Kartu Prakerja Hanya Ego Pemerintah Pusat Karena Jadi Janji Kampanye

Jumat, 01 Mei 2020

BUALBUAL.com - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR, Sukamta meminta pemerintah menghentikan program kartu prakerja di tengah pandemi Covid-19 dan memperbaiki konsepnya agar tepat sasaran. Hal tersebut diutarakan lantaran dianggap tidak tepat dikeluarkan saat pandemi dan memiliki sistem yang ngawur.

"Setop Program Kartu Prakerja, fokus untuk atasi Covid-19 secepatnya. Pemerintah jangan semakin bebal dan anti kritik soal program kartu prakerja yang jelas terlihat ngawur ini. Masih ada waktu untuk perbaiki konsep kartu prakerja dan libatkan pemerintah daerah agar bisa lebih tepat sasaran dan mampu menjawab kebutuhan tenaga kerja secara merata di seluruh Indonesia. Setelah pandemi berlalu, program ini saya rasa akan lebih efektif berjalan," ujar Sukamta dalam keterangannya, Jumat (1/5).

Sukamta menilai, program kartu prakerja salah sasaran dan terkesan dipaksakan karena dikeluarkan saat pandemi Covid-19. Konsep awalnya diubah menjadi sistem jaring pengaman sosial untuk buruh dan pekerja terdampak dari upaya untuk mengatasi masalah pengangguran. Namun, malah terjadi salah sasaran bagi penerimanya.

"Terbukti ada sekian peserta yang mengaku di media online, mereka dinyatakan lolos gelombang kedua padahal tidak sesuai kriteria. Mereka hanya ingin mengetahui keakuratan program ini dalam memilih peserta sesuai kriteria dan terbukti hanya omong kosong keakuratannya," kata anggota komisi I DPR RI itu.

Pelatihan daring dari platform digital mitra pemerintah ternyata banyak ditemukan di internet. Video pelatihan dan ujiannya tak memiliki kontrol yang baik sebagaimana orang mengikuti pelatihan di balai latihan kerja.

"Cerita yang sudah mencoba, bisa skip-skip video tutorial kemudian ikut ujian ketika skornya bagus, langsung bisa dapat sertifikat tanda lulus. Ini pelatihan apaan? apakah bisa menjamin peserta sudah terampil?" tegas Sukamta.

Ditambah, program tersebut terkesan tak paham kondisi SDM lulusan SMA dan SMK di daerah. Sukamta mengatakan, tidak ada semangat otonomi daerah dari program tersebut.

"Jadi semakin nampak program Kartu Prakerja ini hanya jadi ego pusat karena soal janji kampanye tanpa mempertimbangkan kebutuhan daerah," jelas Sukamta.

Lebih lanjut, Sukamta menilai dengan skema pelatihan quick fix model digital secara nasional tidak bisa menjawab kebutuhan tenaga terampil di daerah. Hal ini tidak sesuai dengan semangat yang sering digembargemborkan oleh pemerintah pusat untuk meratakan pembangunan hingga ke pelosok-pelosok daerah.

"Lebih masalah lagi, skema pelatihan online Kartu Prakerja ini juga melanggar prinsip keadilan sosial. Hal ini karena tidak semua masyarakat di Indonesia terutama di daerah pelosok dapat mengakses karena keterbatasan akses internet atau tidak memiliki sarana karena berasal dari keluarga miskin. Beda jika yang selenggarakan pelatihan adalah daerah, sosialisasi bisa sampai desa-desa dan pelatihan bisa diakses oleh siapapun. Dengan model yang ada saat ini, kemungkinan hanya wilayah perkotaan yang bisa mengakses, ini jelas tidak adil untuk sebagian warga negara," tutur Sukamta.