Jejak Intelektual Muslim dan Ulama Membangun Indonesia [1]

Sabtu, 23 Desember 2017

Bualbual.com,  Sejarah pendirian negara Indonesia menjadi spirit anak bangsa dalam membangun negeri tercinta, Republik Indonesia. Permasalahanya, kesadaran akan sejarah bangsa masih minim. Di lain pihak, masih menyisakan kontroversi. Padahal, sejarah bangsa adalah inspirasi generasi terpelajar anak negeri untuk menentukan masa depan. Tentu saja, berdirinya sebuah negara bernama Indonesia tidak bisa terpisahkan dengan prestasi-prestasi umat Islam di Nusantara ini dalam intelektualisme, ekonomi dan politik. Adanya deislamisasi sejarah Indonesia terhadap prestasi ulama dan santri mengakibatkan sejarah nasionalisme ulama dan santri menjadi tertutup. Sejarah perjuagan aslinya ditiadakan atau tetap ada tetapi dimaknai dengan pengertian yang lain. Salah satu contohnya, Wali Songo,  tokoh penyebar Islam di bumi Nusantara ini,  diselewengkan sejarahnya dengan penuturan dongeng seperti tokoh yang jauh dari syariat Islam, seperti bertapa, masih menjalankan ajaran Hindu dan lain sebagainya. Padahal, mereka memimpin perang sengit melawan penjajahan Barat yang membawa misi Gospel. salah satu contohnya seperti Sunan Gunung jati atau Syarif Hidayatullah, memimpin perlawanan bersenjata terhadap Imprealis Kerajaan Protugis guna merebut kembali pelabuhan niaga Jayakarta bersama Fatahillah. Karena itulah,  kota tersebut diberi nama  Jayakarta, diangkat dari Al Quran Surat Al Fath (48:1), “inna fattahna laka fathan mubina.” Makna fathan mubina adalah kemenangan paripurna atau Jayakarta. (Ahmad Mansyur Suryanegara,Api Sejarah, viii ) Begitu pula yang terjadi di daerah-daerah lain mulai Aceh, Palembang, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Sejak semula di masa revolusi, perlawanan terhadap penjajah didominasi oleh komunitas kaum pesantren. Identitas Bangsa Bangsa yang kini disebut bangsa Indonesia yang tergabung dalam negara bernama NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dahulunya sebelum ada NKRI adalah bangsa yang pernah disatukan oleh satu bahasa, dan budaya. Bahasa yang menyatukan dulu adalah bahasa Melayu. Khususnya ketika Nusantara berada dalam kerajaan-kerajaan atau kesultanan Islam. Meski tidak ada catatan konsensus  di antara kerajaan tersebut, namun semua menggunakan bahasa Melayu. Dai-dai Islam memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa dakwah karena karakter bahasa Melayu pada zaman itu belum tercampur dengan pandangan dan pikiran apapun. Bahasa Melayu bukan saja menjadi bahasa persatuan kepulauan Nusantara, tetapi juga mengangkat derajatnya menjadi bahasa ilmu pengetahuan, komunikasi, perdagangan dan sebagai bahasa yang digunakan dalam penulisan resmi. Termasuk penulisannya menggunakan huruf-huruf Arab tetapi bahasa dan bunyinya Melayu. Huruf-huruf ini disebut huruf Arab-Melayu atau perso (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction, hal. xvi). Di Indonesia huruf ini kemudian dikenal dengan nama pegon (pego). Salah satu kontribusi nyata di Nusantara adalah penggunaan bahasa Melayu, sehingga menjadi bahasa pemersatu Nusantara. Ia menjadi lingua franca penduduk Melayu-Indonesia, bahkan sampai kepada daerah Filipina dan Thailand. Para pendakwah Islam sengaja memilih bahasa Melayu untuk diislamkan. Banyak sekali istilah-istilah bahasa Melayu yang diambil dari bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Tulisan pegon (pego)  populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia – hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren. Tapi di Malaysia masih digunakan dalam tulisan-tulisan di ruang publik. Pengislaman bahasa ini berlanjut kepada pengislaman konsep-konsep kehidupan masyarakat Melayu-Nusantara. Sehingga sedari dulu, bahasa Melayu identik dengan Islam. Para mubaligh Arab juga mengenalnya sebagai salah satu bahasa dunia Islam waktu itu, bahkan tercatat sebagai bahasa Islam nomor dua terbesar setelah bahasa Arab. Pengaruh besar itu adalah bahwa ada informasi sejarah yang jarang diketahui publik. Prof. Mansur Suryanegara berpendapat dalam bukunya Api Sejarah bahwa para ulama yang aktif dalam BPUPKI biasa menulis rapat  dalam tulisan pegon. Oleh karena itu, satu satunya bangsa terjajah di asia tengara  promlamisnya menggunakan teks bahasa sendiri, bukan bahasa penjajah adalah Indonesia. Dengan kata lain, karena prestasi ulama dan santri bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia  merupakan satu rumpun dengan Melayu dan Bahasa Indonesia termasuk dari bahasa Melayu juga. Sebagian peneliti mengatakan bahasa Indonesia dulu merupakan bahasa Melayu. Pesantren-pesantren yang berdiri di Sumatera dan Jawa menggunakan bahasa ini sebagai pengantar dalam belajar Islam. Tulisan yang digunakan dimodifikasi antara bahaya lokal dengan Arab. Tulisan yang disebut pegon itu adalah bahasa lokal tetapi huruf yang digunakan untuk menuliskannya adalah Arab. Prof. Naquib al-Attas menyatakan para ulama dan santri berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan di kepulauan Nusantara. Karena itu ketika penjajah asing masuk Indonesia, maka yang diangkat oleh para pejuang adalah Islam. Karena berabad-abad lamanya, bumi budaya Indonesia dibentuk dan dibina oleh kebudayaan Islam. Pribumi telah merasakan Islam sebagai identitas tepat untuk melawan penjajah. Tatanan kebudayaan Islam dalam naungan kesultanan Islam telah membentuk tatanan budaya, ekonomi dan politik yang stabil selama berabad-abad. (Bersambung) Penulis  ibu rumah tangga,  pencinta sejarah dan  kajian pemikiran Islam. Aktif di ITJ Chapter Malang ***(hidatullah.com/r)