May Day, Jurnalis Juga Buruh Tuntutan Kerja Kami Tak Kenal Waktu

Selasa, 02 Mei 2017

bualbual.com, Puluhan awak media yang tergabung dalam Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah (Jateng) menolak pemberian upah pekerja media yang masih di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2017. Penolakan sikap itu disampaikan saat ikut dalam demo atau aksi 'May Day' atau hari buruh internasional di Kota Semarang, Jawa Tengah yang dipusatkan di GOR tri Lomba Juang, Kota Semarang Senin (1/5). Ketua SPLM Jateng Abdul Mughis dalam orasinya mengungkapkan, hal klasik yang selalu muncul di tengah jumlah media yang terus tumbuh, adalah persoalan kesejahteraan pekerja media dan minimnya jaminan sosial ketenagakerjaan. "Selain gaji rendah, banyak jurnalis juga dituntut bekerja tak mengenal waktu selama 24 jam melebihi hak upah yang mereka terima. Bahkan beberapa pekerja media juga ada yang mendapatkan upah terlambat hingga berbulan-bulan dari kesepakatan," ungkap Mughis. Mughis membeberkan, parahnya lagi, sebagian besar kontributor dan koresponden di Indonesia digaji berdasarkan jumlah berita yang tayang atau terbit. Keterlambatan gaji yang diatur dalam Undang-undang pun kian diabaikan oleh perusahaan media, sehingga menyebabkan praktik kerja jurnalis menjadi keluar jalur. "Bahkan tak sedikit jurnalis harus 'nyamben' untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus berputar. Mereka dituntut untuk loyal dengan perusahaan, tidak boleh bekerja rangkap di media lain, tetapi gajinya hanya berdasarkan jumlah berita yang dimuat," beber wartawan Radar Semarang-Jawa Pos Group ini. Mughis juga menyampaikan, belum lagi trend digitalisasi ini membuat media cetak mulai meredup. Mereka harus bersaing melewati era digital atau tersingkir. Era konvergensi media membuat jurnalis memiliki banyak keahlian dan keterampilan, namun tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan yang diterima. "Perkembangan itulah yang dianggap memberi kontribusi dari tutupnya sejumlah media cetak, dan memberikan pesangon kepada ratusan pegawainya. Atas kajian tersebut, SPLM mengusulkan kepada pemerintah menjembatani persoalan umum antara pekerja jurnalis dengan perusahaan yang banyak melanggar kesepakatan kontrak, dan tidak mematuhi standar pengupahan. Nyatanya, masih ada praktik pekerja yang dibayar dengan upah rendah, dan tidak mendapatkan kesempatan meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki," terangnya. Kemudian, Sekretaris SPLM Jateng, Raka F Pujangga menyatakan, untuk memperjuangkan itu, kini saatnya pekerja media berserikat, tanpa perlu menunggu datangnya masalah dari perusahaan. "Berserikat dan berkumpul adalah hak yang diatur dalam UU. Merampas hak untuk berserikat sama halnya melanggar hukum dan mengkebiri hak pekerja," ungkap wartawan Tribun Jateng ini. Untuk itu, Raka menyatakan, SPLM Jateng dalam aksi May Day 2017, mendesak kepada perusahaan dan industri media untuk mensejahterakan pekerjanya, memperjelas sistim kontrak kepada pekerja media terutama jurnalis sesuai dengan UU Ketenagakerjaan "Kemudian, mendesak agar asuransi jiwa dan jaminan sosial kepada pekerja media untuk mendapatkan jaminan asuransi dari BPJSK dan BPJSTK, karena jurnalis pun merupakan pekerjaan yang memiliki risiko tinggi dalam menjalankannya. Juga meminta kepada kawan jurnalis untuk bekerja sesuai dengan kode etik dan menjaga profesionalitas," pungkasnya.(mdk)