Soal DBH, Achmad: Pusat harus Peka pada ''Teriakan'' Daerah Penghasil Migas

Rabu, 14 Desember 2022

BUALBUAL.com -Pernyataan Bupati Kepulauan Meranti Muhamad Adil yang merasa daerahnya diperlakukan tidak adil dalam pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas dalam Rapat Koordinasi Nasional Optimalisasi Pendapatan Daerah, menuai kontroversi.

Kementrian Keuangan tak terima dengan pernyataan Adil soal 'Kemenkeu berisi setan atau iblis' dan meminta Bupati Meranti itu mita maaf secara terbuka.

Anggota DPR-RI dari asal Riau Achmad menilai, pemerintah pusat tidak perlu menanggapi pernyataan Adil secara sentimen sehingga mematikan semangat para kepala daerah dalam memperjuangkan nasib daerahnya.

Meski demikian, Achmad mengharapkan para kepala daerah sebagai publik figur yang menjadi contoh bagi rakyatnya, juga harus mengedepankan etika pemerintahan dalam menyampaikan pendapat sehingga tidak memicu terjadinya disharmonisasi antara pusat dan daerah.

"Saya paham, maksud tujuan Bupati Meranti itu mulia. sebagai seorang pemimpin memang harus berkomitmen memperjuangkan rakyatnya. Namun tentunya dalam perjuangan itu harus juga mengedepankan etika pemerintahan. Jangan sampai maksud tujuan baik, perjuangannya mulia, tapi etika pemerintahan dilanggar sehingga tujuan perjuangan itu terdegradasi," cakap Achmad, Rabu (14/12/2022).

Achmad yang juga mantan Bupati Rokan hulu itu, mengaku tahu betul rasa ketidakadilan yang dirasakan daerah penghasil Migas seperti Meranti.

Rasa ketidakadilan yang dirasakan daerah penghasil Migas ini lanjut Achmad, merupakan akumulasi kurangnya transparansi pemerintahan pusat dalam skema pembagian DBH Migas sehingga menimbulkan kecurigaan dan asumsi bagi daerah penghasil "dijadikan sebagai sapi perahan" oleh pusat.

"Seperti soal lifting misal nya. Lifting itukan dihitung berdasarkan minyak yang terjual bukan produksi. Belum tentu minyak yang diproduksi itu terjual. Ini yang harus dipahami, Produksi dan Lifting itu sangat variatif sekali, makanya pemerintah pusat harus transparan ke daerah sehingga tidak menimbulkan kecurigaan di daerah," terangnya lagi.

"Kasus lain misalnya, kadang kala sewaktu harga minyak turun DBH Migas itu langsung disalurkan ke daerah pada tahun itu juga, sementara jika harga minyak naik, DBH itu baru disalurkan tahun depan, ini contoh ketidakkonsistenan yang menyebabkan daerah penghasil Migas itu gerah," ujarnya.

Dia menilai, agar persoalan ini tidak terus menuai polemik, pemerintah pusat harusnya sensitif terhadap "Teriakan" Kepala Daerah penghasil Migas dengan melakukan revisi Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

"Undang-undang 33 tahun 2004 itu dibuat hampir 20 tahun lalu, sudah seharusnya direvisi untuk menyesuaikan dengan kondisi saat ini dan mengakomodir rasa keadilan daerah penghasil," ujarnya.

Salah satu akar masalah yang harus diatur ulang oleh pemerintah pusat dalam undang-undang tersebut, kata Achmad, adalah tentang skema perhitungan Dana Bagi Hasil yang selama ini dinilai tidak adil oleh daerah penghasil.

"Selama ini perhitungan pembagian DBH khususnya 15 persen itu dinilai merugikan daerah penghasil. Karena sebagian besar daerah penghasil itu jumlah penduduknya kecil sementara alokasi pembagian pada variabel jumlah penduduk dalam perhitungan DBH Migas itu besar. Sehingga tak jarang daerah penghasil itu menerima DBH Migas lebih kecil dari pada daerah pemerataan yang jumlah penduduk nya besar," urainya.

"Makanya daerah di Jawa yang penduduknya lebih besar mendapatkan bagian lebih besar, ini yang menimbulkan seolah-olah pemerintah tidak adil menerapkan dasar perhitungan bagi hasil itu," ujarnya.

Selain itu dalam porsi pembagian DBH tersebut, daerah penghasil Migas juga harus diberikan fasilitas keuangan seperti dana Insentif Resiko dan recovery perbaikan lingkungan selama masa eksploitasi.

"Kita lihat Dabo Singkep sebagai daerah penghasil timah terbesar dulu, setelah eksploitasi selesai daerah itu menanggung derita akibat dampak pertambangan. makanya daerah penghasil itu perlu diberikan dana recovery selain dana bagi hasil dan insentif resiko dampak ekploitasi," ujarnya.

Achmad juga menyarankan kepada kepala daerah khususnya daerah penghasil agar membentuk Koalisi kepala daerah guna mendorong revisi undang-undang 33 Tahun 2004 tersebut.

"Cara konstitusional itu yang harusnya dilakukan. Sewaktu menjabat Kadispenda Riau dulu, saya pernah menjadi kordinator menuntut pusat meningkatkan DBH Migas itu. Alhamdulillah, awalnya 10 persen dan akhirnya dikabulkan 15 persen oleh pusat," tutupnya.