Mengingat Sejarah, "Belanda Rampas ‘Cogan’ Alat Kebesaran Johor"

Selasa, 14 Maret 2017

bualbual.com, Tahun 1784 sewaktu Riau dikuasai VOC Belanda, Raja Hamidah atau lebih dikenal Engku Puteri mengikuti Raja Ali berpindah ke Sukadana. Sempat beberapa lama disana hingga Riau kembali damai, Engku Puteri kembali dan kemudian menikah dengan sepupunya Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud III. Pulau Penyengat dijadikan Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Ada pula yang menyebut pulau tersebut sebagai Mahar atau mas kawin dari sang Sultan untuk Puteri. Dari pulau itu kemudian, lahir tokoh-tokoh terkenal kerajaan Lingga-Riau seperti Raja Ali Haji. Pulau Penyengat kemudian semakin maju. Bukan saja sebagai tempat kediaman Engku Puteri tetapi menjadi pusat pemerintahan Raja Muda yang memainkan peran penting dalam politik Kerajaan Lingga-Riau masa itu. Sebagai orang yang diwasiatkan memegang alat kebesaran Kerajaan Johor, Engku Puteri juga mempunyai hak menentukan siapa yang layak jadi pewaris tahta Kerajaan. Selepas Sultan Mahmud III mangkat Tahun 1812, Engku Puteri lebih memilih Tengku Husin atau Tengku Long anak pertama Sultan Mahmud sebagai pewaris tahata. Berbeda dengan adiknya Raja Jakfar yang mengikuti adat kerajaan sebelum Sultan Mahmud III mengehembuskan nafas terakhir di Daik. Pewaris tahta mestilah ada disamping Baginda. Saat itu, Tengku Long sedang berada diluar Lingga, sedang yang mendampingi Sultan saat sakaratul maut yakni adiknya Tengku Abdurrahman Syah. Namun begitu, alat kebesaran kerajaan sangat diperlukan oleh Sultan Abdurrahman Syah, untuk mendapat kuasa. Sedang Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda nampaknya tak mampu mengambil alih ‘Cogan’ dari tangan Engku Puteri. Sirih emas besar yang menjadi simbol kuasa dan kepemimpinan kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga ini pun diperbutkan. Dalam Adat Kerajaan Johor, belumlah sah dan sempurna seorang menjadi Sultan jika belum mendapatkan alat kebesaran Kerajaan tersebut.

pulau penyengat

Emas kawin Sultan Mahmud III kepada Engku Puteri berupa Pulau Penyengat. (foto: Net)

