Membangkit Batang Terendam 'BUALBUAL RAKYAT'

Sabtu, 10 Agustus 2019

PERINGATAN Hari Jadi ke-62 Provinsi Riau tanggal 9 Agustus 2019 tahun ini mengusung tema "Riau Hijau dan Bermartabat". Tema ini barangkali bisa kita beri tagline milenial “rasa yang pernah ada”. Sebab terasa ada nilai-nilai memori kolektif dan ungkapan-ungkapan tersembunyi di balik tema tersebut, seperti hendak mengajak kita ke sana, membangkit batang terendam. Sandingkanlah dengan tema HUT Riau dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018 (HUT ke-61) misalnya, Riau mengambil tema “Transformasi Menuju Kemakmuran”. Pada 2017 (HUT ke-60) pula mengusung tema “Menghulu Budaya Melayu, Menghilir Riau Berintegritas” dengan tagline “Provinsi Riau Berintegritas”. Pada 2016 (HUT ke-59) mengusung tema futuristik: "Riau Go IT". Pada 2015 (HUT ke-58) menjunjung tema yang rada egoistik, “Riau Homeland of Melayu". Lebih kurang maknanya, “Riau tanah tumpah darah Melayu”. Mantul kan? Bagaimana pun tema Riau Homeland of Melayu telah diaplikasikan dengan berdirinya Dinas Kebudayaan, sebuah dinas yang sudah lama didambakan oleh entitas kebudayaan Melayu di Riau. Pada 2014 (HUT ke-57), peringatan hari jadi Provinsi Riau di era Gubernur Annas Maamun, tema yang diusung adalah “Kita Jadikan Momentum Untuk Mewujudkan Provinsi Riau Yang Maju, Sejahtera & Berdaya Saing Tinggi”. Bila kita cermati, tema-tema yang diusung dalam kurun waktu lima tahun tersebut (2014-2015), terasa pragmatis, tetapi kontekstual, programable dan akomodatif terhadap tuntutan perubahan cepat zaman yang bisa memengaruhi perilaku dan kinerja organisasi pemerintahan atau birokrasi. Lihatlah beberapa frasa yang digunakan, seperti “transformasi”, “integritas”, “IT-Information Technology”, “kebudayaan”, dan “daya saing”. Frasa-frasa tersebut adalah frasa yang akrab dengan makhluk yang bernama globalisasi. Organisasi modern mana pun di seluruh dunia pasti melakukan transformasi (mengubah pola pikir, banting stir) untuk selalu inovatif. Bahkan bagi dunia korporasi, transformasi adalah harga mati. Kalau tidak, mereka akan segera ketinggalan. Sebab, demikian kencangnya perubahan yang terjadi, sehingga inovasi yang diciptakan dengan bersusah payah hari ini, esok hari akan segera menjadi basi. Integritas juga harga mati. Integritas menyangkut trust (kepercayaan). Sosiolog kondang dunia Francis Fukuyama menyebut, di era globalisasi yang diperlukan tidak hanya modal kapital dan teknologi, lebih penting lagi adalah trust. Hanya orang-orang terpercayalah yang layak diajak berunding dan diberi tanggung jawab besar. Oleh karena itu dalam berbagai kesempatan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pengisian pimpinan dan manajemen puncak, termasuk lelang jabatan, integritas (soft skill) adalah aspek yang sangat penting bahkan melebihi kompetensi. Orang pintar tapi integritas rendah, kesimpulan nilainya nol. Riau Go IT tak bisa dhindari. Apalagi sekarang dalam isu kekinian Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan digitalisasi, kecerdasan buatan (artificial intelligent), internet of things, big data dan komputasi awan (cloud computation). Manajemen pemerintahan yang semakin kompleks, harus dikelola dengan menggunakan kemajuan IT, tak ada cara lain. Di era yang serba digital zaman now, yang di dalamnya inheren era disrupsi, persaingan dikacaukan oleh kompetitor-kompetitor cerdas yang tak terlihat. Seringkali kita terkejut-kejut tak habis pikir, kita tidak merasa ada sesuatu yang salah, tapi tiba-tiba saja kita sudah dikalahkan oleh kompetitor yang muncul ibarat siluman. Mau menghindar? Menghindar kemana, kita sudah terkepung oleh cyber technology. Tema “Riau Hijau dan Bermartabat” merupakan tema peringatan hari jadi ke-62 Provinsi Riau tanggal 9 Agutus 2019 tahun ini. Tak bisa dipungkiri, spontan terbayang, tema ini sarat dengan filosofi dan mengandung abstraksi