Mereka Tak Ingin Anak-Anak Raijua Hidup dalam Kebodohan "Perjalanan Ke Pulau Karang"

Ahad, 19 Januari 2020

Di pulau karang Raijua, Roni Pau Djema, Jefrison Haryanto Fernando, Yulius Boni Geti dan anak-anak muda lainnya mendirikan taman bacaan masyarakat. Mereka tak ingin anak-anak di pulau terpencil itu hidup dalam kebodohan. Oleh Hary B Koriun TAK sempat istirahat lama, Yulius datang ke penginapan, mengajak jalan. Hari sudah menjelang sore, sekitar pukul 14.30 Wita. Perjalanan memang harus dilakukan hari ini karena besok pagi sudah harus berangkat kembali ke Sabu. Saya membonceng di motor Nando yang bertukar motor dengan Yulius. Motor Yulius masih terlihat baru. Baru berumur sekitar 6 bulan. Makanya dianggap layak untuk kami berdua menembus “medan perang” –istilah Nando. Mereka mengajak  saya ke Sumur Maja. Jaraknya sekitar 10 menit dari penginapan. Orang menganggapnya sebagai sumur keramat, karena sekering apa pun musim kemarau, sumur ini tetap berair. Ini berbeda dengan sumur-sumur lainnya milik warga. Sebelum sampai, saya membayangkan sumur ini –yang sempat diceritakan juga oleh Dr Sastri Sunarti--  terawat dengan baik karena menjadi salah satu daya tarik wisata yang “dijual” di luar Raijua. Tetapi, semua jauh dari espektasi saya. Setelah memarkirkan kendaraan, tak terlihat ada tanda-tanda kalau daerah ini adalah tempat yang dibangun untuk tujuan wisata. Kecuali plang nama bertuliskan “Sumur Maja”,  tak terlihat tanda-tanda lainnya. “Beginilah kondisinya. Padahal dulu Dinas Pariwisata mengeluarkan uang banyak untuk melakukan revitalisasi lokasi ini,” sungut Nando, lelaki yang pernah ditempatkan di sebagai pegawai di Dinas Pariwisata Sabu Raijua itu. Menuju lokasi sumur yang jaraknya hanya sekitar 50 meter, terlihat ternak babi, sapi, atau kambing berkeliaran di sana. Padahal ada beberapa bangunan dangau dengan atap daun lontar yang dibuat di sekitar sumur. Tujuan dibangun dangau itu jelas, untuk tempat berteduh para wisatawan ketika datang ke sini. Namun kini kondisinya sangat buruk. Selain banyak kotoran ternak di sana-sini, bangunan itu juga sudah tak terurus. Sebagaian atapnya sudah terburai. Saya mendekat ke dekat sumur. Kondisinya juga begitu. Tumbuhan perdu tumbuh di sekitar sumur. Sekali lagi, terlihat tak terawat. Di dalam sumur, terlihat masih ada air.  Meski tidak banyak. “Dulu, bahkan di puncak musim kemarau, sekitar Agustus hingga Oktober, sumur ini tetap berair. Tapi sekarang, baru bulan Mei, airnya tinggal sedikit. Saya tidak tahu apa penyebabnya,” ujar Yulius. Seperti halnya Nando, Yulius juga menggerutu karena pemerintah hanya bisa membangun dengan biaya tinggi untuk bangunan yang tak seberapa ini. Namun tak dianggarkan bagaimana merawatnya agar tetap tujuan wisata yang layak. “Abang bayangkan sendiri, berapa dana yang dikeluarkan untuk membangun dangau ini, juga pagar ini. Tapi kemudian dibiarkan tanpa perawatan,” kata Yulius. Sayang memang. Saya mendengar tentang Sumur Maja ini dari Dr Sastri Sunarti ketika kami masih di Jakarta. Dan tak terbayangkan kalau kondisinya seperti ini. Padahal, konon, mitos dan cerita yang berkembang, sumur ini punya hubungan dengan tokoh bernama Maja, yang kelak ketika dia merantau ke Jawa, menjadi panglima perang hebat dalam sejarah Majapahit, yakni Patih Gajah Mada. Masyarakat Sabu Raijua percaya bahwa Gajah Mada lahir di tanah ini dengan nama Maja. Ketika dia merantau hingga ke tanah Jawa, dia mengubah namanya menjadi Maja. Konon juga, nama Majapahit itu juga nama pilihannya, yang sebagian berasal dari nama aslinya. “Cerita itu, kita antara percaya atau tidak saja. Keyakinan