Belanda dan Inggris Ikut Perebutkan Cogan

Tidak hanya perebutan di dalam kerajaan Melayu, namun Inggris dan Belanda juga ikut mecari perhatian dan ingin mencari keuntungan dalam peristiwa ini. Pada 26 November 1818, Belanda kembali berhasil menguasai Johor tanpa perang. Walaupun dalam segi militer Belanda sangat kuat dan berhasil menguasai Johor, namun Belanda memerlukan juga alat kebesaran kerajaan sebagai upaya mendapatkan dukungan dari Sultan dan orang-orang Melayu-Bugis disana. Sementara Inggris di Singapura juga memerlukan alat kebesaran tersebut. Inggris ingin melantik Tengku Husin sebagai sultan agar bisa menguasi Singapura yang waktu itu masuk dalam wilayah Lingga-Riau. Kedua penjajah inipun memerlukan Engku Puteri sang permasuri Riau. Pemegang Cogan, legitimasi kekuasaan Melayu. Mayor William Farquhar dari pihak Kompeni Inggris coba memujuk Engku Puteri dengan mengirimkan Surat bertanggal 7 Juni 1819. William meminta Engku Puteri ke Singapura. Menurut Haji Buyong Adil ( 1971 : 175 ) 1822. …Mengikut riwayat orang2 Belanda oleh hasutan Inggeris pada masa Sultan Abdul Rahman (Lingga) di negeri Terengganu, telah beberapa kali Sultan Husain berikhtiar hendak mendapatkan perkakas2 alat kebesaran Kerajaan Johor-Riau yang ada dalam simpanan Raja Hamidah (Engku Puteri) di pulau Penyengat itu, bahkan pernah baginda menawarkan wang sabanyak 50.000 ringgit Sepanyol hendak mendapatkan alat2 kebesaran itu..” tulis Buyong Adil. Tahun 1819 terjadi perang antara Belanda dan Arung Belawa di Riau. Saat itu Raja Jakfar tengah berada di Lingga. Sedangkan Riau diwakilkan kepada Sayed Muhammad Zain Al Qudsi. Semasa perang berlangsung, Tengku Besar anak Sultan Husin telah datang ke Riau untuk menjemput Engku Puteri ke Singapura. Namun keberangkatan tersebut dilarang oleh pejabat Kerajaan di Riau. Dalam Tuhfat Al Nafis dikisahkan…. ” Syahdan kata sahibul hikayat maka pergaduhan negeri Riau itu sampailah khabarnya ke negeri Singapura. Maka datanglah Tengku Besar putera Tengku Husain dan Yahya itu maksudnya supaya Engku Puteri lari ke Singapura. Di dalam halnya itu Engku Said serta Raja Idris dan serta Raja-raja yang tua-tua serta orang besar-besar dan Datuk Syahbandar sekaliannya ada memberi ikhtiar serta mufakat. Maka tiadalah dapat Engku Puteri itu lepas ke Singapura akan tetapi sudahlah turun semuanya…..” Sedangkan dalam sumber lain yakni surat Wakil Kerajaan, Sayed Muhammad Zain Al Qudsi Kepada Gubernur Jenderal Belanda yang di tulis tanggal 17 sakban 1239 bersamaan dengan 17 April 1824 di Belitung dan selesai ditulis pada 12 Ramadhan 1239/ 11 Mei 1824 di laut pelabuhan Batavia juga menceritakan kisah ianya melarang Tengku Puteri ke Singapura dan menakuti-nakuti dengan pistol. Surat ini diperuntukkan kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia dengan berbagai kisah di dalamnya yang berhubungan dengan situasi Kerajaan Johor. Waktu itu Said Muhammad Zain diutus ke Batavia oleh Raja Jakfar menghadap Gubernur Jenderal untuk membicarakan urusan pemberantasan bajak laut. Dalam surat itu Sayed Muhammad Zain Al Qudis mengatakan “..kemudian kita beri satu surat dari Penyengat ke Tanjung Pinang kepada tuan Paskal Melaka Almazkur mengabarkan hendaklah tuan Paskal kasi satu surat pada ini malam juga kepada Tengku Puteri mengatakan sekali2 jangan takut kepada Gubernemen Nederland melainkan Tengku Puteri dalam peliharaan Gubernemen maka malam itu juga di kirim surat Tuan Paskal kepada Engku Puteri kita yang membawanya tatkala dilihat Tengku Puteri surat itu senanglah sedikit dianya punya hati malam itu maka kepada malam besoknya tiba2 datang kabar pada kita hal Tengku Puteri dengan segala perahu2 orang banyak sudahlah keluar hendak berlayar maka segeralah kita bawa satu orang tua Habib Syaikh bin Alwi Saqaf dan Raja Ahmad adik Yang Dipertuan Muda dan Raja Mahmud anak Tengku Panglima Besar dalam satu sampan maka kita dapati perahu Tengku Puteri sudah bertambat di tambak batu dipintunya akan berlayarlah pada malam itu dan kita dapati yang ada duduk dalam perahu Engku Puteri itu pertama2 Tengku Besar anak Tengku Lung yang jadi Yang Dipertuan Selat oleh Inggeris dan Raja Yahya dan Raja Undut dan Raja Yusah adalah kita membawa pistol dengan tidak berisi supaya menakuti Engku Puteri Engku Puteri takut kemudian kita bilang suruh turun anak Raja2 yang dari selat itu kemudian kita suruh rombak pada Raja Ahmad tali pendaratan buritan perahu Engku Puteri dan Raja Mahmud merombak aluannya lalu kita bawa masuk kedalam tambak batu ditambat dekat perahu Raja Idris kemudian pada esok paginya kita kabarkan kepada paskal dan Kornel dan Mayor dan Residen maka terlalulah amat sukanya maka kita musyawarat mintak lawatkan dekat lobam keci perang tuan Kornel Lukas sebab mengadang yang lari ke selat maka kabullah yang demikian itu kemudian malamnya kita suruih turunkan layar segala perahu2 yang hendak lari itu kecil besar serta diambil kemudinya semuanya habislah pulang kembali kedarat kerumahnya masing2 hanya