Mengingat Lupa: ‘Mandi Syafar’ Menghidupkan Tradisi Menjaga Alam Yang Lestari

Rabu, 15 Maret 2017

bualbual.com, Pemerhati budaya melayu di Daik Lingga, Lazuardi mengatakan mandi syafar lazimnya berlangsung disungai-sungai. Ia memiliki makna filosofi alam melayu yang tinggi. Sebagai sebuah kebudayaan juga tradisi dan nilai luhur yang mesti diambil bagi generasi penerus menjaga kelestarian alam. Empat elemen yakni air, api, angin dan udara kata Lazuardi juga dikenal dalam alam melayu. Air memiliki peran cukup besar. Tidak hanya sebagai kebutuhan sehari-hari, air bagi orang-orang muslim sebagai media mensucikan diri lewat wudhu. Tak jarang sebagai media pengobatan. Sedangkan tradisi Mandi Syafar yang selalu digelar pada Rabu Terakhir bulan ke dua Hijriah ini, dipercaya masyarakat sebagai tolak bala. Memohon agar dijauhkan dari segala mala petaka. Bagi umat Islam, bulan Syafar adalah bulan Naas. Banyak riwayat dan hadist yang mengisahkan agar selalu tawaqal dan berhati-hati pada bulan tersebut. Seperti pesan tetua dulu di Daik kepada anak cucunya. “Mandi syafar lazimnya dilaksanakan disungai. Seperti namanya syafar yang berarti jalan-jalan menjadi bumbu ritual ini. Intinya adalah tolak bala dan doa selamat agar terhindar dari bulan naas. Ada air untuk di mandi, ada juga yang diminum dari Sangku sebagai medianya. Para tetua percaya lebih dari 12.000 bala diturunkan pada Rabu terakhir bulan syafar ini. Untuk itu kita mencari keselamatan,” jelas pria yang akrab disapa Pukcu War ini. Sangku kata Pukcu adalah media mangkuk kecil berbahan logam.  Bertuliskan kalimah-kalimah tauhid. Ia menjadi media saat kegiatan mandi Syafar berlangsung. Ada pula Wafak. Fungsinya lebih kurang sama namun berbeda media. Ada yang menggunakan daun macang (sejenis daun mangga) ada juga yang bertuliskan disebuah papan kayu.

mandi syafar2

Wakil Bupati Lingga Muhammad Nizar ikut dalam kegiatan Mandi Syafar di Lubuk Papan. (foto: hasbi)

Meskipun perjalanan dan mandi disungai tidak merupakan anjuran dalam agama, hal ini adalah bumbu penyedap kebudayaan.  Setiap tahun, Mandi Syafar menjadi ajang berkumpul keluarga. Ada maksud menjaga kekerabatan didalamnya. Selain itu ditambahkan Pukcu ada nilai-nilai filosofis yang juga perlu diambil dan diketahui bagi kalangan luas untuk tetap menghidupkan tradisi turun temurun ini. Kesinambungan alam dan manusia salah satunya. Lewat kegiatan budaya ini terang Pukcu lingkungan sekitar harus menjadi perhatian bersama untuk terus dijaga. Tanpa sungai yang baik, aliran dan sumber air yang tidak terjaga tentu tradisi ini tidak akan bisa berlangsung terus menerus. Kesadaran ini harus menjadi pemikiran bersama orang-orang melayu di Daik. Agar tradisi bukan hanya menjadi pristiwa yang berulang-ulang. Tradisi ini menjadi cara orang melayu di Daik menjaga alam dan lingkungannya. “Air menyejukkan, mengalir dari atas kebawah. Seperti harapan kita agar kesalamatan dari Yang Kuasa turun kepada hambanya. Budaya ini jika dilihat lebih jauh banyak memiliki makna bagi kehidupan kita, menjaga kelestarian dan keseimbangan alam khususnya fungsi sungai terhadap orang-orang melayu,” tukas Pukcu.  (hasbi)   BB.C/PL.C