Kenapa ‘Daik’ bergelar Bunda Tanah Melayu Ini Penjelasannya

Sabtu, 04 Maret 2017

bualbual.com, Istilah Bunda Tanah Melayu (BTM) kini semakin populer. Apalagi setelah Provinsi Kepri menggaung kencang istilah tersebut sebagai misi kebudayaan. Menjadikan Kepri sebagai BTM. Terlepas dari itu, jauh sebelum Kepri berdiri sendiri masih tergabung dalam Provinsi Riau, istilah atau penyebutan BTM sebenarnya telah menggaung riuh di Daik Lingga. Tepatnya tanggal 4 – 8 Juli 1999. Sekitar 18 Tahun silam. Pasca Perkampungan Penulis Melayu Serumpun (PPMS) yang ditaja Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA). Menggelar sebuah deklarasi dan menetapkan Daik sebagai BTM. Mengapa begitu, mengapa Daik yang saat itu yang hanya sebuah kecamatan mendapat keistiewaan sebagai BTM. Mengapa tidak Kepri yang hari ini begitu gencar ‘ingin’ menjadi BTM tidak dijadikan perkampungan penulis saat itu dan hari ini. Mengapa pula kemudian mantan Gubenrur Kepri Alm H M Sani mengadopsi istilah tersebut membuat seluruh wilayah Kepri sebagai BTM? Samar-samar masih terbayang masa itu. Sekilas apa sebenarnya yang terjadi 18 tahun silam. Masa-masa sulit bekas Ibukota Kesultanan Lingga-Riau (1787-1901) Daik bak kota mati. Jalan masih berlumpur tak terbangun. Bau pekung limbah sagu sepanjang jalan dari pelabuhan Tanjung Buton masih menyengat. Kendaraan roda empat hanya ada satu milik pemerintah. Sisanya ojek kendaraan roda dua yang membawa penulis-penulis nasional di Daik. Listrik belum menyala 24 Jam seperti saat ini. Hotel juga belum tersedia. Lantas apa yang istimewa? Hal itu pula yang disebutkan sejumlah penulis dari Malaysia bertutur dalam Atologi Daik Bunda Tanah Melayu seperti A F Yassin, Ahmad Jamaan, Evy R Syamsir, Merie Ibni Zairi dan puluhan penulis lain saat itu dari Sumatra, Malaysia, Tahiland, Singapura, Brunei Darussalam dan peneliti dari Korea Selatan. (baca antologi Bunda Tanah Melayu). antologi ….”Pernahkan anda mengikuti satu pertemuan tingkat Nasional, atau se Asean atau lebih besar lagi internasional? Jika pernah, bagaimanakah fasilitas yang anda dapat saat itu? Barangkali jika tidak mewah tentu lebih dari mencukupi. Akan tetapi dipertemuan yang satu ini jangan harap anda tidur di hotel atau wisma berpendinginan. Atau makan di restoran sambil shoping ke pusat-pusat perbelanjaan terkenal lainnya,” tulis Ahmad Jamaan salah satu penulis GAPENA (….antalogi Bunda Tanah Melayu, hal 30). Merie Ibni Zairi juga menilis, “Daik Kota Mati. Begitu ucapan orang yang berada di sampingku saat aku dan rombongan menuju Daik untuk sebuah acara PPMS. Tak tau sebab, aku menjadi sedih. Kota yang dulu diagung-agungkan dan banyak menoreh sejarah, tapi kini berubah bagai kota mati. Aku hanya tak bisa membayangkan kata ‘mati’ di sini. Ia adalah kaku, tak bergerak, sunyi, senyap,” tulisnya. “Daik masih perawan. Ia bukan kota mati seperti yang diungkap orang disampuingku saat itu. Jika tak boleh terlalu mengagungkan masa lalu sembari meratap dan menyesali tanpa berbuat apa-apa. Dengan ratapan itu ia tak akan kembali, tetapi dengan berbuat mungkin akan melebihi,” lajut Merie dalam jurnalnya. Lain pula hanya dengan Budayawan Riau, Dr Yusmar Yusuf masih dalam buku antologi yang sama mengatakan Daik Lingga dikenal sebagai sebuah negri yang bertamadun tinggi, memiliki taji sejarah yang tajam dan panjang serta penuturan bahasa yang halus, yang merupakan benteng lidah Melayu sekaligus benteng tamadun. “Tapi, apa yang terjadi sekarang. Daik ibarat ‘amnesia sejarah’ karena kita tidak pernah berniat sungguh-sungguh membangun Daik sehingga masyarakat di sana dalam garis kemiskinan,” tulis Yusmar. “Di tanah yang menggores selaksa perkasa, sejuta wira dan seribu rindu. Kita berhenti sejenak pada terminal sejarah. Sebuah terminal yang secara tidak sadar telah kita ‘ludahi’ dalam bentuk ‘pembonsaian’ atau ‘pelesutan’ atas keperkasaan sejarah yang pernah ditoreh pendahulu Melayu berzaman silam. Kadang, modrenisasi identik dengan upaya sosialisasi ‘amnesia sejarah’, amnesia tentang jati diri, tentang kita dan siapa kita. Berbilang negara yang dimiliki orang Melayu dipermukaan bumi ini, tak bisa mengelak atas kenestapaan sejarah yang terukir bertahun-tahun ditanah Lingga. Dia ditingalkan oleh anak-anaknya dalam sebuah kepekaan malam zaman berzaman. Daik tak ayal lagi bak busur panah yang ringkih dan dilesutkan oleh anak-anaknya sendiri,” tulis Yusmar Yusuf di Daik 5 Juli 1999. Sedang penulis lain, Muchid Albintani merefleksi PPMS di Daik mengatakan, “Dalam konteks ini, orang Melayu harus mengakui dan melakukan legitimasi bahwa Daik itu identik dengan kesadaran. Daik itu identik dengan sebuah gerakan politis. Daik itu identik dengan sebuah kondisi geografis. Daik itu sebagai simbol bahasa Melayu serumpun. Daik itu juga adalah sebuah peyesalan dan kesalahan setting sejarah dalam politik masa lalu,”. Dari kesadaran itulah kemudian muncul satu Deklarasi di Daik pada malam hari terakhir kegiatan PPMS. Deklarasi ini disusun oleh Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, Hamzah Hamdani, Al Azhar, Masran Sabran, Dr Yusmas Yusuf dan seluruh peserta PPMS. Kemudian dibacakan oleh ketua pelaksana PPMS, Drs Syafrial Syamsudin yang berisi.

