Kesederhanaan dan Ketegasan, Konsep Politik Melayu

Senin, 08 April 2019

BUALBUAL.com, Konsep kepemimpinan yang diluahkan dalam ungkapan melayu itu sangat sederhana dan tegas. Dengan konsep itu, pemimpin dan masyarakat dapatlah mengatur sikap yang jelas.

Jika ditelaah, kalimat pertama, dalam ungkapan tersebut, terdapat dua frasa, yaitu Raja Alim dan Raja disembah.Frasa “Raja Alim”, terdiri dari dua kata, yaitu Raja dan Alim. Raja adalah sebutan untuk seseorang yang memimpin istana. Raja, dalam konsep kekinian, tentulah tdak ada lagi. Dihubungkan dengan sejarah kerajaan Melayu Riau Lingga, kedaulatan Raja Riau Lingga berakhir tahun 1911 di tangan Raja Abdurrahman Muazam Syah (wafat di Singapura). Namun bukan berarti kita kehilangan makna dari “raja”. Raja ada masa kini, dapat diartikan sebagai pemimpin (orang yang memimpin) dan atau ketua, mulai dari memimpin kelas, Organisasi, RT, RW, Desa, Kota, hingga Negara. Sedangkan “alim”, berarti mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam di samping memiliki sifat warak, zuhud, dan takwa. Secara sederhana kata “alim” dapatlah diartikan dengan “baik”. Sehingga raja yang alim, mengandung maksud raja yang baik dalam akhlak dan sifatnya. “Sembah” berarti penghormatan kepada raja dll (dengan menangkupkan kedua-dua tapak tangan serta menyusun jari dan mengangkat ke atas hingga ke paras dagu ataupun hingga ke dahi), disembah berarti diberi penghormatan. Jika digabungkan, maka makna dari gabungan dua frasa itu adaalah jika seorang pemimpin yang baik akhlak dan sifatnya (konteks “akhlak dan sifatnya, masih luas) wajib dihormati, dituruti, dan atau diikuti.

Kalimat kedua, juga terdiri dari dua frasa, “Raja Lalim (dzalim)” dan “Raja Disanggah”. Secara singkat, makna dari gabungan dua frasa ini adalah kebalikan dari kalimat yang pertama. Dalam kalimat ini, dapat diartikan, jika raja tidak baik akhlak dan sifatnya tidak perlu dihormati, dan atau, jika raja tidak baik maka harus ditentang. Bahkan, jika raja tidak baik maka darahnya halal untuk diminum.

Berbicara tentang sanggahan, dalam konsep kekinian, tidak seperti konsep sanggahan pada masa kali pertama ungkapan ini muncul. Penulis berasumsi, ungkapan ini muncul pada dua masa yang berbeda, yaitu masa Hang Jebat di Kerajaan Melaka atau masa Megat Seri Rama di Kerajaan Johor.

Hang Jebat, menyanggah raja dikarenakan telah berbuat semena-mena dengan saudara seperguruannya, Hang Tuah. Awalnya, Hang Tuah difitnah telah “mengusik” kepunyaan Sultan. Tanpa usut panjang, sultan memerintahkan untuk membunuh Hang Tuah. Merasa raja “kurang teliti”, Hang Jebat menyanggah Raja, hingga mampu menduduki istana, dan bahkan mengusir sultan dari singgasananya. Megat Seri Rama, Anak Bintan, menyanggah raja lebih ekstrim lagi. Dikarenakan raja membunuh isterinya, Megat punmembalas dengan membunuh Sultan yang sedang didulang.

Dalam konsep kekinian, jika dilihat dari “peneybab” timbulnya sanggahan, tidak lagi dikarenakan raja melakukan apa yang seperti Sultan di masa Hang Jebat dan Megat Seri Rama lakukan. Dalam artian, raja yang disanggah seringkali bukan karena “tidak baik”, namun karena raja “kurang baik”. Jika dilihat dari caranya,setelah masa Megat Seri Rama, belumlah ada dalam sejarah, khususnya dalam kehidupan Melayu Riau Lingga berbuat hal yang sama seperti yang dilakukan Hang Jebat atau Megat Seri Rama. Konsep penyanggahan yang dilakukan beralih dengan istilah berdemonstrasi / demo (membawa spanduk dan beorasi dengan pengeras suaara di tepi jalan dan atau di tempat pemimpin itu berada). Malangnya, dari 100 demo yang dilakukan, 2 demo mencapai target perubahan (salah satunya demo era penggulingan Orde Baru), 49 hanya memenatkan badan, dan 49 lagi masuk angin keluar asap.

Selain dari makna frasa dan cara mengimplementasikannya, penulis juga melihat bahwa dalam konsep kekinian juga terjadi perubahan bentuk kalimat ungkapan, yaitu “Raja Alim Raja Disanggah, Raja Lalim Raja Disembah”. Ini terjadi tatkala dihubungkan dengan “kepentingan”. Dapat pula dicontohkan, pemimpin yang bermaksud menutup tambang bauksit, dengan tujuan baik tentunya, namun raja yang punya niat baik tadi disanggah. Sedangkan raja yang “meng-iya-kan” atau “membiarkan” penambangan bauksit, walaupun membawa dampak buruk bagi lingkungan, tapi tetap disembah. Siapa yang menyanggah dan siapa yang menyembah, wallahhu alam.

Fenomena pergeseran nilai dengan tujuan tertentu sudah pasti menciptakan arah yang ambigu. Artinya, nilai yang seharusnya mudah diterapkan, menjadi sulit. Dan, nilai yang sulit seakan mudah. Fenomena ini berlangsung sekian lama hingga sulit membedakan antara individu atau kelompok yang “pro” dengan individu atau yang “kontra”. Karena, seketika menyatakan diri atau kelompok yang “pro”, namun seketika juga berubah menjadi “kontra”, begitu juga sebaliknya, seketika kontra seketika pro.

Apa yang sedang terjadi? Seharusnya dengan konsep warisan nilai politik yang sederhana dalam ungkapan melayu tersebut, kita sudah memiliki identitas yang jelas dan tegas. Tapi, dengan keadaan yang lebih mementingkan kepentingan, identitas sebagai Melayu yang sederhana, jelas dan tegas perlahan berangsur memudar. Hanya dikarenakan sesuatu yang tak jelas Raja Alim disanggah-sanggah, dan raja dzalim disembah-sembah, demi “kepentingan”.

Akankah kita menjadi Hang jebat? Atau Megat Seri Rama? Atau Hang Tuah, yang taat setia kepada raja walaupun raja-nya salah?? Idealisme penting ditegakkan, guna memposisikan diri sebagai orang yang beridentitas. Prinsip hidup haruslah jelas, bersuara ketika harus bersuara, perangi ketika harus berperang, menyanggah ketika harus disanggah, menyembah ketika harus disembah tanpa melihat apa embel-embel yang menyertai-nya.

Penulis: Raja Lalim (dzalim), Raja Disanggah. Sumber: tempo.co