Masyakarat Koto Aman Terlantar di Bawah Flyover Pekanbaru, Perjuangkan Lahannya

Kamis, 14 Maret 2019

BUALBUAL.com, Sudah dua minggu lebih masyarakat Koto Aman, Tapung Hilir, Kabupaten Kampar bertahan di Pekanbaru. Mereka bertahan hidup di bawah flyover simpang Jalan Sudirman-Tuanku Tambusai demi merebut lahannya seluas 1.500 hektar, yang diduga dikuasai PT SBAL sejak 1991 lalu. Pantauan CAKAPLAH.com, masyarakat tidur di bawah flyover dengan alas seadanya dengan beratap jembatan. Sedangkan mereka mandi dan untuk kebutuhan air lainnya memanfaatkan air di Masjid Agung Ar-Rahman Pekanbaru yang berada di samping flyover. Keberadaan mereka di bawah flyover itu menjadi sorotan para pengguna jalan, tak jarang pengendara roda dua dan empat yang melihat ke arah bawah flyover. Apalagi pakaian mereka dijemur di sepanjang pagar bawah flyover itu. "Sudah dua Minggu kami di sini sampai waktu yang belum pasti. Tidur sini, makan sini, kalau mandi di masjid," ungkap Evi kepada CAKAPLAH.com, Kamis (14/3/2019). Ibu enam anak ini mengatakan suami dan keenam anaknya semua ikut ke Pekanbaru menuntut lahan kepada pemerintah. Namun hingga kini belum ada kepastian nasibnya. "Anak saya ada enam, semua kami bawa ke sini. Lima anak saya sekolah tak mau tinggal di kampung, mereka minta ikut ke sini. Jadi mereka tak sekolah," katanya. Sedangkan untuk makan sehari-hari, sebut Evi, dirinya membawa bekal ubi ngalau (ubi kering) dari kampung. Bahkan ada juga sebagian masyarakat yang membawa beras dan peralatan masak. "Makan kami di sini ini lah (ubi ngalau). Inilah makanan kami sehari-hari," cakap Evi sambil mengeluarkan ubi kering dari dalam tas anaknya. Eng (nama kampung Evi) mengaku, selama tinggal di bawah flyover badannya sering sakit-sakitan. Jika malam masyarakat sudah tidur karena kedinginan. "Kalau malam dingin, apalagi kalau hujan, pasti dingin. Makanya saya sekarang demam dan batuk-batuk. Ibu ini juga demam sudah beberapa hari ini," ungkap Eng sambil menunjuk masyarakat yang lain. Ditanya kenapa tak pulang saja ke kampung, Eng malah memilih tinggal seperti itu daripada di kampung melihat lahan masyarakat penuh kebun sawit perusahaan. "Ngapa kami pulang, kami tak punya apa-apa lagi di kampung. Semua kebun kami ditanam sawit perusahaan. Dulu kakek kami berkebun di lahan itu, sekarang kami tak bisa lagi berkebun, penuh sawit," cakapnya dengan logat Suku Sakai. Selama di Pekanbaru Eng mengaku jarang makan nasi. Kalaupun ada nasi itu pemberian orang yang melintas flyover. "Jarang kami makan nasi, hari ini saja belum ada makan nasi, cuma makan ubi ngalau. Kadang kalau dapat nasi dari orang kami makan sama-sama, kadang cuma dapat sesuap," bebernya. Sedangkan untuk minum masyarakat hanya minum air kran yang ada di Masjid Agung Ar-Rahman tanpa direbus kembali. "Air minum tak pakai rebus. Langsung saja kami minum air mentah. Sudah bisa kami minum seperti ini, tapi kalau mau buat teh atau kopi baru direbus," tukasnya.
Sumber : Cakaplah