Engku Puteri belum naik dan malamnya pula dibelakang kita usir pula suruh kembali ke Selat segala anak Raja2 itu semua habislah kembali ke selat senanglah hati kita dengan Gubernemen Nederland……..” Sementara Belanda yang sudah menguasai Johor mengadakan tindakan kekerasan untuk merampas alat kebesaran dari tangan Engku Puteri. Pada bulan oktober 1822 Dihadapan pembesar – pembesar Melayu Bugis Timmerman Thijssen Gubernur Melaka telah membawa pasukan merampas paksa alat kebesaran dan melepaskan tembakan pistol untuk menakut-nakuti engku Puteri. Isi surat Engku Puteri kepada Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Baron Van Der Capellen tanggal 21 Desember 1822 juga turut mengisahkan perkara ini. Terkait pengambilan Alat kebesaran, ada diceritakan tentang pengambilan secara kekerasan. Dalam surat itu dikatakan Engku Putri “Kitapun sukalah serta dengan perintahnya tuan besar yang maha bangsawan itu kepada kita karena kita suatu orang tua lagi perempuan yang dhaif tiada mempunyai daya dan upaya maka tatkala datang tuan Adriankuk kepada kita ia minta kerajaan maka kita sukalah dengan kita. Kemudian dari pada itu maka kita serahkanlah kepada tangan tuan Adriankuk maka sudah itu datanglah tuan Raja Melaka Timmerman Thijssen dengan Tuan Residen Van Ransu maka kita adalah terkejut daripada sebab ia membawa serdadu di dalam rumah maka adalah satu berbunyi pistol di dalam rumah kita. Maka kita pun terkejut. Maka diambilah oleh tuan Adriankuk serta Raja Melaka Timmerman Thijssen serta tuan Residen Van Ransu serta dihadapan tuan – tuan sekalian orang putih ia melihat serta dihadapan saudara kita yang Dipertuan Muda…..” Gubernur Belanda di Melaka, Timmerman Thijssen nampaknya orang yang lebih suka jalan kekerasan. Walaupun tindakan kekerasan itu tidak perlu dilakukan. Abdullah dalam Hikayat Abdullah mengatakan mengenai Timmermann Thijssen, “Syahadan, maka dengan takdir Allah Ta’ala diatas hamba-Nyaa, maka raja Holanda yang di Melaka yang bernama Timmermann Thijssen itu pun matilah. Maka segala hukum dan rampas  dan denda itu pun adalah reda[h] sedikit. Maka orang Melaka pun berhentilah mulutnya dari pada menyumpah dan bolehlah ia bernafas sedikit. Adalah kendur hukuman di Melaka itu, tetapi ia mati itu pun dengan membawa nama yang keji juga, iaitu beberapa orang kaya – kaya di Melaka yang binasa, sebab ia meminjam wangnya. Dan Lagi, banyak hutangnya pada segenap tempat, dan harta Kompeni pun banyak dibinasakannya, dan beberapa disumpahi orang. Setelah ia mati, maka dilelong hartanya dan rumah tangganya. Dalam sepuh bahagian hutangnya, tiadalah timbul sebahagian juga, maka yang lain itu hilanglah cuma-cuma.”. Pandangan Abdullah ini nampaknya sangat sesuai jika dikaitkan dengan tindakan Timmerman Thijssen terhadap Engku Puteri. Sementara Hasan Junus, Budayawan Riau dalam essai sejarahnya yang berjudul “Memperebutkan Sirih Besar” juga menuliskan kisah pengambilan paksa perkakas Alat Kebesaran Melayu tersebut dari tangan Engku Puteri. “Baiklah, seru perempuan yang ranggi dan piawai itu dari tingkap istananya. Kamu ambillah barang – barang ini. Lalu apa yang terjadi ? Dengan dipaksanya Engku Puteri menyerahkan Sirih Besar dan alat – alat kebesaran Kerajaan Riau-Johor. Maka menurut para pakar adat istiadat Melayu lenyaplah nilai kebesaran benda-benda itu. Sirih Besar yang terbuat dari emas itupun hanya tinggal nilai logamnya saja, tidak lagi mengemban semangat bangsa Melayu.” Setelah merampas alat kebesaran dari tangan Engku Puteri, Belanda kemudian menyerahkan Alat kebesaran Kerajaan kepada Sultan Abdurrahman Syah di Riau. Alat kebesaran itu terus dipakai Sultan dan penerusnya. Hingga saat Sutlan Abdurrahman Muazzam Syah terakhir, dan dihapusnya kesultanan Lingga oleh Belanda, Cogan dan berbagai alat kebesaran laninya ditinggalkan di pulau Penyengat. Sultan dari darah Bugis-Melayu tersebut meninggalkan Lingga-Riau untuk selama-lamanya dan bertolak ke Singapura. Nampaknya alat kebesaran itu berada di dalam kekuasaan Belanda. Diantaranya Cogan dan satu set alat musik Nobat yang monumental serta puluhan alat kebesaran lain yang juga pernah ditulis Sejarawan Kepri Aswandi Syahri beberapa waktu lalu. Sebagain alat kebesaran masih ada hingga kini. Dari informasi yang didapat, sejumlah alat kebesaran Johor-Pahang-Riau-Lingga dikembalikan oleh Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia (RI) pasca kemerdekaan. Cogan disimpan di Museum Nasional atau Museum Gajah di Jakarta dan sejumlah alat lainnya. Sedangkan alat musik Nobat tersimpan di Tanjungpinang. Untuk dapat melihatnya orang-orang melayu Kepri hari ini haruslah ke Jakarta. Melihat jejak sejarah, melihat jejak kebesaran kesultanan Melayu terakhir. Menyaksikan Daun Sirih Emas dari Bukit Siguntang tersebut. Jika melihat dari kisah diatas nampaknya Engku Puteri memang sengaja tidak dibenarkan ke Singapura oleh para penguasa di Riau. Jika Engku Puteri dibenarkan pergi ke Singapura, pastilah Sejarah berkata lain.   BB.C/PL.C