Polisi, Kejaksaan dan KPK Mesti Sepakati Standar Juctice Collabolator

Sabtu, 20 Agustus 2016

BUALBUAL.COM - Jakarta, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mendorong agar dibuat kesepakatan bersama atau MoU terkait indikator dan syarat pemberian Justice Collaborator (JC) pada kasus korupsi. Emerson menuturkan hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kejelasan prosedur status JC dan dipublikasikan. "Polisi dan Jaksa apakah punya SOP standar penentuan JC? Kami lihat tidak ketemu," kata Emerson di Jakarta, Sabtu (20/8/2016).Menurut Emerson, pemerintah tidak perlu merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, jika menyangkut prosedur pemberian JC.Dalam revisi PP 99, Kementerian Hukum dan HAM akan membentuk Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).TPP-lah yang nanti mengkaji pemberian dan lamanya remisi yang didapatkan narapidana. TPP terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ahli psikologi dan sebaginya. "KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian punya MoU soal optimalisasi pemberantasan korupsi. Nah ini bisa diterapkan. Yang kami tahu cuma KPK, Kepolisian dan Kejaksaan tidak pernah lihat," ucap Emerson. Senada dengan Institute for Crimal Juctice Reform (ICJR), Emerson juga mempertanyakan pemberian JC oleh Kejaksaan. Sepanjang 2013 hingga juli 2016, Kejaksaan memberikan ststus JC kepada 670 orang.Sementara pada rentang waktu yang sama, KPK hanya memberika status JC kepada satu orang, yaitu pada tahun 2015. "Nah itu jadi pertanyaan juga. Apa sih yang jadi landasan Kejaksaan berikan JC. Apa kontribusi dalam bongkar kasus lain? JC diberikan tidak hanya ketika diperiksa kooperatif," ujar Emerson. Sumber : Kompas.com