Selalu Mengelak, PT Puspandari Karya Terancam Dipolisikan
D'Sayur TPI Cabang Ke 3,Dorong Pertumbuhan Ekonomi Lokal
L.N. Firdaus, Penulis Otobiografi “Dalam Dekap Cahaya: Story of My Life”
Kursi Menimbang Marwah
Bismillah,
Dalam budaya Melayu, “kursi” itu bukan sekadar tempat duduk. Ia simbol amanah, kuasa, dan harga diri. Kursi itu bisa menaikkan derajat seseorang tapi juga bisa menjatuhkannya.
Ada orang duduk di kursi kecil, tapi karena adab dan ilmunya tinggi, orang segan melihat. Ada pula yang kursinya tinggi, tapi karena budi dan akalnya pendek, orang malas menyapa. Kata pepatah: “Tinggi kursi tak menjamin tinggi marwah, yang menjunjung marwah ialah adab dan ilmu.”
Pernah pula hamba tengok pejabat yang duduk di kursi empuk, tapi wajahnya tetap tunduk. Ia tak bersuara tinggi. Tak menatap dengan congkak. Tapi setiap katanya menyejukkan.
Kursinya kuat karena marwahnya kokoh. Namun ada pula yang begitu duduk, langsung lupa di mana tanah dipijak. Kursinya baru dan hangat, tapi suaranya sudah tinggi. Marwahnya hilang entah ke mana. Yang tinggal hanya bayang-bayang jabatan. Orang Melayu menyindir perkara begini dengan halus: “Baru duduk di kursi, sudah tak nampak lantai.”
Padahal sejatinya, kursi itu ujian, bukan kemuliaan. Ia bisa menegakkan marwah kalau diduduki dengan adab. Namun juga bisa menelanjangi aib kalau diduduki dengan pongah.
Maka, wahai Tuan/Puan, kalau suatu hari kita diamanahkan duduk di kursi apa pun, tak perduli kursi besar atau kecil, ingatlah dua perkara:
Pertama, kursi itu pinjaman. Bukan Hak Milik. Kedua, marwah itu warisan. Jangan gadaikan untuk gengsi sesaat.
Biarlah kursi itu berubah, berpindah, dan berganti. Asal marwah tetap tegak berdiri.
Karena dalam pandangan orang Melayu, lebih baik berdiri dengan marwah daripada duduk tanpa adab.
Dan kursi paling indah bukan yang di ruang kerja, tapi kursi di hati orang lain — tempat kita dikenang dengan hormat, bukan sekadar diingat karena jabatan.***


Berita Lainnya