Mitos atau Fakta "Indonesia Kaya Migas"

Senin, 10 Oktober 2016

Bualbual.com - Gemah ripah, loh jinawi, dan berkelimpahan sumber daya alam, merupakan atribusi yang kerap melekat setiap kali menyebut kata “Indonesia”. Atribusi tersebut tak mengecualikan minyak dan gas bumi (migas). Namun, pada akhirnya fakta juga yang bicara. Tidak dalam segala hal anugerah melimpah di negeri ini. Salah satunya soal migas itu. “Indonesia sudah jadi net importer minyak sejak 2004. Dengan kondisi sekarang, Indonesia juga akan menjadi net importer gas pada 2024,” kata Kepala Bagian Program dan Pelaporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Taslim Z Yunus, Sabtu (4/6/2016). Tanpa ada upaya untuk menemukan sumber baru cadangan migas—dalam bahasa teknis disebut eksplorasi—, dua sumber energi utama tersebut  akan habis. Tinggal menunggu waktu. Terlebih lagi, sejak awal cadangan terbukti migas Indonesia juga tak sebanyak yang dibayangkan kebanyakan orang. Volume cadangan terbukti minyak Indonesia hanya di kisaran 0,2 persen cadangan global, sementara gas di 1,5 persen. Lalu, untuk mendapatkan sumber cadangan baru migas, tantangan terbesar adalah teknologi dan biaya. Lagi pula, tren eksplorasi pun makin mengarah ke kawasan timur Indonesia dan berlokasi di laut dalam.

Dok SKK MigasProyeksi minyak dan gas bumi Indonesia
Bicara soal biaya, investasi masih menjadi harapan. Namun, mendatangkan investasi juga butuh upaya serta dukungan banyak pihak, termasuk masyarakat. "Dana investasi untuk migas sangat sedikit, dan Indonesia harus bersaing untuk mendapatkan alokasi dana investasi tersebut jika ingin meningkatkan produksi migas,” ujar Lead Advisor for Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia, Sacha Winzenried, seperti dikutip Kompas.compada Kamis (26/5/2016). Semua data, fakta, dan tantangan terkait migas Indonesia tersebut dapat disimak dalam Visual Interaktif Premium (VIP) “Membongkar Mitos Indonesia Kaya Migas” di http://vip.kompas.com/migas/ pada kanalVisual Interaktif Kompas (VIK) Kompas.com. Survei yang digelar PwC Indonesia terkait industri migas mendapati setidaknya ada lima tantangan terkait investasi ke sektor ini. Pertama, keabsahan kontrak dan kepastian seputar perpanjangan kontrak bagi hasil. Kedua, kurangnya kebijakan dan visi yang konsisten antar lembaga pemerintah. Ketiga, penerbitan peraturan mengenai perpajakan atau penggantian biaya (cost recovery) yang berdampak pada ketentuan kontrak bagi hasil. Keempat, ketidakpastian seputar cost recovery dan audit pemerintah. Terakhir, ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyelesaikan sengketa secara obyektif di berbagai departemen dan lembaga. Menurut Winzenried, para responden survei meyakini bahwa fokus pada aspek-aspek ini akan meningkatkan daya tarik iklim investasi Indonesia untuk migas secara signifikan, konsisten dengan peluang geologis Indonesia yang kuat. Peserta survei, lanjut Winzenried, juga optimistis terhadap potensi peningkatan daya saing Indonesia, sejalan dengan investasi besar di sektor infrastruktur yang dipicu oleh kebijakan pemerintah saat ini. Namun, investasi sektor migas juga sempat dihebohkan oleh peredaran peta Indonesia dengan banyak bendera negara lain di atasnya.
TwitterPeta Indonesia dengan tebaran bendera asing di lokasi-lokasi anjungan dan atau kilang minyak dan gas bumi (migas) seperti ini yang sempat beredar luas di media sosial.
Kehadiran Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) dalam skema investasi sektor migas di Indonesia diartikan sebagai penguasaan penuh atas lapangan migas yang digarapnya. Seperti apa sebenarnya skema investasi sektor migas di Indonesia dapat pula disimak dalam  VIP “Membongkar Mitos Indonesia Kaya Migas”. Di dalam VIP ini juga tampil dua motion graphic yang mengupas alasan eksplorasi butuh investasi dan detail skema investasi migas di Indonesia. Jadi, atribusi Indonesia kaya migas itu mitos atau fakta?