masyarakat di sini memang begitu. Termasuk salah satu peninggalannya adalah Jubah Maja, letaknya di atas bukit,” kata Nando. Tentang Jubah Maja itu, cerita Nando, sangat berhubungan dengan mistis. Jubah itu hanya dikeluarkan dan diperlihatkan ke kalayak ramai dalam setahun sekali saat upacara adat. Untuk membawanya dari tempat dia disimpan, harus ada upacara penyembelihan hewan, yakni babi. Kasarnya, darah babi itu menjadi persembahan tahunan. Ketika saya mengatakan ingin melihat jubah itu, Nando bilang tidak bisa. Panjang prosesnya. Harus ada upacara-upacara panjang, termasuk menyembelih babi itu. Itu pun kalau diperbolehkan oleh tetua adat. Dulu, kata Nando, menurut cerita masyarakat, untuk bisa melihat Jubah Maja itu, harus dipersembahkan darah seorang gadis. Ada kekuatan mistis yang membuat jubah itu bisa memilih sendiri gadis mana yang dipesembahkan. Itu terjadi ratusan tahun dulu yang tingkat kebenarannya juga harus diteliti kembali. Belakangan, darah gadis itu pada prosesnya bisa “ditawar” oleh para pemangku adat untuk diganti dengan darah hewan. Yakni darah babi tersebut. Begitulah cerita dari mulut ke mulut yang memanjang sejak dulu hingga kini. Jubah Maja ini kini disimpan di Desa Ballu. Selain Jubah Maja, juga ada Baju Maja. Baju Maja ini adalah baju yang tingkat kekeramatannya tak setinggi Jubah Maja. Baju Maja dipakai oleh Deo Rai Nadega setiap kali ritual Daba Ae dan Dai Wei. Dipakai dua hari saja dalam setahun. Deo Rai  Nadega yang terletak di Desa Bolua, saat ini dipegang oleh Nyale Dea dari Udu Nadega. Di Pulau/Kecamatan Raijua memiliki dua orang Deo Rai, yakni Deo Rai Nadega dan Deo Rai Nadaibu. Deo Rai Nadega dengan pusat pemerintahan adatnya bernama Kampung Adat dan Megalitik Nadega, dengan rumah jabatan bernama Heo Bona, di Bolua. Sedangkan Deo Rai Nadaibu punya pusat pemerintahan dengan nama Kampung Adat dan Megalitik Nadaibu, dengan nama rumah jabatan Heo Katti. Saat ini yang menjadi Kepala Adat Nadaibu atau Deo Rai Nadaibu adalah Pau Dea dari Udu Nadaibu. “Di Sabu dan Raijua, segala sesuatu yang dilakukan manusia sudah ada aturan adatnya. Dengan mengikuti tatanan adat, kehidupan masyarakat  di sini hingga kini tetap terjaga dengan baik,” kata Nando saat kami berjalan keluar dari Kompleks Sumur Maja. Meninggalkan Kompleks Sumur Maja, kami bertiga kemudian menuju ke arah barat, ke arah wilayah perbukitan. Mulanya kami melewati jalan aspal, tetapi tak sampai 1 km, kembali ke jalan bebatuan. Di kanan-kiri terlihat tanah berbatu karang yang di sela-selanya ada tanaman sorgum yang mulai menguning. Hanya sorgum yang bisa tumbuh di tanah tandus seperti ini karena tanaman ini terbiasa hidup di Afrika dengan kebutuhan air yang minimalis. Semakin ke atas, pemandangan terlihat semakin indah. Kita bisa melihat laut yang biru, juga padang savana yang tandus dengan berbagai jenis ternak di sana yang berusaha memakan rumput yang mulai mengering. Keindahan yang terlihat oleh mata kadang tak memperlihatkan aslinya. Kamuflase. Ada beban yang tak terlihat. Ada penderitaan yang tak terlihat. Semua tertutup oleh pemandangan indah yang menyelimuti. Itu mungkin. Mungkin saja tidak. Motor yang dikendarai Nando mulai masuk ke jalan cor semen dua beriring. Maksudnya, di jalan tersebut ada dua cor semen untuk dua ban mobil. Tentu motor harus memilih salah satu. Kami sudah memasuki Desa Ledeke. Dari tepi Pelabuhan Raijua tadi, jaraknya sekitar 3-4 km. Semakin ke bawah jalanan semakin sulit, tetapi Nando –juga Yulius yang sudah berada di depan--  berusaha mengendarainya dengan baik meski sering oleng ke kanan-kiri. Saya yang