Yuk Mengenal, Peninggalan Sejarah Cipang Raya Dari Raja Rokan untuk Soleha Tercinta

Ahad, 15 Maret 2020

BUALBUAL.com - BANYAK peninggalan bersejarah di kawasan Cipang Raya. Salah satunya Rumah Raja Rokan Sultan Ibrahim di Desa Cipang Kanan. Rumah ini dibangun ratusan tahun silam, tepatnya saat Sultan Ibrahim menikahi gadis Cipang Kanan yang bernama Soleha.

Gadis ini disebut-sebut sebagai gadis cantik dari suku Kandang Kopuk dengan gelar mamak sukunya Sutan Cahyo yang merupakan pecahan suku Chaniago. Cipang Kanan merupakan salah satu desa di Cipang Raya. Selain Cipang Kanan, juga ada Tibawan, Cipang Kiri Hilir dan Cipang Kiri Hulu. Kemolekan Soleha membuat Sultan Ibrahim tidak bisa berpaling, jatuh cinta  dan kemudian menikahinya. Sebagai tanda sayang dan cinta, Sultan Ibrahim membangun sebuah istana untuk Soleha.

Rumah ini terletak di Dusun Kersik Putih. Bentuknya sama persis dengan Istana Rokan yang terletak di Desa Koto Ruang. Hanya saja, rumah ini tidak bertingkat seperti Istana Rokan. Tinggi rumah (istana) panggung ini lebih 1,5 meter dari tanah. Bagian atas teras depannya penuh ukiran.

Begitu juga dengan bagian bawah depan, sejajar dengan lantai. Masih terawat dengan baik. Rumah ini banyak jendela, baik di bagian depan, tengah, dan dapur. Ruang tamu yang merupakan ruang paling depan, dibuat lebar. Polos tidak ada kamar. Baru ada pintu di bagian menuju ruang tengah. Di ruang tengah ini ada satu kamar di sebelah kanan dengan satu jendela. Inilah kamar tidur Sultan dan Soleha.

Sedang di bagian atasnya ada ruag kosong atau loteng untuk penyimpanan barang-barang. Ruang ketiga baru dapur yang dilengkapi dengan tungku di bagian kanan dan pintu keluar dengan tangga di sebelah kiri. Di luar rumah bagian belakang, Sungai Rokan Kiri terlihat jelas.

Airnya kekuningan. Ada jenjang batu menurun di tepian sungai yang sudah diturap. Lumayan panjang. Di sinilah dulu Sultan turun naik perahu saat hendak pergi meninggalkan kampung atau naik setelah kembali dari daerah lain. Sungai ini adalah satu-satunya jalur transportasi ketika itu. PINGGAN: Cawan dan pinggan di istana Raja Rokan, Cipang Kanan. Sultan Ibrhaim melihat kecantikan Soleha secara langsung dalam perjalanannya saat melintas di kawasan Kersik Putih, Cipang Kanan. Karena rasa penasaran yang menimbulkan rasa rindu berkepanjangan, Sultan mengutus pengawalnya untuk mencari tahu siapa sebenarnya Soleha dan bagaimana keidupannya.

Tidak lama kemudian, Sultan melamar Soleha dan meminta agar bersedia menjadi istrinya. Soleha tidak menolak, lalu keduanya menikah. Di rumah besar ini Sultan Ibrahim dan Soleha tinggal berdua. Soleha yang masih belia dan berusia belasan tahun, menjalani kehidupan layaknya seorang istri bersama Sultan.

Tahun demi tahun berlalu, Soleha belum juga dikarunia keturunan. Kemudian Sultan berniat menikah lagi. Saat itulah Soleha menolak untuk dimadu. Ia memilih bercerai daripada dimadu. Mendengar pernyataan Soleha yang tidak setuju kalau dirinya menikah lagi, Sultan marah.

