Mengingat Budaya Musik, Kemanusiaan, Lingkungan dan Melayu

Selasa, 28 Maret 2017

bualbual.com, Pendidikan musik bagi anak-anak adalah sangat penting. Anak-anak harus dijauhkan dari musik-musik yang melemahkan jiwa, dan harus diberikan musik yang ‘berisi’.” Filsuf Yunani Kuno, Plato (427-347)

Tarikh9 Maret lalu menjadi momentum bagi seluruh musisi dan pelaku seni. Bagaimana tidak, tanggal tersebut menjadi begitu sakral. Pasalnya diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Berbagai pemberitaan mewarnai media masa dan eletronik. Yang paling heboh, di Istana Negara dan Presiden Jokowi juga ikut mengapresiasi dan mengundang lebih kurang 200 musisi terkenal. Syahdan, sebuah apresiasi yang dinilai begitu besar langsung dari negara terhadap pelaku seni di Indonesia. Terlepas dari itu, yang menjadi buah pikiran kini bagaimana dengan budaya musik itu sendiri di Indonesia pada hari ini. Apakah hanya menjadi kebutuhan sesaat, atau kah kita sudah benar-benar memanfaatkan Musik lebih manusiawi. Apakah musik yang kita dengarkan hari ini memberi pengaruh baik ataukah sebaliknya bagi kehidupan, kemanusian, lingkungan dan pola pikir terhadap SDM. Meminjam prolog Sunarto dalam tulisannya yang diberi judul Melampaui Batas Kebutuhan Sesaat: Suatu Pendekatan Pemanfaatan Musik yang Lebih Manusia dalam buku yang diberi Judul Musik Seni Barat dan dan Sumber Daya Manusia berisi Karya-karya DR FX Suharjo Parto, kita (Indonesia) akan melihat fungsi dan pran musik yang sesungguhnya. Yang belum sepenuhnya mampu diterapkan di Indonesia. Untuk memaknai musik itu, kita harus belajar banyak dari Barat. Sekalipun setiap kebudayaan membentuk musik sesuai dengan zamannya sendiri, namun untuk pemanfaatannya Barat jauh lebih baik. Di Barat, perbincangan soal musik menyangkut dua bidang. Yakni Seni dan Ilmu. (Music as An Art and a Science: John Redfield 1994; Otto Karolyi, 1965). Soal seni, musik yang bersumber dari suara (sound) memiliki kaidah-kaidah estetis yang dapat diapresiasikan. Berhubungan langsung dengan rasa dan kadang irasional tulis Sunarto. Sedangkan disisi Ilmu, banyak yang tidak menyadari akan fenomena yang timbul akibat musik. Unsur yang memberi kesinambungan, yaitu ilmu. Terlihat dari deretan-deretan nada, interval dan juga segi akustik suatu musik. Baik hubungannya dengan angka-angka matematika seperti musik diatonis yang pertama kali diterapkan oleh Phytagoras ke dalam musik. “Matematika musik, secara keseluruhannya, memang teramat rumit. Sedangkan yang selama ini dperlihatkan hanyalah sebagian kecil dari fundamennya. Dan, yang pasti, belum semuanya. Maka sekarang kita dapat tau, bahwa musik yang sering kita dengar dan bahkan sering kita sepelekan itu, sebenarnya mempunyai dasar ilmiah (keilmuan) yang begitu kuat. Musik mungkin terdengar indah dan mudah. Tapi, matematik dibelakangnya bukan masalah yang gampang,” tulis Sunarto. #Budaya Musik, Tradisi dan Kemanusian Beragam suku bangsa yang ada membuat Indonesia begitu kaya akan seni musik. Seperti musik tradisi. Begitu pula dengan globalisasi yang merambah hampir kesuluruh pelosok negri. Bergam genre dan jenis musik mengisi atmosfer ruang telinga. Sampai kepada budaya Pop yang begitu berkembang pesat dan berbagai macam fenomena dan kreasi baru hingga musik-musik elektronik. Hampir setiap detik, menit, jam dan hari, baik dari radio, televisi di rumah, toko ataupun ditempat kerja musik begitu mudah didengar. Begitu mudah dinikmati. Begitu mudah didapatkan. Begitu pula mudah diabaikan. Dibanding Barat, musik-musik tradisi boleh dikatakan jauh ketinggalan disisi keilmuan. Meskipun sama dikelompokkan dalam kategori musik, namun penerepan keilmuan khususnya bidang Etnomusikologi di Indonesia belum dapat berkembang banyak. Akibatnya, sedikit sekali referensi yang dapat menjadi sumber acuan dan pembelajaran untuk memantapkan seni tradisi di Indonesia itu sendiri. Salah