BUALBUAL.com - Kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026 yang mencapai 25 persen mengejutkan banyak pihak. Alih-alih memperkuat kapasitas fiskal daerah, kebijakan ini justru memangkas salah satu sumber pendapatan utama pemerintah daerah.
Di Kabupaten Indragiri Hilir, proyeksi APBD 2026 diperkirakan mengalami penurunan pendapatan cukup signifikan, yakni sekitar 21,5 hingga 21,7 persen. Data ini dihitung Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau berdasarkan besaran dana transfer ke daerah dalam APBD 2025. Kondisi tersebut berpotensi mengancam layanan publik, memperlebar ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah, serta membatasi kemampuan daerah dalam membiayai program pembangunan.
Menanggapi hal ini, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Indragiri, Dr. Ahmad Rifa’i, SE, M.Si, memberikan catatan dan rekomendasi untuk Bupati Indragiri Hilir, H. Herman, dalam diskusi bersama awak media
Menurut Dr. Rifa’i, penurunan pendapatan daerah sebesar 21,5–21,7 persen perlu ditelaah kembali. “Perlu dilihat aspek metodologisnya: apakah asumsi pemangkasan dana transfer realistis, bagaimana pengaruh harga migas dan komoditas terhadap Dana Bagi Hasil (DBH), serta faktor eksternal lain seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya membedakan apakah penurunan hanya dari transfer pusat (DAU, DAK, DBH) atau juga disertai pelemahan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Penurunan drastis transfer pusat, katanya, akan mempersempit ruang fiskal daerah untuk membiayai layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial. Daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer—seperti Indragiri Hilir yang memiliki PAD relatif rendah—akan sangat rentan. “Ada risiko terjadinya fiscal recentralization, ketika desentralisasi tidak diimbangi kewenangan fiskal yang memadai,” ungkapnya.
Pelemahan layanan publik diprediksi paling dirasakan kelompok rentan. Penurunan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, serta infrastruktur dasar (jalan, air bersih) bisa terjadi. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan menekan pertumbuhan ekonomi lokal, investasi, hingga keberlangsungan UMKM akibat berkurangnya daya beli masyarakat.
Rekomendasi Kebijakan
Sebagai solusi, Dr. Rifa’i menyampaikan beberapa rekomendasi:
1. Optimalisasi PAD – Diversifikasi ekonomi melalui pengembangan industri, pariwisata, ekonomi digital, dan agribisnis bernilai tambah untuk mengurangi ketergantungan pada transfer pusat.
2. Reformasi Belanja Daerah – Review dan reprioritisasi anggaran, menghentikan program tidak produktif, serta fokus pada layanan dasar.
3. Kolaborasi Antar Daerah – Membangun kerja sama lintas kabupaten/kota melalui joint procurement, proyek bersama, atau aliansi fiskal untuk efisiensi.
4. Advokasi ke Pusat – Pemerintah daerah bersama akademisi dan masyarakat perlu menyuarakan agar kebijakan pemangkasan dana transfer dilakukan secara adil dan mempertimbangkan kondisi antarwilayah.
5. Inovasi Pembiayaan Alternatif – Mengembangkan instrumen seperti obligasi daerah, kemitraan publik-swasta, hingga dana abadi daerah sesuai kerangka regulasi.
6. Transparansi dan Akuntabilitas – Menata keuangan dan pengadaan daerah secara terbuka agar masyarakat bisa memantau efektivitas belanja pemerintah.
“Proyeksi penurunan ini harus menjadi alarm bagi semua pihak,” tegas Dr. Rifa’i. Menurutnya, akademisi memiliki tanggung jawab untuk melakukan kajian empiris lebih lanjut, seperti pemodelan fiskal dan studi kasus antar daerah.
Ia menutup dengan harapan agar kebijakan pusat dan daerah dapat saling berpihak, sehingga fungsi desentralisasi berjalan efektif dan masyarakat tidak menjadi korban dari kebijakan fiskal yang kurang memperhatikan realitas daerah. (HKR)