Sedangkan sultan sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk menikah lagi. Perceraian pun benar-benar terjadi. Tapi sebelum bercerai, karena amarahnya, Sultan mengeluarkan kata-kata serupa sumpah yang ditujukan kepada Soleha. Pertama, Soleha tidak dibenarkan, tidak boleh menikah dengan lelaki manapun selagi lelaki itu berada di kawasan Rokan yang merupakan kekuasaan Sultan. Kedua, jika menikah lagi, Soleha akan mati. Perceraian terjadi. Waktu terus berlalu.

Soleha kemudian bertemu jodoh di saat usianya dewasa dan lebih mapan dalam menjalin kehidupan rumah tangga. Lelaki itu memang bukan orang Rokan. Ia orang Pasaman, Sumatera Barat. Seorang saudagar besar bernama H Harun.

Manikahlah Soleha dengan Harun dan tinggal di Pasaman. Tidak lama menikah Soleha hamil dan melahirkan. Tapi seperti terkena sumpah Sultan, Soleha meninggal saat melahirkan anaknya dan dikubur di kampung halaman suaminya, Rao, Pasaman. Di atas makam Soleha ada makam kecil yang menumpang di atasnya. Itulah makam anaknya yang disatukan dengan makam Soleha.

Kisah Soleha dan rumah peninggalan raja yang masih berdiri kokoh itu tidak pernah lepas dari ingatan warga Cipang Raya, khususnya Cipang Kanan. Kedekatan Soleha dengan Sultan Ibraim juga disebut-sebut sebagai jalan kedekatan antara mamak suku Soleha, Datuk Sutan Cahyo dengan Sultan Ibrahim, sehingga setiap ada pertemuan adat di Istana Rokan, Sutan Cahyo dengan sangat mudah bertemu atau berkomunikasi atau masuk ke dalam istana.

Segala urusannya dengan kerajaan berjalan dengan mudah. Tidak seperti datuk-datuk lainnya. Soleha hidup dalam usia yang cukup panjang. Ia hanya memiliki satu saudara, yakni bernama Maimunah. Soleha tidak sempat memiliki keturunan sedangkan Maimunah dikaruniai satu orang anak bernama Halijah yang hidup hingga usia 80 tahun. Halijah pula memiliki empat orang anak, yakni, Bayani, Umar, Syamsir dan Kasia. Cucu dari Halijah inilah yang masih bisa bercerita tentang Soleha dan peninggalan sejarah berupa rumah tua Sultan Ibrahim tersebut. Ada Pintin dan Yunir, anak dari Kasia. Ada Erisman, Ernida, Badriati, Samsiati dan Pandrison.

Dikatakan Pandrison, ia memanggil Soleha dengan sebutan Unyang. Ia dan saudara-saudaranya yang lain menjaga semua peninggalan Soleha dengan baik, termasuk rumah panggung (istana) yang belum dipugar sama sekali. Meski sudah tua, rumah ini masih dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kegiatan besar atau helat adat di Kersik Putih.

Acara balimau dan niat tahun, semua prosesi dimulai dari rumah ini. Sering digunakan untuk pertemuan dan rapat-rapat adat, bahkan jika ada sengketa atau permasalahan yang tidak bisa diselesaikan di tengah masyarakat, maka diselesaikan di rumah ini.

Masyarakat meyakini dan menjadikan rumah ini sebagai warisan yang mesti dijaga serta dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kursi Raja dan Dulang Tembaga Di rumah peninggalan Soleha dan Sultan Ibrahim ini masih ditemukan mangkuk dan barang-barang bersejarah lainnya, barang yang digunakan Sultan dan Soleha semasa hidupnya.

Agar tidak hilang atau rusak, barang-barang disimpan di rumah cicitnya Soleha bernama Badriati. Ada kursi tempat duduk santai Sultan berserta meja tempat kopinya di atas loteng. Barang ini bisa dikatakan masih utuh meski sudah agak lapuk. Ada beberapa lapik atau karpet bewarna merah yang disimpan di dalam kamar sultan. Sudah lapuk juga. Banyak yang koyak dan sudah usang. KURSI: Ada juga kursi tua di Istana Raja Rokan Cipang Kanan. Piring, gelas, mangkuk, dulang berukuran besar, tempat masak nasi, tepak tempat sirih, dan beberapa barang lainnya, juga masih terjaga baik. Hanya bangunan rumah tua itu yang sangat rapuh. Tiang dan dinding-dindingnya berlubang-lubang dimakan rayap. Beberapa bagian pintu dan jendela juga banyak yang hilang. Loteng teras dan ukiran-ukiran di sisi kanan kirinya juga semakin rusak.