  1. Adalah satu kenyataan bahwa bahasa merupakan mahkota kebudayaan Melayu yang penggunaannya tersebar pada sejumlah negara di Asia Tenggara.
  2. Oleh karena sastra merupakan mahligai bahasa maka sepatutnya kegiatan sastra memperoleh perhatian yang khas dalam kegiatan kebudayaan Melayu. Perhatian khas dimaksud antara lain berupa penerbitan buku bersama atau penampilan seni sastra.
  3. Mengembangkan rasa saling memiliki karya sastra tersebut melalui semua sarana.
  4. Deklarasi ini dibuat setelah mengamati dan mempertimbangkan fikiran maupun perasaan yang muncul dalam PPMS tajaan Pusat Pengkajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu, Universitas Riau (P2BKM UNRI) di Daik, 4-8 Juli 1999.
  IMG_1066 Penjelasan panjang diatas dapat diambil kesimpulan, pemaknaan Bunda Tanah Melayu sendiri memang terkhusus kepada wilayah Geografis Daik. Bekas sentral pusat  ibukota kesultanan Lingga. Namun kemudian, konsep ini berkembang menjadi Lingga BTM pada 2010 lalu oleh pemkab Lingga. Begitu juga Provinsi Kepri yang menggas seluruh wilayah kepulauan Riau dari Anambas, Natunan, Batam, Karimun dan Bintan menjadi BTM. Bukan tidak pantas, bukan pula semua bukanlah orang melayu. Namun jika ditilik lebih jauh jika pemaknaan bahasa menjadi dasar penetapan BTM tersebut, memang jelas nampak ada kesitimewaan yang berbeda dari bahasa yang dimiliki dan berkembang Daik. Beberapa waktu lalu melalui Rakor Kebudayaan, sejumlah Tokoh Masyarakat di Daik Lingga juga menyarankan agar pemerintah merevisi kembali penyebutan Lingga sebagai BTM. Tokoh Masyarakat meminta, pemerintah mengembalikan Daik sebagai BTM. IMG_1067

Melayu Yang Semakin Amnesia

Persepsi hari ini tentang BTM tidak boleh disamakan dengan apa yang digagas GAPENA 18 tahun silam. Ada politik dan carut marut kekuasan yang mendompleng kebudayaan itu. Komitmen menjadikan Daik sebagai rujukan budaya bukan lagi tujuan. Bahasa melayu Daik, sebagai benteng lidah orang melayu bukan lagi menjadi alasan dari penyebutan BTM ini. Sementara Daik 18 tahun lalu dan sekarang tetaplah sama. Tidak ada perhatian dari anak-anak Bunda nya tersebut yang semakin hari memperkeruh sejarah dan semakin amnesia. Perhatian akan bahasa, sastra, seni dan budaya hanya sampingan. Lebih buruk lagi, menjadi proyek dan kepentingan. Sudah 18 tahun berlalu begitu singkat. Tak ada rumah budaya, tak ada pentas sastra, tak kajian dan workhsop kebudayaan yang berisi, tak ada juga pembangunan dan penataan bekas-bekas istana yang memang sudah mati. Makam-makan para Sultan hanya menjadi tanda. Nampak lebih agung bekas istana para Raja. Selebihnya hanya menjadi sisa-sisa. Terlebih kini semua ingin mengaku Bunda. Entah yang siri, selir atau gundik. Sedang si anak hanya bising dengan celoteh dan rengek yang membabi buta. Entah kah kita memang keturunan durhaka. (Hasbi Muhammad)   BBC.C/PL.C