Menanti Ambruknya Sekolah "SLB" Selat Panjang Sudah Reyot dan Memperhatinkan

Sabtu, 16 November 2019

BUALBUAL.com - Sekolah Luar Biasa (SLB) Sekar Meranti di Desa Anak Setatah, Kepulauan Meranti punya arti penting bagi anak-anak berkebutuhan khusus (disabilitas) di daerah tersebut. Sejak adanya sekolah itu, anak-anak mulai membuka minda dan mengenal beragam kehidupan. Kini sekolah itu terancam ambruk karena lapuk bersama waktu. Laporan WIRA SAPUTRA, Selatpanjang SYAFRISAL terlihat sibuk pada Kamis (31/10) itu. Betapa tidak, dia mendapat pemberitahuan mendadak segera berangkat ke Pekanbaru untuk mengikuti temu ramah perwakilah SLB dengan Gubernur Riau (Gubri) H Syamsuar. Pertemuan itu sendiri dilakukan Jumat (1/11). Sebagai Kepala Sekolah SLB Sekar Meranti, dirinya merasa wajib hadir dalam temu ramah tersebut. Banyak hal yang hendak disampaikannya kepada orang nomor satu di Riau tersebut tentang berbagai hal. Terutama sekali kondisi SLB yang dikelolanya.  "Saya wajib ikut temu ramah ini. Pasalnya, hanya itu kesempatan yang bagus untuk memperjuangkan nasib murid SLB Sekar Meranti," ujarnya saat ditemui Riau Pos menjelang keberangkatannya ke Pekanbaru. Pemberitahuan yang mendadak itu membuat dirinya terkacah-kacah (sibuk tak menentu). Terutama untuk mencari dana untuk keberangkatannya ke Pekanbaru. Namun, karena temu ramah itu sangat penting bagi sekolahnya dia pun meminjam dana ke sejumlah pihak. "Ada sedikit uang. Tadi dipinjamkan oleh teman. Untung mereka bisa bantu. Daripada tidak bisa berangkat," tambahnya kepada RiauPos. Diakuinya, temu ramah ini menjadi momen yang sangat dia tunggu. Dia harus bertemu dengan Gubri. Ketika itu,  ia juga sempat menunjukkan proposal permohonan pembangunan tempat belajarnya 46 orang anak penyandang disabilitas yang dibinanya. Kata Safrizal, bangunan sekolah itu  kini miring. Pasalnya pondasi yang menggunakan sisa potongan batang pohon kelapa telah lapuk dimakan rayap. Tidak hanya pondasi, bahkan beberapa keping dinding dan tiangnya juga ikut sama. "Kondisi ini harus disampaikan langsung kepada Gubri. Jika tidak, maka tidak akan ada kesempatan serupa untuk kami menerangkan kepada beliau. Harapan ya untuk mendapatkan ruang belajar yang layak bagi anak-anak," ungkapnya.Mengingat tidak memiliki waktu yang panjang karena kapal akan segera berangkat, Safrizal meminta Riau Pos untuk bertemu dengan abang kandungnya, Rudi Hartono. Berjuang Dua Beradik Akhirnya Riau Pos bertandang ke sekolah tersebut. Saat sampai di sekolah terdengar riuh. Dapat dipastikan suara itu berasal dari dalam SLB, yang berdiri di jalan utama desa setempat. Benar.  SLB  Desa Anak Setatah, Kecamatan Rangsang Barat pesisir Selat Malaka sangat perlu perhatian. Memang kondisi bangunan tidak tegak lurus dan reyot. Dari luar, lantai dasar tampak miring selisih beberapa inci mendekati tanah. Saat memasuki ruang belajar, setiap injakan langkah kaki  menimbulkan bunyi, sebab gesekan antara papan satu dangan yang lain. Beberapa bagian dari lantai juga ada yang mengelembung dan ada yang juga cekung. Pantauan Riau Pos didampingi Rudi Hartono, sekilas tidak ada yang istimewa dari sosok pria berusia 51 tahun tersebut.  