Karena rumah tua ini merupakan peninggalan, Badriati berusaha menjaga dan menyelamatkannya sebisa mungkin. Barang-barang yang pernah dipakai unyangnya tersebut dibawa pulang, disimpan di rumah agar tidak hilang atau pecah. Karena, memang ada sebagian barang yang sudah hilang saat disimpan di rumah tersebut. Pesan yang tidak pernah dilupakannya adalah, agar barang-barang tersebut jangan pernah dipakai dan dirawat dengana baik. RUMAH GODANG: Salah satu Rumah Godang di Cipang Kiri Hilir. Rumah Godang di Desa Cipang Kiri Hilir juga disebut dengan rumah tua atau rumah tinggi. Rumah ini merupakan rumah suku, yakni milik Suku Pitopang dan Piliang. Unik memang, karena satu rumah milik dua suku. Bisa ada dua suku yang memiliki rumah ini karena suku yang perempuan tidak mempunyai anak lak-laki, tak mungkin tak punya tempat saat kembali. Akhirnya disepakati mereka semua pulang bersama-sama ke rumah ini dan jadilah rumah bersama.  

Rumah godang ini dibuat awal abad 19. Revika Putra, keturunan keluarga dari suku Piliang, mengatakan, Datuknya lahir 1930 dan anak paling bungsu, sedang Datuk Lelo merupakan datuk paling tuo. Revika Putra merupakan generasi keempat dari yang punya rumah tersebut. Bersama saudara sesukunya, ia merawat dan memanfaatkan rumah tersebut hingga sekarang. Masih utuh. Rumah godang ini masih berdiri kokoh, masih ditempati oleh para cucu.

Bahkan acara-acara adat persukuan masih dilaksanakan di rumah ini seperti untuk menghitung bulan kapan Ramadan dimulai dan kapan Syawal datang. Pada saat ini, seluruh ninik mamak berkumpul mendengarkan imam (securing putih) yang didampingi khatib dan bilal menyampaikan pengumuman penentuan tanggal tersebut. Pemberitahuan oleh imam ini dilakukan dengan menggunakan sirih.

Mirip dengan bentuk Istana Rokan, begitulah arsitektur rumah godang tersebut. Ada teras di bagian dengan ruang tengah yang besar dan memanjang ke samping, serta dapur dengan pintu keluar di bagian belakang berada di sebelah kiri.

Dinamakan juga dengan rumah tinggi karena bentuknya tinggi, sekiatar 1,5 meter. Bagian bawahnya sangat luas. Digunakan pula untuk penyimpanan barang seperti kayu dan papan. Di bagian depan samping kanan rumah ada pondok atau gazebo dengan ukuran sedang, sekitar 6x6 meter. Bukan hanya untuk bersantai atau duduk-duduk menjelang petang atau sehabis siang, tapi digunakan juga untuk panggung pertunjukan musik tradisi seperti calempong saat pesta adat berlangsung.

Sedangkan halaman rumah untuk kegiatan lainnya seperti tari piring atau tempat berkumpul saudara sesuku. Rumah ini juga persis berada di tepi Sungai Mentawai yang sudah diturap lumayan panjang. Sebelum ada jalan darat, transportasi masyarakat hanya lewat jalur sungai.

Turap inilah yang menjadi pelabuhan tempat naik dan turun penumpang dari desa-desa sekitar, termasuk dari Rokan. Dekat pula dengan pasar. Rumah ini merupakan satu-satunya rumah godang yang masih tersisa. *** Sumber: riaupos.co