikasi vertikal dan horizontal. Kumunikasi memiliki signifikansi bagi setiap orang. Sebab dengan komunikasi membentuk sikap toleransi, persahabatan, kasih sayang, informasi, mediator penyampaian ilmu, perasaan, konsepsi, ide, sikap, perbuatan, dan melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi juga dapat terjadi hal sebaliknya. Hubungan komunikasi yang terjadi antara Tuhan dengan manusia tidak akan berjalan sepihak, tetapi terkadang manusia akan mengambil inisiatif untuk melakukan hubungan verbal dengan Allah Swt. dan berusaha melakukan komunikasi dengan-Nya melalui isyarat bahasa. Hubungan komunikasi yang demikian menurut Izutsu disebut “doa” yang dewasa ini seakan sudah jamak dipraktikkan baik secara individu maupun bersama-sama. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an Surah Ghafir ayat 60, Allah Subhanahuwata’ala berfirman : “ ud’uuni astajiblakum” “berdo’alah kamu kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.” Melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada kita untuk berdo’a kepada-Nya. Tidak hanya itu, melalui ayat ini pula Allah menjamin akan mengabulkan do’a setiap orang yang berdo’a. Namun, fakta dan realita hari ini, begitu banyak do’a kita kepada Allah, namun begitu banyak pula kita merasa bahwa do’a kita tidak diijabah oleh Allah Subhanahuwata’ala. Kita pun bertanya, apa penyebabnya do’a yang sering kita panjatkan malah tidak di hiraukan, padahal jelas di dalam al-Qur’an kita dituntut dan diperintahkan untuk berdo’a. Berangkat dari kegelisahan spiritual inilah, penulis mencoba untuk menggali dan mengkaji apa penyebabnya sehingga do’a kita tidak diindahkan oleh Allah Subhanahuwata’ala. Setelah ditelaah, dikumpul dan disimpulkan, ternyata penyebab tidak diijabahnya do’a oleh Allah adalah karena matinya hati seoarang pendo’a. sehingga dengan matinya hati menyebabkan Allah tidak mengindahkan segala permintaannya. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan matinya hati seseorang sehingga tidak ada getaran yang menghantarkan do’anya kepada Allah, sampai-sampai Allah berpaling tidak menghiraukannya, segala permohonannya tidak diijabah oleh Allah Swt. Ada empat hal yang mesti kita ketahui dan kita evaluasi dalam diri kita. Pertama, ‘araftumullaha walam tuqtuhu haqqah,” kita kenal dengan Allah, tapi haknya untuk disembah dan kewajiban kita untuk menyembah tak pernah kita laksanakan.” Ketika kita ditanya, siapa Tuhanmu, siapa yang menciptakan langit dan bumi, dan siapa yang mengatur alam semesta? Maka dengan segera kita menjawab, Allah. Contoh sederhana, di dalam surah al-Fatihah ada ayat yang berbunyi iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’in. na’budu disini bemakna menyembah, dan nasta’in maknanya memohon pertolongan. perhatikan tertib kalimatnya, dalam ayat ini tidak dibaca iyyaka nasta’iin waiyyaka na’budu, tetapi na’budu dulu baru nasta’in. artinya apa, menyembah dulu, baru mohon pertolongan, jika persoalan menyembah sudah dilaksanakan, maka logikanya, segala permintaan akan Allah perkenankan. Oleh sebab itu, janganlah orientasi kita kepada Allah tidak diiringi dengan pendekatan kepada-Nya, dan janganlah Pengenalan kita kepada Allah tidak diiringi dengan ketaatan kita kepada-Nya. Kedua, qara’tumul qur’an walam ta’malubih ,” kita baca al-Qur’an, kita dengungkan al-Qur’an bahkan kita musabaqahkan al-Qur’an, tapi isi dan kandungannya tak pernah kita pahami dan kita laksanakan. Ibarat seorang gubernur, memberikan surat perintah kepada kepala desa, setelah sampai di tangan kepala desa, surat itupun disimpan di tempat yang agung, di bubuhi minyak wangi, di pamerkan kebawahannya, namun isi dari surat itu tak dibaca, dan perintah yang terkandung dalam surat itu sama sekali tak dilaksanakan. Bukankah hari ini kita hidup disuatu zaman dimana yang benar dicaci maki, yang salah malah mendapat penghargaan. Bukankah kita hidup di suatu zaman dimana yang seharusnya kita jadikan tuntunan malah dijadikan tontonan, yang semetinya kita jadikan tontonan malah dijadikan tuntunan. Dan bukankah hari ini kita hidup di suatu zaman dimana banyak sekali orang yang mengindahkan suara dalam membaca al-Qur’an hanya untuk mengharapkan prestasi namun isi dan kandungan dari al-Qur’an itu sendiri tidak dipahami, malah nyaris diinjak-injak. Kalau sudah seperti ini wajar jika Allah mulai berpaling dari kita. Ketiga,akaltum ni’matarabbikum walam tasykurulah, “kita makan nikmat Allah, tapi tak pernah kita mensyukurinya.” Setiap hari ikan di laut kita ciduki, setiap hari sayur-sayuran, buah-buahan kita nikmati, setiap hari semua nikmat Allah kita nikmati, tapi kita lupa untuk bersyukur kepada Allah Swt. Keempat,qultum annalmauta haqqun walam tasta’idduulah, “kita yakin, kita percaya, dan kita tau betul bahwa hidup akan berakhir dengan kematian, tapi kita lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Hari ini, kita disibukkan dengan hal-hal yang besifat duniawi. Kadang-kadang waktu kita hanya dihabiskan dengan hal-hal ekonomi, politik dan lain sebagainya, namun tanpa disadari jatah umur kita semakin sedikit dan kita lupa untuk mendekat diri kepada Allah. Islam tidak melarang kita untuk kaya, Islam tidak melarang kita untuk berpolitik, justru islam sangat menganjurkan. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengimbangi antara duniawi dan ukhrawi, karena kesuksesan yang hakiki adalah sukses di dunia dan sukses pula di akhirat kelak. Mudah-mudahan dengan mengetahui ke empat factor ini, membuat kita semakin mengintrospeksi dan mengevaluasi diri kita sehingga kita tidak menjadi orang yang dijahilkan dengan hal-hal duniawi saja.**(rls)