Namun siapa sangka, sosok Rudi Hartono petani karet yang sederhana ini merupakan pendiri SLB Sekar Meranti. Meski berpenghasilan pas-pasan, kebijakan menggratiskan seluruh biaya pendidikan bagi seluruh murid di sekolah yang diinisiasinya patut diacungi jempol. Tidak hanya gratis belajar, murid-murid disabilitas itu kerap dimanjakan dengan pelayanan antarpulang yang dilakukan oleh guru sekolah tersebut. Pihak sekolah sebelumnya memang pernah mendapat bantuan satu unit mobil untuk antar jemput siswa. Namun mobil itu tersadai, karena pihaknya tidak mampu membeli bahan bakar dan perawatannya. "Kalau dulu antar jemput pakai gerobak. Setiap murid dijemput dan diantar ke rumah. Kalau sekarang hanya diantar pulang saja, dan guru-guru di sini yang antar. Mobil ada, tapi kami tak mampu membeli bahan bakar," ungkapnya. Saldo Rekening sampai Kosong Rudi bercerita, dia tergerak mendirikan sekolah luar biasa itu berawal dari keprihatinannya terhadap nasib pendidikan anak-anak disabilitas di pesisir Selat Malaka tersebut. Semula, ia berprofesi sebagai penjaja ikan dengan sepeda motor roda dua dari rumah ke rumah warga desa.  "Dulu jual ikan keliling kampung. Ketika itu saya masih sehat," ungkapnya. Saat berjualan ikan, ia melihat banyak anak-anak disabilitas tidak mendapatkan pendidikan layak. Mereka banyak menghabiskan waktu di rumah atau bahkan hanya dikurung di kamar oleh orangtuanya. Dari pendataan yang dilakukan oleh adiknya Syafrizal, ketika itu tidak kurang 200 anak disabilitas, namun tidak seorang pun dari mereka medapatkan pendidikan khusus. "Sedih, karena inilah satu-satunya SLB di di Kecamatan Rangsang Barat," ujarnya. Sementara mayoritas masyarakat di desanya keluarga yang tidak mampu. Mereka tidak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya di SLB Selatpanjang. Lagipula, untuk ke Selatpanjang mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh dan harus menyeberangi laut. Dengan kondisi itu, 2014 silam timbul niat untuk membangun sekolah bagi anak anak tersebut. Lantas tanpa ragu, ia mengajak adiknya, Syafrizal, untuk mendirikan sekolah yang dimaksud. Niat baik suami dari Suriyana ini mendapat dukungan sang istri dan anggota keluarga lainnya. Berbekal tabungan milik Syafrizal, mereka lantas mendirikan sebuah yayasan. "Sampai kosong saldo di rekening adik saya untuk modal mendirikan sekolah ini," ujar Rudi. Dengan didukung anggaran yang minim, sehingga sekolah tersebut hanya dibangun menggunakan pondasi atau tongkat dari potongan pohon kelapa. "Makanya tidak bisa bertahan lama," tuturnya. Walaupun telah berupaya untuk seirit mungkin, pembangunan sekolah itu tidak juga rampung. Tidak sempurna. "Belum siap. Ketika itu dindingnya hanya naik tiga keping papan dari bawah  dan sebagian besarnya tidak berdinding sampai ke atas. Namun sudah beratap dan berlantai," ungkapnya. Saking parahnya, banyak instansi yang merasa iba dengan kondisi tersebut. Seperti 2017 silam mereka mendapat bantuan dari Polres Kepulauan Meranti belasan keping papan untuk dinding  dan uang Rp5 juta yang difungsikan untuk persediaan mebeler seperti kursi dan meja belajar. Selain bantuan dari Polres. Pada tahun yang sama mereka juga menerima bantuan dari Lanal Dumai. Selain menyaurkan matrial, mereka juga bergotong royong membangun sekolah ini. Beruntun di tahun yang sama lagi, PLN Cabang Dumai juga menyalurkan CSR. Namun bantuan fisik itu harus diperuntukkan mambangun fasilitas musala dan toilet. "Kami minta bangunan sebagai ruang belajar. Tapi kata mereka tak boleh, karena dalam petunjuknya harus bangun musala dan toilet saja. Sehingga bangunan ruang belajar ini tidak bisa bertahan," ungkapnya.(bersambung)     Sumber: riaupos.co