SAGO from MANDA Catatan Kejayaan dan Kegemilangan Perdagangan Sagu dari Mandah Abad ke-19

Selasa, 02 Maret 2021

Peta Kuala Mandah

BUALBUAL.com - Sago from Manda, tiga kata dalam bahasa Inggris yang diambil dari surat khabar Singapore Chronicle and Commercial Register yang terbit di Singapura. Tulisan Sago from Manda atau Sagu dari Mandah yang tertera pada surat kabar yang terbit mingguan ini memberikan informasi tentang kedatangan perahu dagang (native craft) dari negeri  Mandah yang membawa sagu mentah (raw sago) ke Bandar Singapura.  Kedatangan sagu dari Mandah dan daerah lainnya menjadi catatan barang impor yang penting untuk pasokan bahan baku bagi industri pangan di Singapura.  Sagu mentah tersebut akan diolah kembali menjadi tepung sagu murni (kering) atau aneka produk makanan berbahan baku tepung sagu. Hasil olahan tersebut diekspor kembali ke mancanegara bahkan balik kembali ke Mandah dengan kemasan sebagai produk “Made in Singapore”. 

Surat khabar Singapore Chronicle and Commercial Register telah pula memuat artikel panjang yang diterbitkan bersambung berjudul SAGO. Artikel pertama yang terbit pada  tanggal 15 Februari 1827 mengisahkan negeri-negeri penghasil sagu di pantai Timur Sumatra dan Kepulauan Riau Lingga. Daerah Sungai Mandah, Kateman, Igal, Pelanduk dan Anak Serka dinyatakan sebagai daerah penghasil sagu yang memiliki kualitas yang bagus dan sangat dekat jaraknya dengan Singapura. Bandar Singapura sangat memerlukan sagu dari Mandah bagi kebutuhan industri pengolahan sagunya yang pada awal abad ke-19 telah berkembang dengan pesat. Permintaan sagu yang tinggi dengan harga pembelian yang bagus berangsur-angsur mengalahkan bandar Malaka sebagai pusat perniagaan sagu di kawasan ini.

Dari beberapa kliping surat khabar Singapura tersebut menjadi dokumentasi penting sebagai informasi tentang perniagaan Sago from Manda. Rangkaian kata Sago from Manda sebagai catatan kuantitatif tentang jumlah tampin sagu yang dihasilkan dan diekspor dari Mandah dan sekitarnya. Dari tulisan surat khabar ini secara tersirat memberi petunjuk tentang pohon rumbia (Metroxylon sagu) yang menghasilkan pati sagu sudah dikenal penduduk daerah Mandah sebagai sumber bahan pangan dan komoditi perdagangan. Untuk usaha budidaya sagu kemungkinan sudah berlangsung sebelum abad ke-18. Pada masa itu Mandah sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Kesultanan Riau Lingga yang berkedudukan di Daik Lingga yang dikenal pula sebagai daerah penghasil sagu.

 Tidak banyak catatan tertulis yang tersisa dari sumber lokal tentang kegiatan  perniagaan sagu dari Mandah ke Singapura. Hanya cerita yang ditutur turun temurun yang semakin lama semakin terlupakan. Beruntung media cetak Singapura telah menulis dan mendokumentasikan tentang negeri Mandah bersama-sama dengan negeri-negeri lain sebagai pemasok sagu ke Singapura. Kalimat “Sago from Manda” dengan ribuan tampin yang datang dari Mandah setiap minggunya memberi dampak positif  bahwa budidaya dan perniagaan sagu menjadi salah satu penggerak ekonomi utama di daerah ini.

Kebijakan bagi penduduk Mandah untuk membudidayakan tanaman rumbia atau sagu telah pula menjadi salah satu tugas pokok bagi seorang Amir selaku kepala administrasi pemerintahan Kesultanan Riau Lingga di Mandah.  Didalam buku Kerajaan Johor-Riau yang ditulis A. Samad Ahmad yang terbit tahun 1985 memuat tentang Aturan Amir Manda dan Igal Tahun 1311 (1894 M) dalam Bab al-Amar pada Fasal 2 berbunyi 

“Hendaklah diperintahkan tiap-tiap yang kuasa mengerjakan perusahaan kehidupan, seperti memperbuat kebun dan memarut sagu, sekira-kira jangan diberi kelapangan waktu mereka itu berbuat maksiat”.

