Mungkinkah Prabowo Subianto Menang Di Tahun 2019?

Senin, 14 Januari 2019

BUALBUAL.com, Capres-cawapres Pemilu Presiden 2019, Sebuah pertanyaan yang kian sering diajukan sejalan dengan makin dekatnya pelaksanaan pemilu, terutama oleh kalangan pengusaha dan masyarakat biasa, adalah apakah Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan menang dalam Pemilu 2019 ini?
Pertanyaan ini muncul sebagai percikan yang mencuat atas beberapa gejala, terutama berkaitan dengan posisi politik lawannya. Pertama, setelah melihat tanda-tanda stagnasi bahkan sedikit penurunan elektabilitas pasangan Joko Widodo-Maruf Amin. Pada November 2018 misalnya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menemukan potensi perolehan suara untuk Jokowi-Mar’ruf 53,2 persen berbanding 31,2 persen milik Prabowo. Selisihnya 22 persen, namun suara Jokowi-Ma’ruf mengalami penurunan 4,5 persen dari bulan sebelumnya yang mencapai 57,7 persen. Sementara, suara Prabowo-Sandi mengalami kenaikan 2,6 persen. Jika ditarik pada skala waktu yang lebih panjang, hingga sebelum penetapan pasangan calon, memang terlihat garis penurunan elektabilitas pada Jokowi dan kenaikan pada Prabowo. Survei Litbang Kompas misalnya, sebelum penetapan Jokowi mendapatkan 59,2 persen namun setelah penetapan mendapat 52,6 persen (Oktober 2018). Sebaliknya, Prabowo sebelum penetapan 27,5 persen tetapi kemudian naik menjadi 32,7 persen setelah penetapan. Indikasi-indikasi seperti ini, ketika dikelola dengan baik oleh tim pemenangan Prabowo-Sandi, dapat menjadi sebuah produksi makna yang bernilai positif bagi pasangan tersebut dan bernilai negatif bagi Jokowi-Ma’ruf. Terlebih, survei-survei online yang gencar dilakukan menunjukkan pengaruh yang kuat dari pendukung Prabowo-Sandi di media sosial. Perang wacana di dunia maya yang dikuasai oleh simpatisan pasangan ini dapat berpengaruh pada segmen-segmen tertentu yang tidak bisa membedakan antara survei lapangan yang lebih terkontrol metodenya dengan survei online yang tidak terkendali sebaran sampelnya.
Perang wacana di dunia maya dapat berpengaruh pada segmen-segmen tertentu
Kedua, pengaruh KH Maruf Amin yang dinilai tidak menambah suara untuk Jokowi. Sejak ditetapkan hingga sekarang, suara untuk Jokowi belum ada tanda-tanda peningkatan, malah sebaliknya cenderung stagnan bahkan ada indikasi penurunan pada beberapa survei. Secara elektoral, kehadiran Ma’ruf yang diharapkan mampu mendongkrak suara di wilayah bagian barat Pulau Jawa, terutama Banten, juga belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Sebaliknya, pada pihak lawan, Sandiaga Uno sebagai calon wakilnya Prabowo terlihat lebih aktif dan atraktif melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai segmen sosial dan daerah. Ketiga, model kampanye Jokowi-Ma’ruf sejauh ini dinilai lebih defensif dan responsif daripada ofensif dan membuat gebrakan-gebrakan baru. Mereka lebih sibuk menangkis serangan-serangan atas hoaks yang dilancarkan oleh simpatisan atau pendukung pihak lawan daripada  memunculkan gerakan yang signifikan menarik dukungan pemilih ragu dan yang masih abstain. Aspek kebaruan menjadi persoalan utama yang sekarang dihadapi Jokowi sebagai petahana, mampukah tim mereka memunculkan identitas baru yang menambah kekuatan fondasi dukungan yang sudah ada? Bagaimanapun, politik adalah