Tak Ada Negara Berpengalaman Hadapi Krisis Ekonomi AKibat Pandemi Corona

Rabu, 08 April 2020

Ilustrasi/Net

BUALBUAL.com - Anggota Komisi XI DPR-RI, Mukhamad Misbakhun menyebut bahwa krisis ekonomi global yang terjadi akibat pandemi corona berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah terjadi pada 1998 maupun 2008. Di Indonesia, saat krisis ekonomi 1998, sektor UMKM masih bisa bertahan karena masih ada nilai tukar barang yang bisa diekspor.

Namun, hal itu tak terjadi saat ini. Pembatasan yang dilakukan berbagai negara meruntuhkan supply dan demand barang.

"Dan inilah pertarungan peradaban kita, menghadapi global crisis dan tidak ada satupun orang yang pernah berpengalaman menghadapi krisis global seperti ini," ungkapnya dalam Rapat Kerja Virtual Komisi XI DPR-RI dengan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, Jakarta, Rabu (8/4).

Krisis ekonomi saat ini menyerang sektor pariwisata untuk tahap pertama. Lalu menyusul sektor logistik dan perhubungan. Sektor perbankan pun diperkirakan akan ikut terdampak jika tidak dilakukan antisipasi yang matang.

Dalam kondisi ini, lanjutnya negara harus menolong semua sektor. Tidak ada perbedaan antara rakyat miskin dan rakyat kaya. Tinggal siapa yang terkena pertama dan siapa pelampung yang menerima penyelamat dari negara. "Ini yang harus kita lakukan," kata dia.

Dia melanjutkan, pada krisis tahun 1998 terdapat lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lembaga ini dibentuk dengan tugas pokok untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.

Oleh karena itu, dia mengusulkan pemerintah berpikir untuk mempunyai badan penyehatan ekonomi nasional (National Recovery Economic Agency). Sehingga Bank Indonesia tidak terganggu dalam melaksanakan tugasnya.

"Bagaimana negara ini mempunyai aset manajemen unit yang terpisah dari operasional negara untuk mengatasi dampak ini," kata dia.

Pengalaman Indonesia

Indonesia sendiri memang berpengalaman menghadapi krisis ekonomi. Baik itu traumatik institutional maupun traumatik personal.

Traumatik institutional dua kali dialami Bank Indonesia. Sebagai bank sentral, BI pernah mengalami krisis ekonomi tahun 1998 dan tahun 2008. Sementara traumatik personal sebagian dialami juga oleh para pejabat di Bank Indonesia.

"Selama ini setelah kasus 98 saya selalu mengatakan bahwa krisis itu mempunyai traumatik," kata Misbakhun

Untuk saat ini, politikus Partai Golkar ini mendukung kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Sebab krisis ekonomi akibat wabah virus corona berbeda dengan yang pernah terjadi.

Namun demikian, Misbakhun mempertanyakan kebijakan quantitative easing yang dikeluarkan Bank Indonesia guna menambah likuditas di pasaran. Quantitative easing sendiri merupakan salah satu kebijakan moneter yang diambil bank sentral untuk meningkatkan jumlah uang beredar di pasaran.

"Dalam pemahaman saya, quantitatif easing yang ditawarkan dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 bisa dijalankan jika eksisting ekonomi negara tidak terganggu."

Misbakhun juga mempertanyakan volume dana yang dicadangkan pemerintah dalam menghadapi krisis global. Setidaknya negara memiliki 4 BUMN Perbankan dan sejumlah perusahaan di bidang transportasi.

Misalnya Maskapai Garuda dan Citilink milik negara ini pun sudah kehilangan pendapatan. Sementara mereka harus tetap memberikan gaji kepada para karyawannya. "Mereka harus membayar semuanya ke sektor perbankan yang tidak bisa direstrukturisasi," ungkapnya.