Soal pilihan politik tak ubahnya seperti keyakinan dalam memilih sebuah agama, seolah sosok pemimpin politik menjadi penentu 'selamat' atau tidaknya semua orang. Sebab, prinsip 'keselamatan' (salvation) tentu saja ada dalam semua agama dan setiap pemeluknya meyakini bahwa agama yang saat ini diyakininya mampu menyelamatkan seluruh hidupnya hingga nanti dibangkitkan kembali di Hari Kiamat. Pidato Cawapres nomor urut 01, Ma’ruf Amin, di Trenggalek seolah mempertegas soal pilihan politik yang linier dengan keyakinan agama di mana setiap orang bebas menentukan keyakinan dan tak perlu memaksakan keyakinan dirinya kepada orang lain. Diksi “bagimu capresmu dan bagiku capresku” yang diungkapkan Ma’ruf memang mengadopsi dari bahasa Alquran, “lakum diinukum waliya diini” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Pilpres 2019 sarat narasi-narasi keagamaan dan bahkan kerap dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Pilihan politik seolah menjadi 'sakral' tak ubahnya kepercayaan terhadap agama, bahkan maraknya entitas bahasa agama yang masuk ke dalam ruang-ruang publik-politik seolah menjadi semacam perjuangan agama itu sendiri. Politik yang bernilai profan lalu diubah menjadi bergaya 'profetik' seolah mereka yang menyebarkan keunggulan setiap kandidatnya menjadi nabi-nabi politik bagi umatnya.