seni pertunjukkan. Orang tidak akan cukup terpuaskan dengan diperlihatkan pada hasil kerja kemarin dan peran yang dimainkan hari ini, tetapi juga pada sebuah mimpi yang lebih besar yang terangkum dalam sebuah visi baru. Keempat, status quo yang tiba-tiba muncul di kalangan pemain ekonomi, khususnya pengusaha. Kebijakan-kebijakan ekonomi Jokowi yang selama ini dilakukan dipandang menguntungkan masyarakat dan pemerintah, tetapi berdampak pada sempitnya ruang gerak kalangan swasta yang pada rezim-rezim sebelumnya telanjur termanjakan. Menguatnya peran perusahaan negara dalam-proyek-proyek pembangunan, misalnya, berimplikasi secara langsung kepada kian lemahnya kesempatan swasta memperebutkan kue ekonomi. Padahal, dalam kalkulasi politik, kalangan pengusaha swasta merupakan patron yang dapat berpengaruh besar pada preferensi pilihan anak buahnya.  Meskipun rata-rata dunia usaha lebih merasa aman dengan rezim pemerintahan yang stabil dan berlangsung lebih lama, namun dukungan setengah hati dari kalangan mereka turut melanggengkan stagnasi. Sejauh ini, panggung politik masih terasa sepi dari pernyataan-pernyataan pribadi atau kelompok pengusaha yang memberikan tanda-tanda pilihan politiknya. Dalam proses perebutan kekuasaan politik nasional kali ini, ambiguitas atau status quo lebih terlihat sebagai ciri yang melekat pada kalangan ini. Padahal, kalangan ini merupakan penggerak utama yang membalut kemenangan Jokowi dalam pemilu sebelumnya, dengan kekuatan modal yang dibawa. Namun, sekarang mereka lebih suka membicarakan politik di cafe, tetapi tidak melakukan apa-apa. Berharap Jokowi dua periode, tetapi juga khawatir usaha mereka tidak bisa berkembang. Mau memilih Prabowo, tetapi bayangan risiko menghadapi rezim baru lebih membuat mereka gelisah. Keempat, militansi untuk memenangkan calon presiden sejauh ini lebih terlihat pada pendukung Prabowo-Sandi daripada pada pendukung Jokowi-Ma’ruf. Hasil survei Litbang Kompas bulan Oktober lalu pun mengonfirmasi kecenderungan itu. Dalam hal menyebarluaskan informasi positif terhadap pasangan calon misalnya, dilakukan oleh 41 persen pendukung Prabowo-Sandi. Sementara hal yang sama dilakukan oleh 39,4 persen pemilih Jokowi-Ma’ruf. Kecenderungan membela manakala ada informasi yang merugikan pasangan capres-cawapres pilihan, diperlihatkan oleh 37,9 persen pemilih Prabowo-Sandi dan pembelaan yang sama hanya dilakukan oleh 34,8 persen pemilih Jokowi-Ma’ruf. Dalam upaya mempengaruhi orang lain dengan mengajak memilih pasangan yang ia pilih, 30,3 persen pendukung Prabowo-Sandi mengaku melakukannya dan hanya 25,6 persen dari pendukung Jokowi-Ma’ruf yang melakukannya. Meskipun sejumlah indikasi tersebut memperlihatkan titik lemah pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam memenangkan pemilu presiden pada 17 April 2019, tetapi apakah terdapat koherensi yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa Prabowo akan memenangkan pemilu presiden?
KOMPAS
Pasangan Peserta Pemilu Presiden 2014, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling berpamitan disaksikan ketua KPU Husin Kamil Manik, usai menyampaikan visi dan misinya saat Debat Capres-Cawapres yang pertama di Jakarta, Senin (9/6/2014) malam. Debat pertama tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan Yang Bersih dan Kepastian Hukum.
