Mirip Puisi "Kasihan Bangsa" Karya Kahlil Gibran, Mengambarkan Keadaan Indonesia Saat Ini

Sabtu, 16 Februari 2019

BUALBUAL.com, Keadaan Indonesia saat ini mirip dengan apa yang dituturkan penyair Kahlil Gibran dalam puisinya berjudul "Bangsa Kasihan". Begitu disampaikan mantan komisioner KPK yang saat ini aktif sebagai anggota di Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), Taufiequrachman Ruki, dalam sambutannya di acara bedah buku berjudul "Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 45" di Djakarta Theatre Ball Room, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (15/2/2019). Bedah buku menghadirkan pembicara analis ekonomi politik Salamuddin Daeng, aktivis M. Hatta Taliwang, Haris Rusli Moti, dan Edwin Sukowati. Ruki mengatakan keadaan Indonesia sekarang ini sudah tidak sesuai dengan dasar negara yang dibuat oleh para founding fathers. Awalnya Ruki mengaku tidak mengerti dengan puisi Kahlil Gibran tersebut. Ia bertanya kepada audience mengapa puisi yang ditulis penyair kelahiran Lebanon, 6 Januari 1883 itu sangat mirip dengan keadaan Indonesia saat ini. "Yang saya tidak tahu dia terinspirasi dari mana. Kok puisinya mirip dengan keadaan bangsa kita sekarang," ujar Ruki. Setalah itu Ruki pun membacakan puisi tersebut. Berikut puisi "Kasihan Bangsa" yang dibacakan Ruki: Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen, dan meminum susu yang ia tidak memerasnya. Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah. Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun. Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan. Kasihan bangsa yang negarawannya serigal, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru. Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan, Namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk manyambut penguasa baru lain, dengan terompet lagi. Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu, dan orang kuatnya masih dalam gendongan Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan, Menganggap dirinya sebagai bangsa. Editor : Ucu Sumber : RMOL.co