Riau Meminta dengan Santun: Ketika Alam, Adat, dan Marwah Bicara dalam Satu Suara untuk DIR

BUALBUAL.com - Di tanah yang ditumbuhi hutan gambut dan ladang sawit seluas mata memandang, di perut bumi yang menyimpan minyak dan gas berlimpah, Riau tumbuh menjadi provinsi kaya raya yang sejak lama memberi, tanpa banyak meminta. Hari ini, Riau bicara—bukan dengan amarah, bukan dengan gertakan. Tapi dengan adat, marwah, dan kesantunan yang menjadi napas panjang Melayu sejak dulu.
Di antara riuh rendah politik dan hiruk-pikuk tuntutan dari berbagai daerah, suara dari Bumi Lancang Kuning terdengar berbeda. Pelan, tetapi dalam. Tidak melawan, tapi membangun. Riau mengajukan satu harapan: status Daerah Istimewa Riau (DIR).
Permintaan ini hendaknya tidak dipandang sebelah mata. Sudah saatnya pemerintah pusat menjadikannya sebagai pembahasan yang serius, dengan melibatkan berbagai kementerian, lembaga negara, dan unsur masyarakat luas. Dukungan dari berbagai elemen—tokoh adat, akademisi, hingga organisasi budaya lintas daerah—menunjukkan bahwa aspirasi ini bukan sekadar wacana lokal, melainkan harapan bersama yang layak diperjuangkan.
Adat Melayu: Menyampaikan Aspirasi dengan Marwah
Di tanah Melayu, santun bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang berakar dalam adat. Aspirasi tidak disampaikan dengan teriakan, tetapi lewat mufakat. Tidak dengan tuntutan, tapi dengan pembicaraan yang berakar pada kearifan. Maka, ketika para tokoh adat, akademisi, dan budayawan Riau bergerak menyuarakan DIR, yang mereka bawa bukan protes, melainkan naskah budaya. Bukan desakan, tetapi harapan.
"Kami datang bukan untuk menggugat, tapi mengingatkan. Riau telah lama memberi. Kini, biarlah Riau diberi ruang untuk menjaga dirinya sendiri, sesuai adat, sesuai marwah."
Demikian suara yang mengemuka dari forum-forum adat yang digelar akhir Juni 2025.
Riau Kaya, Tapi Tetap Menunduk
Provinsi Riau adalah tulang punggung energi nasional. Minyak, gas, sawit, hutan industri—semuanya mengalir dari tanah ini ke berbagai penjuru negeri dan dunia. Tapi dalam segala limpahan itu, Riau tetap membungkuk. Tidak bengak. Tidak mengklaim sebagai yang paling berjasa. Karena dalam budaya Melayu, orang yang banyak memberi, justru semakin rendah hati.
Namun, bukan berarti diam terus-menerus. Dalam balutan adat, kini Riau berkata: sudah saatnya diberikan pengakuan atas kekhasannya. Kekhasan budaya Melayu yang lekat dengan nilai-nilai sopan santun, musyawarah, keberimbangan dengan alam, dan warisan peradaban besar dari Kerajaan Siak dan lainnya.
Keistimewaan yang Diminta, Bukan untuk Kekuasaan
Riau tidak sedang meminta kekuasaan lebih. Yang diminta adalah ruang—untuk mengelola budayanya sendiri, memperkuat pendidikan berbasis Melayu, melibatkan lembaga adat dalam kebijakan, dan menyatukan pembangunan dengan kearifan lokal.
Sama seperti Yogyakarta yang istimewa karena warisan kerajaannya, atau Aceh karena nilai syariahnya, Riau istimewa karena budayanya yang halus namun kokoh, dan kontribusinya yang tak terbantahkan dalam pembangunan nasional.
Santun Tapi Tidak Diam
Permintaan ini datang dengan adat. Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), tokoh masyarakat, hingga organisasi luar daerah seperti Forum Rembuk Melayu Bengkulu dan Badan Musyawarah Betawi ikut memberikan dukungan. Tapi tak satu pun dari mereka melakukan tekanan politik.
"Dalam budaya Melayu, kita tidak melompat pagar. Tapi kita ketuk pintu dengan sopan," ujar salah satu tokoh LAMR dalam sebuah pertemuan.
Santun bukan berarti tak punya harga diri. Riau tahu posisinya. Riau tahu apa yang ia miliki. Dan karena itu pula, ia percaya bahwa istimewa tidak harus diraih dengan gaduh. Tapi dengan keteladanan, rekam jejak, dan permintaan yang terukur dan bermartabat.
Akhir Kata: Ketika Marwah dan Tuah Bicara
Melayu Riau punya filosofi: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Tapi Riau juga tahu, bahwa bumi yang memberi terlalu banyak, pantas pula mendapat perlakuan yang bijak.
Permintaan untuk menjadi Daerah Istimewa bukan sekadar wacana elitis. Tapi cerminan dari satu niat luhur: menjaga warisan, merawat bumi, dan membangun negeri ini dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Hendaknya, permintaan ini menjadi agenda nasional yang dibahas secara terbuka, transparan, dan berkeadilan. Riau tidak sendiri—dukungan dari berbagai lembaga adat dan organisasi kultural menunjukkan bahwa suara ini tulus dan serius. Pemerintah pusat perlu melihat ini sebagai momentum memperkuat ke-Indonesia-an, dengan mengakui kekayaan budaya daerah sebagai fondasi bersama.
Jika Jakarta mendengar, itu bukan karena Riau menekan. Tapi karena Riau berbicara dengan hati. Dan dalam budaya Melayu, kata-kata yang lahir dari hati selalu sampai meskipun tak bersuara keras.
Penulis: Khairul, S. Sos (Putra Melayu Indragiri Hilir, Riau)
Berita Lainnya
Pasien Covid-19 Meningkat, Diskes Riau dan Inhil Gelar Swab Massal
Presiden Jokowi Perintahkan KemenPAN RB Bereskan Masalah Karyawan Honorer
Melalui ABBI 2022 Diharapkan Jadi Motivasi UMKM Untuk Tingkatkan Kreativitas
Bersama Kapolres, Bupati Bengkalis Berangkatkan 249 Peserta Mudik Gratis
Kejari Inhil Lakukan Proses Tahap Dua, Kasus Orang Tua Mutilasi Anak Kandung
Banjir Melanda Kampar, Pemprov Riau Salurkan Bantuan untuk Warga Gunung Sahilan
Tingkatkan Pendapatan Keluarga, Misnarni Syamsuar Berikan Pelatihan Kepada PKK Bengkalis
Lama Dinanti, Sentuhan Bupati Kasmarni Bengkalis Juara Umum MTQ Riau 2023
Gubernur Ansar Perjuangkan Event Internasional Bergengsi G20 Tahun 2022 di Kepri
Bupati Catur Ikuti Rapat Pertemuan Penguatan Cadangan Pangan Pemerintah Daerah
Afrizal Resmi Jabat Sekda Inhil, Ini Pesan Bupati HM Wardan
Di Hari Kedua Apel Randis Milik Pemda Lampura, 12 Unit Tidak Hadir dan 4 Rusak