Perintah ini mengandung maksud bahwa sagu menjadi tanaman budidaya dan sumber pangan bagi penduduk Mandah yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh. Pada masa itu hingga kini pohon rumbia Bemban merupakan jenis yang paling banyak dibudidayakan di daerah ini. Rumbia Bemban yang tidak berduri memiliki pati sagu yang berlimpah dan mudah ditebang serta tahan dari intrusi air laut karena wilayah daratan Mandah berada di daerah pesisir pantai.

Serangkaian kata tentang keberadaan Mandah dan perdagangan sagunya termuat pula didalam  Encyclopedie van Nederlandsch Indie Tweede Druk yang terbit di Batavia tahun 1918. Ensklopedia tersebut menyatakan bahwa Mandah merupakan Lanskap di pantai Indragiri, yang sebelumnya merupakan bagian dari bekas Kesultanan Riau Lingga, sekarang bersama dengan Gaung membentuk sebuah distrik bagian dari Afdeling Indragiri, Keresidenan Riau beserta daerah takluknya. Satu jam dari pantai adalah kota Keria (Bahasa Arab, Cheiriah = indah), tempat tinggal para pedagang Cina. Sedikit lebih jauh adalah kampung Melayu, tempat tinggal Kepala Distrik (Amir). Kantor bea cukai terletak di muara Sungai Mandah, Kuala Mandah terdapat perdagangan sagu yang cukup ramai.

Berkaitan nama Manda atau sekarang dilafal dan ditulis menjadi Mandah sebagai tempat asal datangnya sagu ke Singapura berada di Kuala Mandah. Kuala Mandah merupakan wilayah kepabeanan yang berfungsi sebagai pelabuhan ekspor dan impor serta pelabuhan transito pada masa itu. Memanfaatkan alur muara sungai Ibu Mandah sebagai titik sandar dan titik labuh bagi perahu dan kapal dari Singapura yang membawa barang-barang dagangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga untuk daerah Mandah dan sekitarnya. Bersandar ataupun berlabuh di Kuala Mandah terutama perahu dan kapal milik kongsi dagang dari Singapura yang akan memuat sagu serta beragam komoditi hasil bumi, hutan dan laut yang dihasilkan daerah ini dan sekitarnya. 

Pelabuhan Kuala Mandah yang menghadap ke perairan Amphitrite Baai yaitu teluk yang terletak diantara Tanjung Datuk dan Tanjung Bakong. Teluk ini menjadi pintu gerbang untuk keluar masuk perahu dan kapal menuju muara sungai Ibu Mandah, Igal, Pelanduk, Batang Tumu, Gaung, Anak Serka dan daerah muara sungai Indragiri.  Perniagaan sagu di Kuala Mandah dilakukan oleh para peniaga suku bangsa China yang menjadi pembeli pengumpul sebelum diekspor langsung ke Singapura. Pada awal abad ke-20, NV. Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) perusahaan swasta yang melakukan jasa pelayaran angkutan barang dan penumpang yang disubsidi Pemerintah Hindia Belanda menjadikan pelabuhan Kuala Mandah sebagai salah satu titik singgah dan titik labuh. Kapal-kapal milik KPM antara lain kapal Laurens Pit, Koemai dan Mapia yang memiliki kapasitas angkut hingga 400 ton setiap minggu berlayar pulang dan pergi menuju Singapura.

 Saat ini pelabuhan di Kuala Mandah sepi sunyi tanpa penghuni yang mendiaminya. Hanya tersisa tongkat kantor dan rumah serta bak air peninggalan Douanepost Nederlansche Indie. Sisa tapak bangunan itu menjadi saksi bisu bahwa Sago from Manda telah mengembara ke berbagai negara dan belahan dunia. Kejayaan yang telah mulai terlupakan, kegemilangan yang semakin buram dimakan waktu,  Sago from Mandah telah menjadikan Kuala Mandah sebagai bagian dari budaya pelayaran maritim nusantara. Pelabuhan laut dan perniagaan sagu dari Kuala Mandah adalah  secebis kisah dari Jalur Rempah di Pesisir Timur Pulau Sumatra.

 

 

Junaidy bin Ismail Abdullah, yang lahir di tepian Sungai Igal pernah tinggal di tepian  Sungai Pelanduk, Gangsal,  Reteh, Ibu Mandah, Sapat Dalam. Masa ini bermukim antara Parit 14 dan Parit 15 Tembilahan di tepian Sungai Indragiri.