BUALBUAL.com - Tak ada letupan. Tak ada gegap gempita. Tidak ada baliho raksasa yang menggantungkan janji. Tidak ada pesta kekuasaan. Di Riau, sebuah provinsi yang lama digerogoti oleh kemewahan palsu dan kemiskinan yang nyata, seorang gubernur muda memulai langkahnya dengan cara yang pelan, tapi pasti.
Langkah-langkahnya kecil. Tapi ia tahu ke mana hendak menuju.
Abdul Wahid memulai 100 hari pertamanya bukan dari kelebihan, tapi dari kekurangan. Bukan dari kelimpahan, tapi dari luka. Warisan defisit anggaran sebesar 3,5 triliun dan tunda bayar 1,8 triliun bukan sekadar angka. Itu adalah catatan tentang cara kekuasaan lama mengabaikan yang seharusnya dirawat. Itu adalah jejak tentang pembangunan yang tak berpihak, tentang keputusan yang tak pernah menyentuh yang paling butuh.
Tapi justru dari situ, segalanya dimulai. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan menyalahkan, tapi dengan memetakan. Alih-alih hanya memetakan anggaran, Wahid menyusun denah nurani rakyat, mencari tahu di mana harapan masih menyala, dan di mana luka sudah terlalu lama dibiarkan. Di mana rakyat yang merasa jauh. Di mana pinggiran yang tak pernah terdengar. Di mana jalan rusak yang lebih tua dari usia anak-anak sekolah. Di mana yang rapuh telah dibiarkan hancur. Dan dari semua itu, ia memilih untuk menyulam kembali yang telah berserak.
Ia tidak duduk menunggu dana pusat. Ia tidak terjebak pada rapat-rapat rutin yang hanya menambah lembar tanpa makna. Ia kumpulkan semua bupati dan walikota. Ia bawa mereka ke Jakarta, satu per satu, menemui kementerian. Bukan sebagai formalitas, tapi sebagai cara baru menghidupkan rasa memiliki bersama. Bukan programnya yang penting, tapi cara menjalaninya. Karena dari cara, kita tahu: ini bukan sekadar rutinitas pemerintah, ini adalah pernyataan bahwa daerah bukan anak tiri republik.
Tapi tak hanya soal fiskal. Tak hanya soal jalan dan dana. Ada sesuatu yang lebih penting yang ia bangun: kepercayaan.
Seragam gratis untuk 110.000 anak sekolah bukan hanya pengadaan tekstil. Itu adalah bahasa kehadiran negara dalam bentuk paling nyata. Ketika anak-anak dari keluarga yang tak pernah mampu membeli pakaian baru, datang ke sekolah dengan seragam yang lecek, maka yang hadir bukan hanya sekadar kain, tapi rasa bahwa mereka bagian dari kita, bagian dari Riau. Pun BOSDA yang meningkat tajam bukan hanya data, tapi kabar baik bagi ribuan rumah yang dulu ragu menyekolahkan anak mereka.
Dan ketika rakyat sakit, ia tak ingin mereka juga miskin karenanya. Maka BPJS gratis diberikan, dengan skema pembagian yang tak memberatkan satu pihak. Di saat banyak pemerintah memilih berpura-pura tak mendengar keluhan di lorong-lorong rumah sakit, Wahid justru memilih duduk bersama, memikirkan ulang sistem, memperbaiki RSUD Arifin Ahmad, dan merancang rumah sakit baru yang tak hanya menyembuhkan tubuh, tapi juga martabat.
Seluruh kebijakannya terasa mengalir dari satu kesadaran yang sama: bahwa negara harus hadir, tapi dengan cara yang tidak kasar. Bahwa rakyat ingin ditolong, tapi tanpa direndahkan. Bahwa pembangunan bukan menara, tapi jembatan.
Ia memikirkan Kepulauan Meranti, tempat kemiskinan ekstrem menjelma wajah sehari-hari. Ia tak memberi janji, tapi memberi arah. Di Pulau Rangsang, ia membayangkan kawasan industri logistik, bukan untuk kemewahan, tapi untuk membuka jalan keluar dari kemiskinan. Ia membayangkan lintas pesisir yang bukan sekadar jalur beton, tapi lintasan harapan. Karena ia tahu, tak ada kemajuan yang berarti jika ia hanya tinggal di kota dan membiarkan pulau-pulau tetap sunyi.
Dan di balik semua ini, ada satu hal yang diam-diam menuntun: Melayu.
Bagi banyak orang, Melayu adalah nama etnik. Tapi bagi Wahid, Melayu adalah jalan. Jalan untuk memerintah. Jalan untuk bersikap. Jalan untuk merawat yang tua, menyambut yang muda, menyatukan yang berjarak. Ia tak menjadikan Melayu sebagai simbol kosong, tapi sebagai landasan. Itulah sebabnya pantun tak pernah absen dari ucapannya. Itulah sebabnya "marwah" dan "tuah" bukan hanya hiasan pidato, tapi nilai yang dijaga. Maka, ketika ia merancang Islamic Center, itu bukan proyek raksasa, melainkan rumah yang memeluk iman dan kebudayaan sekaligus.
Karena ia percaya: agama yang tercerabut dari budaya adalah kesunyian. Dan budaya yang tercerabut dari iman adalah hiasan.
Riau for Green pun bukan hanya sekadar program. Ia adalah sikap. Sikap untuk tidak lagi menjual hutan seperti menjual warisan nenek moyang kepada pembeli yang tak pernah menetap. Ia ingin mengembalikan yang hilang: sungai yang tenang, udara yang bersih, hutan yang hidup. Ia ingin Riau bukan hanya dikenang karena ladang-ladang sawit, tapi juga karena keberanian menghentikan pelan-pelan kehancuran yang diwariskan.
Dan semua ini, ia lakukan tanpa banyak suara. Tanpa pesta. Tanpa gebrakan yang dibuat-buat.
Langkah-langkah Wahid selama 100 hari ini mungkin tak akan mendapat perhatian publik nasional. Tapi ia akan masuk ke dalam ingatan rakyatnya. Masuk ke dalam rasa orang tua yang tak lagi harus meminjam untuk beli seragam anaknya. Masuk ke dalam tubuh anak yang disembuhkan tanpa dipungut biaya. Masuk ke dalam jalan-jalan kecil yang mulai diaspal setelah bertahun-tahun dibiarkan berdebu.
Karena kekuasaan yang paling indah adalah yang tak terasa sedang berkuasa. Karena pemimpin yang paling tulus adalah yang hadir tanpa membuat rakyat merasa kecil. Karena pemerintahan yang baik adalah yang membuat orang-orang tak harus berteriak untuk didengar.
Dan karena Riau, rumah rumpun Melayu itu, memang sedang mencari seseorang yang tak hanya sekadar membangun, tapi juga bisa merawat. Tak hanya sekadar bisa mengatur, tapi juga bisa mendengarkan. Tak hanya bisa memerintah, tapi juga bisa memeluk.
Dan, seratus hari telah berlalu. Yang tumbuh bukanlah sekadar program. Yang tumbuh adalah kepercayaan. Dan dari situ, segalanya telah dimulai.
Esai ini ditulis berdasarkan tayangan Zona Inspirasi Kompas TV, Sabtu, 28 Juni 2025 yang menghadirkan Gubernur Riau, Abdul Wahid sebagai narasumber.
Oleh: Iben Nuriska