PILIHAN
Yusril Ihza Mahendra, Kritisi Ucapan Presiden Jokowi, Politik dan Agama Harus Dipisahkan
bualbual.com, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kritik Yusril terkait ucapan Jokowi meminta agar agama dan politik haru dipisahkan. Sebab dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman.
"Persoalan hubungan agama dan negara itu bukan persoalan sederhana yang bisa diungkapkan dalam satu dua kalimat seperti dalam pidato Presiden Jokowi di Barus, Sibolga, Sumatera Utara minggu akhir Maret yang lalu, karena hal itu dengan mudah dapat menimbulkan kesalahpahaman," kata Yusril dalam keterangannya dari Tokyo, Jepang, Rabu (29/3).
Yusril juga mengungkapkan, dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, Ketuhanan ditempatkan dalam urutan kelima sesudah empat sila lain. Sila Ketuhanan itu malah dapat diperas menjadi ekasila, yakni Gotong Royong. Dalam kompromi tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945, sila Ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama, menandai bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fondasi utama dalam membangun bangsa dan negara.
Debat hubungan agama dengan negara juga menjadi topik hangat dalam sidang BPUPKI ketika Soekarno merumuskan falsafah bernegara. Ini akhirnya berujung dengan kompromi, baik melalui Piagam Jakarta 22 Juni maupun tanggal 18 Agustus 1945, melahirkan kesepakatan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara.
Yusril menuturkan, dalam sejarah pemikiran politik di tanah air, debat intelektual tentang hubungan agama dengan negara pernah dilakukan antara Sukarno dan Mohammad Natsir, sebelum Indonesia merdeka. Debat mereka berkisar Sekularisme di Turki dan Kitab Al Islam wa Ushulul Hukm karya Ali Abdurraziq, seorang pemikir Islam dari Mesir di zaman itu.
Bahkan, Yusril menceritakan, debat kembali berulang dalam sidang Konstituante berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ini sekali lagi berupaya mencari jalan tengah, melalui kompromi dapat diterima semua golongan. "Dekrit Kembali ke UUD 45 akhirnya diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955, termasuk oleh Fraksi Partai Masyumi yang menerimanya sebagai 'sebuah kenyataan' meski di Konstituante partai itu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara," ujarnya.
Dengan diterimanya Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara maka Indonesia adalah jalan tengah antara Negara Islam dan Negara Sekular. Menurut Yusril, Indonesia tidak merdeka menjadi sebuah negara berdasarkan Islam dan maupun sekularism, seperti dikatakan Prof Soepomo dalam sidang BPUPKI, yakni negara yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan. Negara berdasarkan falsafah Pancasila adalah kompromi dapat menyatukan antara pendukung Islam dan pendukung Sekularisme.
"Jalan tengah bersifat kompromistis ini tidak perlu diutak-atik lagi dengan ajakan 'pemisahan politik dengan agama' oleh Presiden Jokowi. Apalagi, ajakan itu diungkapkan tanpa memahami dengan sungguh-sungguh latar belakang historisnya dan implikasi-implikasi politiknya yang bisa mendorong kembalinya debat filosofis tentang landasan bernegara kita," ujarnya.
Di Eropa pada zaman Renesans memang ada polemik pemisahan antara gereja dengan negara (scheiding van kerk en staat/separation of church and state). Tapi bukan pemisahan agama dengan negara. Yusril menambahkan, institusi dan kepemimpinan Gereja Katolik dengan institusi dan kepemimpinan negara, memang sangat mungkin dipisahkan. Tetapi pemisahan agama dengan politik adalah sesuatu sukar untuk dilakukan.
Dalam konteks historis seperti itu, lanjut Yusril, secara filosofis mustahil akan memisahkan agama dari negara. Ini termasuk memisahkan agama dari politik. "Karena itu, saya dapat mengatakan bahwa ajakan Presiden Jokowi itu bersifat a-historis, atau tidak punya pijakan sejarah samasekali. Para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo semua berpendapat seperti," ungkapnya.
"Ajaran Kristen, kata Dr Notohamidjojo, ada di dalam otak dan hati pemeluk Kristen, dan keyakinan itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi sikap dan prilaku politik tiap pemeluk Kristen," jelasnya.
Bahkan, ungkap Yusril, seorang pemimpin Partai Kristen Indonesia di masa lalu bernama Dr Notohamidjojo, menulis dalam bukunya 'Iman Kristen dan Politik' mengatakan bahwa tidaklah mungkin agama Kristen dipisahkan dengan politik. Prof Zainal Abidin Ahmad, seorag tokoh Masyumi menulis dalam bukunya 'Membentuk Negara Islam'. Dalam bukunya itu Prof Zainal mengatakan barangsiapa bisa memisahkan gula dari manisnya maka bisalah dia memisahkan Islam dari politik.
"Begitu juga dengan agama Islam. Hanya orang yang otak dan hatinya sekuler saja, atau menganggap agama itu perkara sampingan saja, yang bisa memisahkan agama dengan politik. Selama seseorang itu sungguh-sungguh beriman dengan ajaran agamanya, maka mustahil baginya dapat memisahkan agama dengan politik," tambahnya.(Indra.mc)
Berita Lainnya
Walikota Tanjungpinang H Syahrul melepaskan kontigen di Aula SMPN 4 Tanjungpinang
Kedatangan Jokowi Ke Riau, Pemprov Harus Habiskan Duit Rp1 Miliar
Syarwan Hamid: LAMR Berigelar Adat ke Jokowi dengan Alasan Riau Bebas Asap, dan Berhasil Rebut Blok Rokan, Tidak Masuk Akal!
Rugi Atas utang Negara, Eggi Sudjana Laporkan Jokowi Dan Sri Mulyani Ke KPK
Bukan Bermanuver untuk Jokowi, Syamsuar Diminta Fokus Wujudkan Janji Kampanye Pilgubri
Bendera Demokrat Dirusak, BUAL Kapitra: Salah SBY karena Datang Bersamaan Waktu dengan Jokowi
Presiden Jokowi Burung Saya tidak menang Ya sudah kalah, mau gimana lagi
Ketua LAM Tanjungpinang: Kita Minta Dia Sadar Diri, Bobby Jayanto Diduga Menyinggung Warga Kulit Hitam
Apa Yang Membuat Orang Sekelas Prof Mahfud MD Puas Dengan Performa Debat Jokowi-Ma’ruf
Akankah Pendukung Jokowi Berpaling? Ketika UAS Nyatakan Dukungan ke Prabowo
Golkar Hanya Layak Dapat Dua Kursi Menteri, Karena Tak Dongkrak Suara Jokowi di Pilpres 2019
Menteri Yasonna Pastikan Jokowi Ogah Keluarkan Perppu untuk Gantikan UU KPK