Perjalanan Hidup Tamimi Anggota Bawaslu Inhil

Ahad, 29 November 2020

BUALBUAL.com - Ahmad Tamimi, sosok pria yang insfiratif menjabat sebagai anggota Bawaslu Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) ini, lahir di Desa Bolak Raya Kecamatan Mandah Kabupaten Inhil pada senin 3 Desember 1985. Pria yang memiliki hobi membaca dan menulis ini semasa kecilnya tidak memiliki cita-cita (masa Sekolah Dasar) dulu, “yang saya tau dari bapak bahwa tidak berilmu itu hidupnya sulit, cuman itu aja,”ujar Tamimi Sabtu 28 November 2020.

Berawal dari keluarga yang sederhana pekerjaan orang tua terbilang serabutan, kadang ke laut, kadang pula ambil upah panenkan kelapa warga, dan hasil inilah caranya membesarkan anak-anak sebanyak 2 pasang. Selain itu, orang tuanya juga mengajar dan belajar di surau dan beberapa tempat lainnya termasuk ngajar ngaji al-Qur’an di rumah hingga tentang Tajwidnya.

“Beberapa RT sekitar di Desa Bolak Raya yang khatam ngaji adalah muridnya Bapak,” kata Tamimi.

Kerja Bapak itu tiap minggunya ngajar tentang Fiqih di surau, tanpa dibayar, ia juga masih sambil belajar dibeberapa tempat pengajian di luar, tiap hari ia membaca buku usai shalat subuh, zuhur dan ashar, setiap hari itu pula saya dipertontonkan dengan ketauladanan etos belajarnya seorang Bapak.

Mengawali pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Mandah, selanjutnya menempuh pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Mandah, selesai dari MTsN ia berkeinginan melanjutkan sekolah di Bukittinggi, tapi karena pertimbangan ekonomi orang tua saat itu, ia terpaksa memilih melanjutkan sekolah di SMA 1 Mandah pada tahun 2001.

Namun, keinginan untuk sekolah di Bukittinggi tidak pudar, meski dengan keterbatasan ekonomi keinginan itu tetap ia perjuangkan. Setelah menjalani masa 6 bulan di SMA Mandah ia memilih untuk pindah di daerah Bukittinggi yaitu tepatnya di MAN 1 Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agama (MAN Batu Mandi).

Masa-masa remaja ia terkenang “saat bangun jam 2 subuh turun kelaut mencari udang dengan bersorong sampan di Tebing pantai, saya mikir, andai aku tidak sekolah lebih serius maka beginilah terus hidupku betapa sulit hidup. Maka tersugesti untuk sekolah jauh,”tutur Tamimi.

Usai menyelesaikan pendidikan disana ia menyambung Kuliah di STAIN Secjh M. Djamil Djambek Bukittinggi yang sekarang berubah nama menjadi IAIN Bukittinggi, selama lebih kurang 2 tahun, pindah lagi ke UIN Imam Bonjol Padang Fakultas Syar’iah Jurusan Pidana dan Politik Islam. Dengan alasan ingin mencari dinamika yang lebih agar potensi benar terasahkan.

Tak hanya sampai disitu, lika liku dan berbagai cara untuk mengapai  sebuah pendidikan dan bertahan hidup ia lalui dengan penuh semangat.

“Semasa proses sekolah dan kuliah selama 12 tahun di rantau saya memang sering kekurangan uang, belum lagi disaat kuliah betapa marah hati saat lagi butuh uang tapi orang tua tidak mengirim uang sementara teman-teman yang lain rutin mendapat kiriman dari orang tuanya, belum lagi kebutuhan akan alat transportasi. Tapi, ia cukup memahami keadaan ekonomi orang tua saat itu memang tidak bisa rutin mengirim uang, ia membayangkan betapa sulit Bapak dulu membiayai kakaknya sekolah di MTI Candung, sering ngutang kesana-kemari.

" Pernah muncul pertanyaan agak nakal di pikiran, apa kontribusi sosok Bapak terhadap proses sekolahku selama ini?, saat semester 6 kuliah baru aku terpikir dan tersentak lalu bersyukur, walau secara materi Bapak tidak dapat lebih memberi selama prosesku, tapi ketauladanan semangat belajar tiap hari ia pertontonkan hingga cukup mempengaruhi jiwa belajarku selama ini, dan ini begitu mahal ungkapnya tidak sebanding dengan uang dan motor yang juga ia butuhkan semasa proses itu. Kemudian saya juga mikir berproses dalam keadaan ekonomi lemah sebenarnya Allah benar mengkarantina aku untuk tidak banyak bergerak (main) dan fokus belajar.  Tapi selama 12 tahun itu pula saya tidak pernah sewa kosan dan membeli beras. Dengan modal bisa baca al-Qur’an kita sudah bisa lancar hidup di kampung orang, ngajar ngaji, azan dan Imam bila sampai waktu terkadang juga membantu masyarakat sekitar kerja mikul padinya,” jelas Tamimi