Dua Substansi Angka Untuk melihat peluang Prabowo menjadi presiden dalam pemilu kali ini, setidaknya kita harus memperhitungkan makna pada dua simbol angka elektabilitas. Pertama adalah perolehan Prabowo pada Pemilu 2014 lalu. Kedua, hasil survei menjelang Pilpres 2019. Saat bertarung dengan Jokowi pada saat itu, pasangan Prabowo-Hatta Rajasa memperoleh 46,85 persen suara, selisih sebesar 6,3 persen dari pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang mendapatkan 53,15 persen. Untuk menang saat itu, setidaknya Prabowo harus menambah suara sebesar 3,15 persen + 1 suara. Sayangnya, itu tidak terjadi. Pertanyaannya, apakah mustahil bagi Prabowo-Sandi untuk mempertahankan suara yang diperolehnya pada pemilu lalu dan menambah dukungan sebesar 3,15 persen + 1 suara pada pemilu nanti? Bukankah waktu lima tahun sudah lebih dari cukup untuk memperluas dukungan? Simplifikasi yang terkandung dalam pertanyaan itu tentu mudah dijawab apabila kita mengabaikan konteks perolehan suara Prabowo saat itu. Pencapaian Prabowo saat itu, bagaimana pun terhitung tinggi, terutama jika dibandingkan dengan elektabilitasnya saat ini yang berada di kisaran 30-35 persen. Pencapaian Prabowo yang cukup tinggi dalam pemilu lalu tak lepas dari konteks perubahan masa mengambang (swing votters). Bukan dari Jokowi ke Prabowo, tetapi arus yang sudah terjadi sebelum Pemilu 2014 berlangsung, yaitu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Prabowo Subianto. Fenomena menguatnya dukungan kepada Prabowo sudah mencuat sejak awal periode kedua Pemerintahan SBY. Masyarakat yang gerah dengan kenyinyiran dan sikap reaktif SBY terhadap segala isu terkait dirinya kemudian terbawa pada pelabelan SBY sebagai jenderal cengeng, dan dengan seketika membuat sosok Prabowo bersinar sebagai “matahari” lain. Masyarakat yang merindukan ketegasan sikap menemukan saluran dari kemampatan politik pada figur mantan Pangkostrad tersebut, yang dalam peralihan era pemerintahan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi tersingkir dari gelanggang kekuasaan. Setelah dihantam kasus Bank Century, pemerintahan SBY terus mengalami kemerosotan kepercayaan publik. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas mencatat penurunan drastis citra positif Presiden SBY di mata masyarakat, dari 75,4 persen saat tiga bulan pertama pemerintahan periode kedua menjadi hanya 37,3 persen pada dua tahun berjalan. Jenderal yang demikian perkasa memenangi Pemilu 2009 dengan perolehan suara 60,8 persen,  tiba-tiba menjadi sosok yang terlihat lemah dan tak jarang memperlihatkan sikap melankolisnya menghadapi sejumlah isu yang mengena pada pribadinya. SBY juga dinilai tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengendalikan negara ini dan menjaga harga diri bangsa, setelah sejumlah kejadian terkait provokasi negara tetangga dan penyadapan dari negara asing tak dihadapi dengan tindakan tegas.
KOMPAS
Presiden sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono membagikan bola kepada massa simpatisannya saat berkampanye dengan partainya di Lapangan Tegallega, Bandung, Jawa Barat, Minggu (30/3/2014). Selain menyampaikan pesan-pesan dalam pidato politiknya, SBY juga menyanyikan lagu berjudul “Rumah Kita”.
Kondisi ini menciptakan ruang kepemimpinan nasional yang makin terbuka pada pilihan figur lain. Pada Senin, 10 Januari 2011, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan posisi Prabowo berada di urutan pertama sebagai tokoh partai yang layak menjadi Presiden RI dalam Pemilu 2014 dibandingkan dengan tokoh-tokoh partai lain. Dengan angka 45,9 persen responden yang menilai layak, posisinya paling kuat sebagai calon yang berpeluang besar memenangi Pemilu 2014. Terlebih, sebelumnya Ia telah mendampingi Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2009. Potensi dukungan, saat itu sangat mungkin diberikan PDI-P kepada Prabowo. Namun, setahun kemudian, terjadi pergeseran imaji atas figur kepemimpinan nasional, setelah Jokowi memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Lewat sebuah survei nasional yang dilakukan Litbang Kompas pada Desember 2012, popularitas Jokowi untuk menjadi presiden melesat mengalahkan semua tokoh tenar yang ada. Dalam survei itu, Jokowi menduduki urutan paling atas, disebutkan oleh 17,7 persen responden. Prabowo berada di bawahnya, dengan 13,3 persen. Tokoh-tokoh lain cukup jauh dari elektabilitas kedua tokoh tersebut. Meskipun kemudian elektabilitas Jokowi terus melesat, namun branding Prabowo sebagai calon presiden sudah terlalu kuat untuk dapat dikalahkan dengan mudah. Terlebih, dengan berbagai hoaks yang begitu deras menerpa Jokowi menjelang pemilu, menjadikannya terlalu sulit merebut dukungan dari calon pemilih Prabowo. Survei Indo Barometer yang dilakukan setengah bulan sebelum pelaksanaan Pilpres 2014 menunjukkan perbedaan elektabilitas hanya sebesar 3,4 persen, dengan posisi Prabowo-Hatta 42,6 persen dan Jokowi-JK 46 persen. Saat itu, lembaga survei ini pun tidak dapat memastikan siapa yang bakal menang karena perbedaannya tidak terlalu signifikan dan perubahan sangat dinamis. Sisa suara 11,4 persen undecided voter(yang belum menentukan pilihannya saat survei) tampaknya terdistribusi mengikuti proporsi perolehan suara masing-masing pasangan ketika pelaksanaan pemilu tiba. Pertanyaannya, apakah proporsi undecided voter saat ini juga akan terbagi mengikuti proporsi elektabilitas masing-masing kandidat saat ini? Jika itu terjadi, maka sulit bagi Prabowo untuk memenangkan pilpres, kecuali terjadi perubahan yang sangat luar biasa dalam dinamika tiga bulan ke depan yang menguntungkan baginya. Dan, kalau kondisi stagnasi terus berlanjut, bukan tidak mungkin suara yang sudah stabil akan membagi undecided voters mengikuti proporsi elektabilitas saat ini. Dengan menganggap suara massa yang belum menentukan pilihan pada akhirnya melebur ke proporsi perolehan masing-masing, maka yang akan diperhitungkan sebagai dasar perhitungan selanjutnya hanya nilai elektabilitas yang terstandarisasi. Ini bisa dilakukan dengan menjumlahkan perolehan suara hasil survei saat ini, yaitu Jokowi-Ma’ruf 52,6 persen dan Prabowo-Sandi 32,7 persen, sehingga didapat angka total 85,3 persen. Selanjutnya dilakukan pembobotan dengan membagi perolehan masing-masing dengan angka 85,3 persen dan mengalikannya dengan 100 persen. Maka, didapat angka untuk Jokowi-Ma’ruf sebesar 61,66 persen dan Prabowo-Sandi 38,34 persen. Dengan margin of error sebesar 2,8 persen, maka potensi hasil akhir untuk Jokowi-Ma’ruf  adalah sebesar 58,86 – 64,46 persen dan untuk Prabowo-Sandi 35,54 – 41,14 persen. Strategi Model Pilkada Hasil perhitungan di atas dilakukan dengan menafikan gejala yang terekam dalam pilkada, yang sesungguhnya memiliki dimensi yang potensial mengubah peta pertarungan. Fenomena ini jelas muncul dalam pilkada terakhir, tahun 2018 lalu. Berupa gerakan senyap yang membalikkan prediksi. Di sejumlah daerah, pasangan yang diusung oleh Gerindra, PAN, dan PKS  menampakkan upaya yang sangat gigih untuk meraih dukungan di saat akhir. Di Jawa Barat, pasangan dari koalisi ini, Sudrajat dan Ahmad Syaikhu, yang oleh lembaga-lembaga survei diprediksi berada di papan bawah tiba-tiba muncul sebagai runner-up, yang bahkan mampu mengungguli pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang sudah popular. Di Jawa Tengah, pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah mampu melipatgandakan suaranya hingga tiga kali lipat dari prediksi hasil survei. Di Temanggung, pasangan yang diusung Gerindra dan PAN, Muhammad Al Khadziq dan Heri Ibnu Wibowo, mampu memenangkan pilkada mengalahkan petahana yang kuat, padahal pasangan tersebut paling rendah popularitasnya. Jika strategi model pilkada tersebut diterapkan, bukan tidak mungkin perolehan Prabowo-Sandi akan membalik prediksi. Tapi, seberapa kuat manajemen lapangan pasangan ini untuk menggarap suara akar rumput dalam tataran wilayah tingkat nasional? (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)
Sumber: Kompas.com