Mengenal Lebih Dekat Budaya "Joget Dangkong Pesta Dansa Alam Melayu"

Sabtu, 04 Maret 2017

bualbual.com, Tak lengkap rasanya, jika dalam sebuah pesta orang melayu tanpa pertunjukan seni Joget Dangkong. Meski banyak kalangan hanya menangkap sisi hiburannya, namun pertujukan seni musik dan tari ini juga memiliki sisi sebagai sarana interaksi dan komunikasi antara pelaku dan para audien. Hubungan ini dibangun lewat euforia bahasa seni rima dan rentak lagu dalam interaksi sosial. Rentak lagu, alunan biola dan tabuhan gong menghipnotis penonton. Tak jarang pula mantra dan perindang dipakai guna mempengaruhi penonton untuk ikut menari dan berjoget. Sejarawan Kepri, Awandi Syahri pernah mengupas sebuah artikel yang diberi judul Penuba: Hawaii Van Lingga 1939, yang ditulis oleh Correspondent Soerabaiasch-Handelblade salah seorang bule Belanda yang tak dikenal namanya (anonymous) dalam artikel yang berjudul “Een tochtje naarden Lingga archipel” (Sebuah Perjalanan ke Kepulauan Lingga) dan dimuat dalam Soerabaiasch-Handelblade edisi 24 Februari 1939 tentang pesta dansa dan joget di Penuba, Lingga. (baca: Tanjungpinang Pos, Sabtu 12 April 2014) “Sebuah pesta di Keresidenan Riouw belum disebut pesta jika tidak ada ‘gedjoget’ (joget)”, tulisnya. Bule yang tak dikenal tersebut tulis Aswandi adalah tamu pejabat Belanda di Tanjungpinang dan diundang untuk ikut berlayar ke Lingga. Tepatnya ke pulau Penuba, kecamatan Selayar yang saat itu menjadi Countroluer Onderafdeling Lingga tahun 1939. Selain tarian, musik yang dimainkan oleh pribumi melayu kala itu juga cukup populer dan tergolong hebat. “Lagu-lagu selamat datang dimainkan oleh sebuah orkes kecil yang terdiri dari 2 penggesek biola, satu penabuh gong, satu pemetik gitar, satu penabuh bedug dan seorang penabuh gendang Turki. Setelah itu tari-tarian dipersembahkan. Selanjutnya silih berganti dimainkan alunan melodi yang indah (termasuk ‘Anitra’s Tanz’ karya komponis Peer Gyntsuite van Grieg) dalam berbagai tampilan. Dari yang paling sederhana hingga yang terbaik yang sebanding dengan Mazurka (musik pengiring tarian rakyat Polandia karya komponis Chopin) dalam tempo yang dipercepat”…. tulisnya.

Joget Dangkong Dansa-nya Orang Melayu

Pada dasarnya, keberadaan musik dan tari cukup hidup dalam sebuah struktur kebudayaan. Tak elak, juga berkembang dalam budaya orang melayu. Joget Dangkong adalah dua gabungan unsur seni yang ditampilkan bersamaan. Terdapat seni musik dan tari di dalamnya. Saling mengikat dan tak bisa berdiri sendiri. Kata Joget, bermakna tarian. Istilah joget juga berarti sebagai rentak lagu melayu yang berirama rancak (red cepat). Joget hampir sama dengan ronggeng, tandak dan tari (lihat KBBI). Sedangkan kata Dankong sendiri merupakan otomatopea (dari bahasa Yunani kata atau sekelompok kata yang menirukan bunyi-bunyi dari sumber yang digambarkan) berasal dari bunyi instrument Gendang dan Gong “dang dan gong” yang kemudian menjadi Dangkong. Tarian berpasangan dalam joget Dangkong ini juga disebut oleh sejumlah pakar sebagai dansanya orang melayu.