seorang pakar musik, Alan P Merriam mengelompokkan fungsi musik tradisi diantaranya sebagai sarana ekspresi dan estetis, hiburan, alat komunikasi, simbolisasi, respon fisik, hal yang bisa memperkuat norma-norma sosial, sebagain intituisional dan ritual keagamaan, sarana kelangsungan dan statistik kebudayaan dan integritas dan identitas masyarakat. Sejauh ini, pemanfaatan musik bagi kemanusian masih sangat jauh. Baik nilai-nilai musik tradisi yang merupakan budaya luhur maupun pembelajaran musik Barat di Indonesia. Di Barat, musik telah dikembangkan sebagai salah satu teknologi bagi pembangunan manusia. Seperti musik biomedis untuk pengobatan. Pada abad ke 9 dan 10, tabib muslim telah menggunakan musik sebagai penyembuhan penyakit. Baik rohani maupun jasmani. Al-Farabi (257 H-337H/870-950) filsuf islam terkemuka telah menulis risalah pengobatan melalui musik AL-‘IIaj fi Al-Musiqa dan Ikhwal al-Safa’. Sementara Barat baru memulai setelah perang dunia ke II. Sebenarnya hal ini juga banyak berlangsung dalam tradisi dan budaya di Indonesia, termasuk di Kepri. Sayang masih belum ada kajian ilmiah mengenai hal tersebut. Adapula Musik dan Intelegensi. Daya estetis dipercaya dapat dimanfaatkan sebagai penambah IQ. Mempelajari dan memanfaatkan musik dapat mengembangkan fungsi otak kanan dan otak kiri. Musik menjadi penyeimbang seperti hasil penemuan Dr Roger W Sperry hingga memproleh Nobel pada tahun 1981 atas jasanya tersebut. #Pemanfaatan Musik Yang Sia-Sia Di Indonesia dan tidak terkecuali di Kepri, paham musik pada hari ini hanyalah sebagai kebutuhan hiburan belaka. Paham yang cukup luas diterima dan dipahami orang banyak. Tidak hanya musik Barat, Pop maupun musik-musik tradisi yang terus dimainkan berulang-ulang. Paham yang terus ditularkan kepada generasi secara turun temurun. Baik konser yang digelar, hingga pertunjukan-pertunjukan seni tradisi yang setiap tahun telah menjadi agenda pemerintah setempat. Seperti musik tradisi di Kepri, kompetisi selalu dijadikan ajang memunculkan seni. Meski memiliki menjadi wadah berekspresi namun tidak sama sekali menularkan nilai-nilai keilmuan dari seni dan budaya tersebut. Terlebih memang tidak pernah juga dilakukan perhatian serius apa dan untuk apa seni musik tersebut. Lain lagi seni musik yang hanya tampil dalam pertunjukan-pertunjukan yang selalu digelar sebagai hiburan dan kebutuhan sesaat sebagai simbol kekuasaan. Seperti acara-acara kenegaraan. Sebut saja tarian makan sirih yang seolah kehilangan makna. Para pelaku seni dibelakangnya hanya menjadi simbol pelengkap acara. Regenerasi memang selalu muncul. Mengulang apa yang telah dilakukan sebelumnya. Berkembang dengan ketidak tahuan dan sebatas mengejar eksistensi dan popularitas. Ada pula yang berdalih menggelar pertunjukan musik tradisi guna menyelamatkan ataupun melestarikan musik tersebut. Namun pada kenyataannya, kita masih terjebak dalam pemanfaatan seni yang sia-sia. “Ini merupakan suatu fenomena yang diterima secara turun temurun. Keterbatasan apresiasi musik pada masyarakatlah yang menyebabkan pemanfaatan musik yang sia-sia. Namun dibalik itu, hal yang perlu diperhatikan adalah masalah pendidikan musik yang sebagian besar kurang konsisten terutama dinegara-negara berkembang. Pemanfaatan musik untuk hal-hal yang bersifat keilmuan masih sangat kurang, sekalipun hal ini dapat bermanfaat bagi daya pengembangan cara berpikir otak. Musik masih dalam kungkungan pemanfaatan unsur estetisnya guna kebutuhan sesaat, yang akhirnya melahirkkan hegemoni hiburan,” Masa depan budaya musik harus menjadi bahan pikiran semua pihak. Terlebih kini memiliki hari istimewa. Setiap tanggal 9 Maret menjadi Hari Musik Nasional. Seutuhnya pemanfaatan musik berada pada tangan manusia dan zamannya. Mampukan Musik kedepan hidup guna kepentingan yang lebih manusiawi dan meramaikan kancah ilmu dan pengetahuan?. Wallahualam.(plc)