Ilustrasi/AI
BUALBUAL.com - Di antara lekuk Sungai Indragiri dan deretan perbukitan Jambi–Kuansing, berdirilah sebuah kecamatan bernama Batang Peranap. Meskipun secara administratif baru terbentuk dua dekade lalu, akar sejarah wilayah ini tertanam dalam warisan kerajaan dan adat kuno yang masih hidup hingga hari ini.
Sejarah Batang Peranap berawal dari migrasi para bangsawan dan hulubalang Kerajaan Pagaruyung, yang konon diundang oleh Raja Indragiri untuk menumpas seorang penindas bernama Dubalang yang berkuasa di Pulau Sikubin, wilayah Kuantan.
Para perantau ini akhirnya menetap di hilir Batang Peranap dan membentuk komunitas adat tersendiri yang kelak dikenal dengan struktur “Luhak Tiga Lorong”. Sistem ini membagi wilayah kekuasaan adat ke dalam tiga lorong besar, masing-masing dipimpin oleh tokoh adat bergelar Donang Lelo, Lelo di Ghajo, dan Ghajo Mangkuto.
Awalnya, seluruh wilayah Batang Peranap merupakan bagian dari Kecamatan Peranap. Namun pada tahun 2004, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hulu No. 05 Tahun 2004, Kecamatan Batang Peranap resmi berdiri sendiri sebagai wilayah administratif.
Kecamatan baru ini menaungi sembilan desa, termasuk Pematang, Pesajian, Selunak, dan Sei Aur. Desa Pematang dikenal sebagai pusat sejarah dan kebudayaan, tempat para tokoh adat dahulu menetap dan memimpin.
Berbeda dari banyak daerah lain yang mulai kehilangan jati diri, Batang Peranap tetap mempertahankan adat istiadat “Tiga Lorong”. Dalam upacara adat, gelar para pemimpin tradisional ini masih digunakan dan dijunjung tinggi. Bahkan, beberapa desa seperti Pematang sedang dalam proses pengajuan sebagai desa adat resmi oleh Pemkab Inhu.
“Adat kami bukan hanya hiasan. Ia adalah cara kami hidup, cara kami menghormati leluhur, dan menjaga keseimbangan di kampung,” kata Pak Ghazali, seorang tokoh adat di Desa Pematang.
Seiring waktu, pemerintah dan warga juga aktif membangun infrastruktur sosial. Kini tersedia fasilitas pendidikan dari tingkat TK hingga SMK, serta madrasah diniyah yang mengajarkan nilai-nilai agama dan adat. Terdapat pula Puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan untuk seluruh kecamatan.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian seperti sawit dan karet, namun dulu kawasan ini juga sempat ramai dengan aktivitas pengelolaan kayu dan tambang batubara skala kecil.
Kini, meski dikelilingi kemajuan modern, Batang Peranap tetap melangkah dengan akarnya. Perpaduan nilai adat, sejarah kerajaan, dan semangat pemekaran menjadikan kecamatan ini unik di tengah peta Riau.
“Batang Peranap bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat warisan kami hidup. Dan tugas kami adalah menjaganya, bukan melupakannya,” ujar Mahyudin, generasi muda penerus adat di Pesajian.