Pemuda Riau Dapat Gelar Sarjana Berkat Kangkung, Dan Buktikan Pendidikan Tidak Bisa Diukur Dari Banyaknya Harta Yang Ortu Meliki

Ahad, 21 Januari 2018

Bualbual.com, Di tengah kegelisahan pemerintah soal pertanian di Indonesia, pemuda Riau ini menapak semakin mantap. Bahkan rencana pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri hanya mereka tanggapi dengan senyuman. Beberapa pemuda sedang asyik bekerja menggarap lahan pertanian di daerah Kulim Pekanbaru. Di ntaranya Seno Putra dan Ade Putra yang begitu gigih mengupayakan hasil panen mereka agar berwujud lembaran-lembaran rupiah. Tekad pun telah mereka padukan untuk menantang masa depan dengan ilmu pertanian yang mereka miliki. Lahan-lahan semak terbiarpun kini sudah berbentuk lajur lajur siap tanam, bahkan siap panen. Kini, ada 10 ribu batang cabai rawit yang siap dipanen, 1,5 hektare jagung manis, 500 batang pepaya california, 1.500 batang terong ungu, budidaya jamur tiram. Tidak hanya pertanian konvensional, mereka juga sudah merambah dunia hidroponik. Ada green house dengan potensi 1.500 lubang tanam. Bahkan, mereka bukan lagi berbentuk kelompok tani, tapi berbentuk organisasi SK dari Kemenkumham sebagai organisasi yang sah di negeri ini bernama Pemuri yaitu singkatan dari Petani Muda Riau. Tidak mudah untuk merealisasikan itu semua menjadi hamparan-hamparan kebun di depan mata dan organisasi yang terdaftar, namun pemuda ini yakin. Diceritakan Ade, Dia dan Seno memang terbiasa dengan lahan pertanian karena berasal dari daerah. Ade berasal dari Desa Sukamaju, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, daerahnya dikenal dengan Batang Samo. Ade mulai datang ke Pekanbaru pada 2009 setelah sempat satu tahun tidak melanjutkan kuliah sejak lulus dari SMA. Orangtuanya memang petani, tapi lahannya tidak sampai satu hektare. Ada juga lahan karet milik ayahnya 1,5 hektare yang dirasa tidak mungkin mengantarkannya duduk di salah satu perguruan tinggi. "Kalau orangtua memang petani, tapi lahannya tidak luas. Mungkin ada kolam tiga petak. Saya sempat menganggur setahun tidak melanjutkan sekolah. Tapi harus mengurus kolam ikan, mencari modal kuliah," sebut Ade. Setelah memutuskan tidak kuliah, Ade memanfaatkan kolam yang berjarak tiga kilometer dari rumahnya. "Saya ajak kawan-kawan yang putus sekolah untuk ikut bekerja sama. Bahkan kami buat pondok dan tinggal di dekat kolam. Keluar dari rumah sendiri," kata Ade. Karena lokasi kolam yang dekat hutan, biaya semakin sedikit. Mereka masak di pondok, memancing di sungai, mencari ubi, dan memanfaatkan hasil hutan untuk memperkecil biaya. "Kawan-kawan putus sekolah tidak ditanggung lagi biaya oleh orangtuanya, makanya saya ajak bergabung dan membantu di kolam. Ada tiga petak kolam 20x30 meter yang kami kerjakan. Mulai dengan 5.000 ekor bibit ikan patin, 3.000 bibit ikan bawal dan 5.000 bibit ikan nila," kata Ade. Setelah mengusahakan kolam, akhirnya keuntungan Rp21 juta didapatkan setelah satu tahun. "Saya dapat Rp21 juta setelah mengembalikan modal dan membagi keuntungan. Itulah modal kuliah," sebut Ade, Ade kemudian membeli sepeda motor bekas seharga Rp14 juta, sisanya modal masuk kuliah. Karena semasa sekolah dulu dia aktif di organisasi, Ade bertekad masuk jalur SMPTN di Universitas Islam Negeri (UIN) Suska Pekanbaru. Namun tidak lulus, akhirnya memutuskan ikut jalur mandiri. Memilih tiga jurusan yakni Pendidikan Agama Islam (pilihan pertama), Psikologi (pilihan kedua), dan Fakultas Pertanian (pilihan terakhir). Lulus di pilihan terakhir. "Uang keluar lagi Rp3 juta untuk semester dan biaya pendaftaran Rp170 ribu waktu itu. Tapi Alhamdulillah lulus dan bisa kuliah," ucap Ade. Karena sejak SMA sudah aktif berorganisasi, Ade aktif di Himpunan Mahasiswa Agroteknologi. Kemudian jadi wakil ketua di Badan Legistlatif Mahasiswa. Akhirnya gerakan di organisasi mengantarkannya menjadi Sekjen Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia ( ISMPI). Tapi, dilema