Sekilas Sejarah Joget Dangkong

Banyak asumsi dan pendapat mengenai asal muasal sejarah Joget Dangkong. Menurut Daud Kadir dalam buku ‘Lagu-lagu Joget Tradisional Daerah Riau, 1994’,  kesenian Joget Dangkong berasal dari Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke 15. Portugis memperkenalkan sejenis tarian yang terdiri dari Tambur dan Biola yakni Branyo satu dari cabang tarian Caridinho. Namun ada juga sumber lain mengatakan, tarian ini pernah berkembang di dalam istana seperti Joget Gamelan di Istana Daik. Sementara di Daik sendiri menurut sejumlah pelaku seni, Joget Dangkong konon merupakan tarian bangsa Lanun. Dalam setiap pesta hasil perampasan, joget Dangkong menjadi pesta. Namun begitu, kesenian ini cukup populer disejumlah sebagai musik rakyat. Terlebih lagi di  pesisir kepulauan Lingga. Seperti kelompok Joget Pulau Medang dan Joget dusun Kukang Pancur kecamatan Lingga Utara yang telah merambah pulau-pulau menggelar pertunjukan. Tidak hanya sebagai kelompok seni, joget Dangkong menjadi pekerjaan bagi pelaku seni saat itu. Menjadi ladang penghasilan. Menggelar pertunjukan diberbagai tempat. Menjual tiket bagi para penonton untuk ikut menari. Tampil baik dalam acara hajatan perkawinan ataupun memenuhi undangan pertunjukan. Kesenian ini cukup populer hingga akhir tahun 80-an sebelum gempuran tekhnologi, globaliasi serta pengaruh industri musik populer, media radio dan televisi berkembang dikampung-kampung melayu. Terlepas dari sejumlah asumsi sejarah munculnya kesenian ini, menurut Edi Setiawati dalam bukunya ‘Pertumbuhan Seni Pertunjukan, 1981’ mengatakan, ….kesenian tidak lahir semata-mata sebagai cetusan penemuan baru yang tiba-tiba ada, melainkan kalau dilihat dari runtut waktu yang panjang akan ternyata banyak hal-hal baru yang senantiasa berasal dari yang sudah ada sebelumnya.  Dalam perkembangannya, seni joget Dangkong terus bermetamorfosa. Menyesuaikan zaman. Tidak hanya lagu melayu lama, namun juga lagu yang tengah populer di zamannya. Namun lagu wajib seperti Tabik, Serampang Laut dan Dondang Sayang tetap menjadi awal atau pembuka kesenian ini. Joget Dangkong bagi masyarakat pendukungnya jelas sebuah seni. Memiliki estetika dan etika. Cara, adab dan berpakaian semua diatur baik.  Mengikut cara orang melayu itu sendiri. Dipandu oleh seorang Mak Joget, di iringi musik hidup dan ditarikan oleh Anak Joget yang selalu berjumlah ganjil. Lima hingga sembilan orang dan lebih.