Ketika ditanya persoalan perasaan minder dengan kondisi yang ia hadapi dulu, Tamimi menjawab lemah ekonomi saya tidak pernah merasa minder, tapi kalau lemah paham dalam forum kajian, kenapa saya tidak bisa bicara dan menyampaikan pendapat serta gagasan seperti lancar vokalnya orang lain, ini justru yang buat saya minder.

Jadi sejak dulu saya minder lebih ke soal paham dan kualitas diri dan bukan soal status dan gaya,”Jawab Tamimi.

Terkait semasa kecilnya Tamimi tidak mempunyai cita-cita sewaktu Sekolah Dasarnya ini, saat kuliah semester 4 barulah cita-cita itu muncul yaitu ingin menjadi dosen, dalam renungnya cita-cita ini juga relevan dengan pikirannya semasa kecil dulu yaitu kalau tidak sekolah dan tidak berilmu hidup akan susah. Jadi cita-cita jadi dosen adalah konkritnya ungkapan rasa waktu itu. Sebagai kelanjutan cita-cita itu saat ini ia melanjutkan lagi Kuliah di Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR) Program Ilmu Hukum.

Bagi saya ilmu bukan hanya untuk kembangkan potensi juga kunci untuk menjawab persoalan hidup. Allah juga telah berjanji akan angkat orang yang berilmu itu beberapa derajat, kan tidak mungkin Allah itu bohong,” Ungkapnya.

Jadi, tugas kita belajar aja dengan penuh kesungguhan, nanti uang dan pekerjaan pasti Allah kasi, karena orang berilmu itu tidak akan terbuang, tegasnya

Bahkan disaat kuliah, Tamimi mengatakan bahwa dirinya juga jarang membayangkan untuk kerja disitu dan disini, pokoknya ia kuliah dan dapat ilmu serta mampu menjawab persoalan hidup dilapangan nantinya. Terkait dengan ini hampir disetiap waktu kosongnya ia terus sempatkan diri untuk rutin membaca dan menulis. Karena suatu hari nantia ia membayangkan jadi seorang dosen, fokusnya meneliti, menulis dan mengajar serta menyuplay pemikiran untuk pembangunan.

“Rasionalnya tidak mungkin aku akan jadi pribadi yang terbuang, dan jika terpakai maka uang juga akan datang sendiri, begini siklus pikirannya. Jadi, tidak perlu kuliah itu dijadikan sebagai akivitas membelenggu diri, terlalu matrialistik,” Tuturnya.

Selain itu, Tamimi juga suka akan berorganisasi, baginya organisasi adalah sebuah wadah untuk menjalin silaturrahmi dan untuk mengembang potensi diri.

organisasi itu dapat mengembangkan kecerdasan emosional dan intelektual seseorang. maka, kematangan karakter diri seseorang sangat beda antara yang aktif berorganisasi dengan yang tidak, berorganisasi lebih mahir beradaptasi dan kebal keadaan, mereka inilah calon pemimpin masadepan karena kampus dengan segala fasilitas dan budaya yang ada tidak cukup kuat untuk mengembangkan segala potensi kita. Maka harus tempa diri secara ekstra agar melahirkan diri yang beda dan bernilai guna,” Jelasnya.

Tamimi juga berharap bagi sahabat yang sedang berjuang, bahwa selagi nafas masih dikandung badan kita tentu terus berjuang. Berjuang mencari makna dan nilai untuk tujuan yang lebih tinggi. Perjelas tujuan dalam proses, tentukan cara efektif untuk meraihnya dan jangan asal proses, kemudian kerjakan secara tekun.

“Cita-cita jangan sebatas cita-cita, tapi cita-cita harus sebanding dengan usaha, cita-cita juga harus selaras dengan usaha. ”kata Tamimi.

Ia juga mengatakan bahwa tidak ada jalan hidup yang buntu, yang ada itu hanyalah pikiran yang buntu atau silaturahmi yang buntu.

“kadang jalan itu ada saat kita berhasil membangun silaturahmi, maka terus berpikir dan berbuat baik apa yang bisa dan apa saja yang baik insyaallah Allah mendengarkan dan merespon.”Tutupnya.(*)