Mengenal Dikei Sakai: Tradisi Pengobatan Suku Terasing di Riau yang Diakui Nasional

BUALBUAL.com - Di sudut sunyi Riau yang belum tersentuh modernitas sepenuhnya, suara gendang menggema perlahan. Di tengah gelapnya malam dan nyala api damar yang redup, seorang dukun adat — yang oleh masyarakat Sakai disebut kemantan — menari dengan gerakan khas, menyeru roh-roh halus lewat ritual penyembuhan kuno bernama Dikei.

Bagi masyarakat suku Sakai, yang tersebar di hutan-hutan Kabupaten Bengkalis, Siak, dan sekitarnya, Dikei bukan sekadar pengobatan alternatif. Ia adalah warisan spiritual, cara hidup, dan bagian dari identitas budaya. Saat tubuh sakit atau jiwa diganggu makhluk tak kasatmata, masyarakat tak lari ke puskesmas, melainkan kembali ke akar: ke hutan, ke adat, ke Dikei.
Sebuah Ritual, Sebuah Kehidupan
“Dikei itu bukan hanya untuk sembuhkan badan, tapi juga pikiran dan batin,” kata salah seorang tetua adat Sakai dalam wawancara terdahulu. Ritual ini melibatkan berbagai unsur alam: daun-daunan yang disusun menjadi mahligai sembilan tingkat (telingkek), damar yang dibakar sebagai penuntun roh, dan gendang sebagai jembatan komunikasi antaralam.
Sang kemantan akan menari olang-olang — gerakan menyerupai burung hutan — sambil melantunkan mantra, hingga roh pelindung datang menyatu untuk menyembuhkan.
Pengakuan dari Negara
Pada 8 Oktober 2019, tradisi ini akhirnya diakui negara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menetapkan Dikei Sakai sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional dari Riau. Pengakuan ini bukan hanya simbolis, tapi juga menjadi tonggak pelindung terakhir dari kemungkinan punahnya tradisi yang kian jarang dilakukan ini.
Sebab dalam beberapa dekade terakhir, masyarakat Sakai — yang dahulu hidup sepenuhnya nomaden di hutan — kini telah banyak berpindah ke pemukiman. Pengaruh dunia luar, sekolah, dan pengobatan modern mulai menggantikan fungsi dukun dan kepercayaan adat.
Bertahan di Tengah Perubahan
Meski begitu, sebagian kecil masyarakat masih menjalankan Dikei secara berkala, terutama saat menghadapi penyakit yang menurut mereka tidak “terlihat”. Bahkan, ritual ini pernah tampil dalam pembukaan PON 2012 sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya Riau yang kaya dan mistis.
Namun tantangan pelestarian tetap besar: hutan tempat ritual dilakukan terus menyempit akibat perkebunan dan industri. Dan generasi muda Sakai, seperti banyak generasi muda adat lainnya, mulai lupa mantra, lupa gerakan, bahkan lupa makna Dikei.
Bagi Indonesia, Dikei Sakai adalah bukti bahwa penyembuhan tidak selalu datang dari laboratorium. Kadang, ia lahir dari harmoni antara manusia dan alam, antara doa dan daun.
Sumber:
- Artikel “Dikei Sakai, Pengobatan Suku Terasing di Riau” – RiauMagz.com
- Dokumentasi WBTB 2019 – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
- Wawancara masyarakat adat (2019–2022)
Berita Lainnya
Jejak Desa Igal: Sejarah Tak Tertulis dari Tanah Kelapa dan Air Pasang
Ketua DPW GEMASABA Riau: Kita Masih Butuh Pahlawan, Mari Kita Berkarya yang Mendunia dan Bisa Bikin Banga Indonesia
Mengenal 4 Sahabat Hang Tuah: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu
Meretas Jalan di Tanah Gambut: Kisah Awal Desa Beringin Jaya Kecamatan Pulau Burung Indragiri Hilir
Mengenal Sejarah Kabupaten Bintan Mempunyai Ciri Khas terdiri dari Ribuan Pulau Besar dan Kecil yang Tersebar di Laut Cina Selatan
Padahal Jaraknya Lebih Dekat dengan Indonesia, Kepulauan ini ikut Wilayah Negara India, Berikut Penjelasannya
Berapa Lama Tanah Melayu Dijajah?
Desa Gembira: Sebuah Nama, Sebuah Harapan dari Ujung Gaung Indragiri Hilir
Menyingkap Budaya Korupsi di Indonesia, Dari Zaman Kerajaan Hingga Era Modern
Yuk Mengenal Sejarah Kehidupan dan Budaya Suku Dayak Indonesia
Padahal Jaraknya Lebih Dekat dengan Indonesia, Kepulauan ini ikut Wilayah Negara India, Berikut Penjelasannya
Kabupaten atau Kota Mana yang Paling Tua di Provinsi Riau?