Instumentasi Joget Dangkong

Jika dilihat dari instrumentasi yang digunakan, terdapat tiga jenis alat musik inti sebuah pertunjukan Joget Dangkong. Yaitu Biola, Gendang Tambur dan Gong. Biola atau Violin yang sangat akrab dalam setiap pertunjukan musik melayu. Alat musik ini, murni diadopsi dari Barat. Biola tergolong dalam klasifikasi alat musik Cordophone. Yakni sumber bunyi berasal dari senar atau dawai. Fungsinya sebagai solo melodi dan pengiring lagu. Bagaimana penyebarannya hingga orang-orang melayu memiliki kebolehan beradaptasi dengan instrumentasi Barat tersebut, masih perlu ditelusuri lebih jauh. Mempelajari bagaimana adaptasi instrumentasi ini bisa berlangsung. Sedangkan instrument kedua yakni Gendang Tambur. Merupakan endang dua muka dan masuk dalam klasifikasi instrumen Membranophone. Sumber bunyinya berasal dari getaran membran atau kulit. Cara memainkannya dipukul menggunakan stik atau tongkat. Diameter membrannya cukup besar yakni 35 hingga 40 centimeter. Instrumen ini, cukup populer di alam Melayu dan Nusantara meski dikenal dengan nama berbeda. Sementara Gong masuk dalam kategori Idiophone. Yakni alat musik yang sumber bunyinya berasal dari tubuh instrument itu sendiri. Instrument ini juga terdapat hampir diseluruh wilayah Nusantara hingga Asia Timur. Mengenai bagaimana penyebaran dapat ditelusuri lebih jauh bagaimana kontak kebudayaan melayu yang terjadi hingga munculnya kesenian ini. Menurut Alan P Merriam dalam bukunya ”Metode dan Teknik Penelitian Dalam Etnomusikologi, 1995″, studi mengenai akulturasi yang terjadi dalam suatu kebudayaan dapat dilacak melalui musik. Termasuk persebaran instrumen yang digunakan sebuah kelompok ataupun budaya tertentu. Teori ini bisa diterapkan untuk mengkaji lebih jauh terkait sejarah instrumentasi dan juga akulturasi kebudayaan melayu itu sendiri yang boleh dikatakan sangat minim refrensi tertulis. Baik buku maupun kajian-kajian ilmiah guna refrensi ataupun pembelajaran sebagai cara regenerasi ataupun rekunstruksi kebudayaan melayu. Agar menjadi bahan pembelajaran dan pengenalan bagi generasi muda melayu. Bukan pula sekedar ‘pelestarian’, kata yang cukup populer digunakan oleh sejumlah orang meski kurang tepat digunakan dalam istilah musik.

Joget Dangkong Hari Ini

Zaman telah berubah. Tradisipun ikut tergerus. Joget Dangkong semakin sulit ditemukan. Meski masih ada sejumlah kelompok yang mempertahankannya, namun tidak se eksis dizamannya. Hanya dalam kegiatan tertentu dihadirkan. Acara perkawinan melayu lebih memilih menggunakan biduan dengan musik iringan keyboard. Ketimbang Joget Dangkong. Dalam kegiatan kenegaraanpun, tidak selalu hadir pesta Joget Dangkong. Paling hanya setahun sekali. Begitu tamu-tamu luar hadir atau pesta ulang tahun daerah baru seni ini muncul ke permukaan. Upaya-upaya menghidupakan seni inipun masih minim. Pemerintah masih memiliki PR besar untuk meberi ruang gerak bagi para pelaku seni Joget Dangkong. Jauh lebih baik lagi jika seni ini kembali menjadi pekerjaan dan sumber ekonomi bagi pelaku seni seperti dulu. Sebab, seni inipun kini telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda, Warisan Budaya Indonesia akhir tahun 2015 lalu. Kita tidak perlu menunggu punah untuk mengatakan bahwa kita pernah memiliki kesenian ini. Perkembangan seni Joget juga menjadi dilema. Sebab belakangan, berkembang pula joget ‘vulgar’. Dengan cara yang mirip namun jelas berbeda. Jika dilihat lebih teliti, seni rakyat joget Dangkong jelas sebuah prodak budaya melayu. Sedangkan Joget dengan instrumen eleketrik yang menggunakan alat musik barat ditahun 1980 akhir, hingga berkembang pula Joget saat ini yang lebih dikenal dengan nama joget Medan, menggunakan instrumentasi keyboard tak jarang hanya playlist lagu dari flashdish maupun hanphone dengan alat pengeras suara yang menggunakan jasa penari dan terkesan vulgar. Joget seperti ini bukanlah kebudayaan melayu namun cukup populer dan berkembang dipesisir dan hanya sebatas hiburan. Tak jarang hal ini juga memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak kecil di pulau-pulau pesisir Lingga. (hasbi Muhammad)     BB.C/PL.C