yang tinggi. Kita lihat penjelasannya, warna hijau yang memolesi angka dua dalam logo (unsur dominannya “62”), diberi makna, Riau hijau melambangkan alam yang subur, damai dan seimbang. Terkandung juga makna masyarakat yang agamis dan religius. Warna kuning atau emas yang dipolesi pada angka enam dalam logo, melambangkan martabat, kejayaan, kekayaan alam yang melimpah dan hidup dalam kesejahteraan. Riau adalah negeri yang alamnya subur, memiliki kekayaan alam yang berlimpah, masyarakatnya hidup sejahtera, agamis, religius, damai, bermartabat, jaya, semuanya dikemas dengan penuh kebanggaan dalam tema “Riau Hijau dan Bermartabat”. Semua persyaratan telah terpenuhi, tak ada alasan tak sukses menuju masa keemasan. Barangkali inilah intisari tema “Riau Hijau dan Bermartabat” itu. Ada kesan kuat tema ini dimaksudkan untuk menggugah memori kolektif kesadaran bersama terhadap kebudayaan Melayu sebagai soko guru kebudayaan nusantara di daerah ini. Mengajak seluruh masyarakat yang bermukin di Riau bersama memaknai momentum peringatan hari jadi Provinsi Riau tahun ini, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kebudayaan Melayu dengan penuh kesadaran. Makna memang tersembunyi dalam kesadaran. Di sana makna berada dalam keadaan terendam tidak terkenali. Bila diberi ungkapan yang tepat makna menjadi hidup. Makna akan bangkit mengerahkan kekuatannya yang menggetarkan. Makna akan membuat yang jauh jadi dekat, yang rumit menjadi mudah yang asing menjadi akrab. Nilai-nilai kebudayaan Melayu yang berada dalam kayu hitam teras batang yang terendam itulah yang hendak dimaknai, kita bangkitkan bersama-sama. Teras itu adalah nilai-nilai kebudayaan masyarakat Melayu Riau yang mejunjung tinggi adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Itu kan teras batang terendam yang hendak kita bangkitkan? Secara praksis dalam kehidupan masyarakat Riau, substansi tema “Riau Hijau dan Bermartabat” itu sebenarnya sudah disosialisaikan oleh Gubernur Syamsuar dan Wagub Edy Natar Nasution pasca pelantikan mereka sekitar enam bulan lalu. Gubernur memberi sinyal dalam berbagai kesempatan dengan mengemukakan tekadnya ingin mengambil beberapa langkah perubahan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, Bank Riau Kepri yang selama ini dikelola secara konvensional akan diubah menjadi Bank Syariah. Bank syariah diyakini sebagai instrumen prinsip dalam mendukung visi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Praktik perbankan syariah yang disebut Gubernur Riau mempertegas posisi Riau terhadap pembangunan ekonomi di daerah ini. Gubernur kelihatannya tidak ingin setengah-setengah, alias abu-abu. Halal ya halal, haram ya haram. Tak boleh dicampur aduk. Seperti kita pahami, bank syariah adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaan bisnisnya berdasarkan hukum Islam (Syariah). Gubernur juga dalam berbagai kesempatan mengajak seluruh unsur pemerintahan untuk mewujudkan peraturan daerah tentang zakat, demikian juga wisata halal. Belum lama ini Gubernur Syamsuar melaunching Gerakan Wakaf 2000 rupiah perhari (One Day Two Thousands – ODTT). Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution beberapa hari lalu meresmikan pula Perpustakaan Syariah Masjid Islamic Center Kabupaten Rokan Hulu, di Pasirpengaraian. Perpustakaan syariah ini dikelola secara syariah yang mana ruang baca pemustakanya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Bahwa komposisi masyarakat di Provinsi Riau ini heterogen, tak perlu diperdebatkan. Provinsi Riau adalah miniatur heterogenitas Indonesia, tapi nilai-nilai kebudayaan Melayu harus tetap menjadi pohon besar identitas di tanah Riau. Jadi, tema “Riau Hijau dan Bermartabat” itu sesungguhnya mengandung makna yang dalam, lebih dalam dari dasar terdalam Sungai Siak. Semoga tak menjadi sebuah utopia. Syabas Riau.
Penulis : Dr. drh. Chaidir, MM
Sumber : cakaplah