duduk di belakang harus ekstra kuat berpegangan. Sampai kemudian tibalah kami di jalan tanah setapak berbatu yang semestinya tak bisa dilewati oleh motor. “Apakah saya perlu turun?” tanya saya ke Nando. “Tak perlu, Bang. Aman,” jawabnya. Kata “aman” itu tak serta-merta membuat saya merasa aman dan nyaman di sadel belakang. Sebab, beberapa kali saya nyaris jatuh dan harus berpegang pada pinggang Nando yang sedikit subur. “Ini ekstrim,” kata saya kemudian. “Raijua memang ekstrim, Bang,” jawabnya lagi sambil tertawa. “Ini belum seberapa dibanding bagaimana penduduk di sini berjuang mempertahankan hidup mereka,” ujar Nando lagi. Untungnya jalan setapak berbatu itu tak lebih panjang lagi. Kami kemudian berbelok ke kiri, sampai pada halaman sebuah rumah semen bagus bercat oren. Di sebelahnya masih ada beberapa ammu ae nga ru koko (rumah adat asli Sabu Raijua). Di sebelah barat pekarangan itu, ternyata sebuah jurang yang di dalamnya tumbuh banyak pohon. Dari kejauhan, Samudera Indonesia terlihat membiru. Inilah markas Taman Bacaan GPS (Generasi Peduli Sesama) “milik” Nando. Salah satu tempat yang menjadi tujuan saya ke Raijua. Sebuah bukti perjuangan Nando dan masyarakat Ledeke untuk ikut mengeluarkan anak-anak dan masyarakat dari buta aksara dan pengetahuan. *** “SAYA sudah bertekat, anak-anak di Ledeke, juga Raijua secara umum,  harus pandai membaca dan menulis, punya pengetahuan luas, dan kelak harus sekolah tinggi. Agar tidak bodoh seperti saya...” Namanya Roni Pau Djema. Ketika saya datang bersama Nando dan Yulius, dia sudah berdiri  di teras rumahnya yang asri itu. Setelah bersalaman dan saya memperkenalkan diri, dia bercerita ihwal dirinya bersedia rumahnya menjadi “markas” GPS. Sebelumnya Nando bercerita bahwa dia tak perlu merayu Roni. Nando mengenal Roni, mereka bercerita tentang dunia pendidikan di Raijua, lalu Nando mengutarakan keinginannya untuk mendirikan semacam taman bacaan dan taman bermain bagi anak-anak di Raijua, terutama di Desa Ledeke. “Bang Roni langsung setuju dan bersedia rumahnya jadi bace camp,” ujar Nando sebelumnya. Roni lahir di Ledeke, 25 Mei 1977. Asli Raijua. Saat saya bertanya tentang jenjang pendidikan yang dilaluinya, dia tersentak, meski terlihat hanya sekilas. Lalu, katanya, “Saya tak tamat SD...” Saya berusaha menurunkan intonasi bicara. Dia kelihatan sedih. Namun kemudian dia bercerita panjang. Baginya, menjadi sebuah kehormatan ketika rumahnya bisa menjadi tempat bagi cita-cita mulia untuk kemajuan pendidikan di Raijua. Dia menyediakan teras rumahnya yang luas ini untuk kegiatan apa pun yang dilakukan oleh Nando dkk. Sambil sesekali menggunakan bahasa Sabu yang terpaksa saya minta Nando menerjemahkan, Roni menyesal karena dulu tak mau melanjutkan sekolah sehingga dia tak sepintar teman-teman seangkatannya. Dia lebih suka bermain ke sana-sini. Namun, dalam hidupnya, dia tak kenal istilah patah arang. Suami dari Novi ini seorang pekerja keras dan ulet. Saat ini dia punya usaha jual-beli rumput laut masyarakat Raijua. Omsetnya sudah lumayan. Namun, di tengah kondisi ekonominya yang membaik ini, Roni merasa ada yang kurang dalam dirinya. Dia tetap merasa menyesal mengapa dulu tidak sekolah tinggi. Maka, ketika setahun lalu, 2018, Nando datang dan meminta izin agar rumahnya boleh dijadikan tempat untuk Komunitas Baca GPS, Roni tak banyak berpikir. Dia langsung mengiyakan. Maka, dirancanglah sebuah jadwal pertemuan untuk anak-anak tersebut di setiap hari Rabu. Nando kemudian menghubungi beberapa temannya di Kupang, Jakarta, Bali, dan sebagainya agar mau membantu mengirimkan buku-buku untuk