dihatinya membuat "galau". Orangtuanya mengatakan hanya mampu membiaya kuliah sampai semester enam saja. "Ibu berpesan, biaya kuliah hanya ditanggung sampai semester enam. Sementara syarat jadi Sekjen itu harus tidak wisuda selama masa kepengurusan yaitu dua tahun. Berarti saya harus kuliah sampai semester sepuluh dan tidak ditanggung lagi oleh orang tua. Inilah yang membuat saya memutar otak," kata Ade. Ade ingat saat dia aktif di organisasi himpunan mahasiswa, sudah mulai ada badan usaha organisasi. "Awal idenya di Bidang kewirausahaan. Saya kembangkan dengan skala besar," kata Ade. Realisasinya, saat itu Ade kos di Jalan Budidaya Gang Budi Ahmad Pekanbaru. "Pemilik kos punya lahan di sebelah rumah 2.000 meter persegi. Kami tanam kangkung. Modal murah, perawatan tidak sulit, umur panen cepat, hanya 21 hari. Saya gadaikan BPKB sepeda motor Rp4 juta untuk memulai usaha pertanian kangkung itu. Uangnya untuk beli mesin air, selang, bibit dan pupuk, kapur dan peralatan pertanian," kata Ade. "Boleh dibilang besar jasa kangkung ini. Saya bisa menyelesaikan kuliah dengan lahan pertanian kangkung. Panen sekali dua hari Rp200 ribu setiap kali panen. Sebulan lebih kurang Rp3 juta. Itulah yang saya bagi-bagi bersama teman-teman satu kos yang ikut membantu. Semua biaya makan, sewa kos, listrik kami bayar," sambung Ade. Akhirnya Ade lulus 2015 lalu dan bisa melanjutkan S2 di program studi magister agribisnis Universitas Riau. "Awalnya cita-cita kuliah di IPB. Saya pilih jurusan komunikasi pembangunan pertanian pedesaan di Fakuktas Ekologi Manusia IPB. Lulus. Tapi dana tidak cukup. Saya sudah membuka usaha lain di Pekanbaru. Sebelum pengumuman lulus IPB itu, saya membuka usaha rumah makan Pondok Ayam Betutu di belakang kampus UIN. Ini juga untuk menopang hidup, jadi IPB ditunda dulu," kata Ade. Di 2017, Ade terpilih Sekretaris Alumni Fakuktas Pertanian dan Peternakan UIN Suska. Akhirnya dibuatlah program sekolah lapang di dekat Stadion Utama Riau di bawah binaan alumni. "Kegiatan meminjam lahan kembali dilakukan. Ingat lagi dengan kangkung yang sudah jadi teman setia. Bisa meneruskan kuliah dengan kangkung. Kalau kata anak zaman now, power of kepepet. Jadi selalu ada jalan kalau kita berusaha. Kami gerakkan teman-teman mahasiswa kembali," sebut Ade. Mencuatnya informasi tentang akan adanya impor beras oleh pemerintah sebanyak 500.000 ton pun memacu adrenalinnya. Pemerintah akan melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton dengan alasan sebagai cadangan. Ketika dilihat program dari pemerintah khususnya Kementerian pertanian akhir-akhir ini sudah sangat banyak melakukan cetak sawah baru tetapi belum juga mampu mengimbangi keperluan pangan masyarakat Indonesia yakni 250 juta jiwa. Kalau ditinjau dari kaca mata agrobisnis upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan sudah baik. Tetapi akan lebih baik lagi jika program cetak sawah diimbangi dengan bantuan bibit unggul dan subsidi pupuk yang lebih optimal dan tepat sasaran karena jika kita analisa ketika program hanya terpaku kepada cetak sawah maka produksi padi tidak meningkat signifikan. Akan tetapi jika diiringi dengan subsidi bibit unggul dam pupuk secara optimal dan tepat sasaran maka akan sangat besar pengaruhnya terhadap produksi padi oleh petani yang akan berdampak langsung kepada produksi beras kita. Semangat besar petani untuk mengupayakan hasil panen yang maksimal sudah pernah dirasakannya. Untuk menyelesaikan kuliahnya dengan bertani kangkung. "Buat petani tidak takut rugi. Pastikan dengan program pemerintah cetak sawah akan berhasil mewujudkan swasembada pangan. Pemuri siap membantu," kata Ade. "Saya sudah mengupayakannya. Saat itu ada tawaran dari seorang anggota dewan untuk mengelola lahan seluas 4 hektare. Saat itulah saya bertemu dengan Seno. Kami bicara dan kami komitmen. Inilah yang kami lakukan sekarang," ujar Ade sambil menunjuk lahan-lahan pertanian yang mereka kelola.***(riaupos.co)