mereka. Kemudian datanglah buku-buku tersebut. Banyak buku bacaan anak-anak, juga buku-buku lainnya seperti novel, buku puisi, pengetahuan umum, dan sebagainya. “Saya senang melihat anak-anak membaca dan belajar di sini,” kata Roni. Berjalan beberapa bulan, jumlah anak-anak yang datang dan berkumpul semakin banyak. Mereka ada yang sudah bisa membaca dan ada yang belum. Yang sudah bisa membaca, mereka membaca buku-buku teks. Sedang yang belum, mereka melihat-lihat gambar dalam buku yang ada. Mereka tidak hanya anak-anak  Desa Ledeke, tetapi juga dari beberapa desa lainnya, termasuk desa tetangga, Bolua. Melihat kondisi itu, lalu muncul inisiatif mereka agar anak-anak ini diberi pelajaran tambahan. Bagi yang belum mebisa membaca diajadi membaca, yang sudah bisa membaca diajari bahasa Inggris dan beberapa pelajaran lain seperti matematika dan yang lainnya. Selain itu mereka juga diajak mendengar cerita-cerita lisan, menyanyi, dan sebagainya. “Dulu ada Mas Eko Nugroho yang mengajar bahasa Inggris. Setelah dia pergi, kami sangat kehilangan,” kenang Roni. Eko Nugroho adalah seorang relawan dari Program Indonesia Mengajar yang ditempatkan di Raijua selama setahun. Kata Roni, Eko dengan tulus mengajari anak-anak ini apa saja, terutama bahasa Inggris yang menjadi keahlian pemuda asal Boyolali, Jawa Tengah, itu. Kelas bahasa Inggris menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak. Sejak kelas itu ada, jumlah anak-anak yang datang di setiap Rabu kadang mencapai 40 anak. “Mas Eko sangat tekun dan sayang kepada anak-anak itu. Dia datang ke sini setelah mengajar di SDN Ledeke. Kadang dia sering pulang jalan kaki ke Ledeunu, tempat kosnya. Jaraknya 3 km lebih. Setelah dia pergi karena programnya sudah selesai, kami semua merasa kehilangan,” ujar Roni lagi. Kata Nando, memang tak mudah mencari relawan seperti Eko Nugroho. Selain punya metode yang baik dan menarik dalam mengajar anak-anak, dia juga tulus, sabar, dan penuh kasih sayang. Dia dekat dengan anak-anak dan mereka dengan mudah bisa memahami apa yang diajarkan. Eko juga yang mengajar beberapa anak  yang mestinya sudah bisa membaca, tetapi belum bisa, padahal sudah ada yang kelas 5 SD. Setelah sekian lama mencari relawan, Nando dan Roni akhirnya menemukan guru bahasa Inggris baru. Dia seorang guru di sebuah SMP di Raijua yang rencananya, seperti juga Eko, akan datang seminggu sekali membantu belajar bahasa Inggris anak-anak di GPS. Guru itu asli Raijua, sehingga bisa untuk program jangka panjang. Selain itu, Nando dan Roni juga berusaha mendekati perkumpulan pemuda-pemudi gereja di Ledeke untuk membantu mengajar dan mengisi materi di GPS. Hal itu sudah terlaksana dan anak-anak kembali antusias belajar. “Nanti kalau Nando pindah ke Sabu lagi, pemuda-pemudi gereja itulah yang akan mengelola GPS agar anak-anak di sini tetap punya ruang belajar di luar sekolah,” kata Roni. Sebagai pamong praja, abdi negara, atau ASN, Nando memang mungkin tak selamanya tinggal di Raijua. Dan GPS ini harus tetap ada di Raijua. Maka, selain Roni yang memang lebih sibuk berbisnis, harus ada orang-orang muda yang masih memiliki semangat untuk meneruskan apa yang dibuat Nando dan Roni ini. Roni juga berharap banyak lembaga yang bersedia mengirimkan buku-buku bacaan. Juga buku-buku dan alat-alat tulis untuk anak-anak di Ledeke ini. Maklumlah, buku-buku dan peralatan tersebut terbilang susah didapat di Raijua. Matahari semakin condong ke barat dan perjalanan harus dilanjutkan. Saya kembali berada di sadel belakang, di boncengan motor yang dikendarai Nando. Perjalanan menuju ke jantung Raijua...(bersambung) /